Tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi di perkotaan serta ketersediaan angkutan yang dirasa masih kurang dalam hal jumlah dan kualitas memberikan inspirasi bagi para pelaku bisnis untuk menyediakan layanan transportasi berbasis teknologi informasi (IT). Sebutlah GoJek, GrabTaxi, dan Uber yang saat ini menjadi aktor utama dibalik perbincangan hangat di tengah masyarakat mengenai moda angkutan online.
Tidak dapat dipungkiri bahwa minat masyarakat terhadap jasa yang ditawarkan oleh ketiga aplikasi ini sangat tinggi. GoJek misalnya, hingga menjelang akhir bulan Ramadan kemarin manajemennya telah mengklaim bahwa mereka telah melewati satu juta order pemesanan. Begitu juga dengan pihak GrabTaxi yang menyatakan bahwa aplikasi mereka telah berhasil diunduh sebanyak lebih dari tiga juta pengguna android dan iOS (Bloomberg TV Indonesia, 14/06/2015).
Bisnis angkutan yang berkembang saat ini memang dibangun secara profesional ketimbang dengan angkutan konvensional yang sedikit sekali memperhatikan sisi inovasi dalam menjalankan bisnisnya. Tak heran jika rasanya banyak dari pelanggan setia ojek dan taksi konvensional yang mulai beralih ke jasa Gojek, GrabTaxi ataupun Uber.
Harga yang ditawarkan oleh ketiga manajemen sangat jelas tanpa adanya tawar menawar dan juga merujuk pada jarak angkut yang presisi. Dalam hal ini konsumen akan diuntungkan karena harga yang diketahui di awal reservasi tidak akan membuat kekhawatiran apabila ‘dikerjai’ oleh sang supir. Waktu yang dikeluarkan untuk tawar menawar atas ekpektasi harga pengemudi pun juga dapat dihilangkan.
Selain proses penentuan harga yang lebih akurat, metode pembayaran yang digunakan juga memiliki cara yang beragam. GoJek memberikan kebebasan kepada para konsumen untuk membayar secara tunai ataupun melalui GoJek Credit. Uber taxi menghalalkan para pengguna jasanya membayar dengan kartu kredit dengan tujuan meminimalkan transaksi langsung dengan konsumen, sedangkan GrabTaxi mempersilahkan para pelanggannya untuk membayar secara cash.
Fasilitas yang disediakan oleh pihak pengelola juga terlihat lebih inovatif dari biasanya. Selain helm untuk melindungi kepala yang merupakan syarat minimal mengendarai sepeda motor, masker dan penutup kepala juga diberikan kepada pengguna ojek agar terhindar dari udara kotor perkotaan. Taksi privat di bawah naungan manajemen Uber bahkan tidak segan-segan memberikan permen, air mineral kemasan botol, hingga makanan ringan kepada para konsumennya.
Urusan keamanan juga menjadi perhatian pihak manajemen. Tidak lupa dari ingatan kita bahwa pada awal bulan Desember tahun lalu ada seorang karyawati yang menaiki sebuah taksi di bilangan Jalan Sudirman yang harus kehilangan harta berharganya dengan nilai mencapai jutaan rupiah. Kerugiaan ini tentunya tidak hanya dialami oleh korban, para penumpang taksi lainnya serta pihak manajemen taksi juga pasti akan terkena imbas baik secara langsung maupun tidak langsung (thejakartapost.com, 09/12/2014).
Banyak pengamat menyarankan agar pemesanan taksi dapat dilakukan dengan melakukan reservasi via telepon. Hal ini tentunya bermaksud untuk meminimalisir pergerakan supir taksi gadungan yang berkeliaran di jalanan. Ketiga penyedia jasa angkutan berbasis IT ini kemudian beradaptasi dengan situasi yang ada. Supir-supir yang ingin bergabung di dalam perusahaan harus mengikuti serangkaian tes agar kapasitas yang diperlukan dapat terpenuhi.
Pengemudi yang akan menjemput tentunya akan diinformasikan terlebih dahulu kepara penumpang agar mereka dapat memastikan terlebih dahulu apakah sang supir dan kode angkutan yang digunakan sesuai dengan apa yang telah diberitahukan sebelumnya. Keberadaan mereka selama perjalanan juga dapat dipantau oleh kerabat melalui fitur canggih dengan bantuan GPS Tracking System.
Di luar dari jasa mengangkut orang dari satu tempat ke tempat yang lainnya, layanan yang diberikan oleh pihak pengelola juga terdiversifikasi dalam beberapa bentuk jasa. Sebutlah layanan kurir untuk mengirim atau mengantarkan barang ke suatu tempat, membeli makanan, hingga berbelanja barang-barang kebutuhan pokok.
Selain beragam keuntungan yang diberikan kepada konsumen, pihak driver juga rasanya memperoleh pembagian hak yang adil. GoJek menerapkan sistem bagi hasil sebesar 80:20, yang berarti 80 persen untuk sang pengemudi dan 20 persen untuk pihak manajemen. Lebih tinggi dari apa yang diterapkan pesaingnya, GrabTaxi menerapkan pola 90:10 atas pemasukan yang diterima oleh para supir.
Di luar dari pemasukan tersebut, rata-rata pengelola dari model transportasi ini juga akan memberikan tambahan uang kepada sang supir apabila mereka mampu melewati target penumpang di jam-jam yang telah ditentukan sebelumnya oleh pihak manajemen. Hal ini tentunya ditambahkan dengan permintaan jasa dari para konsumen yang tidak pernah berhenti.
Namun yang patut disayangkan, hal-hal positif yang disebutkan sebelumnya tidak serta merta tanpa problem. Sudah sederet permasalahan menghantui jalannya bisnis ketiga perusahaan IT yang bergerak di bidang transportasi tersebut. Beberapa menganggap bahwa bisnis ini merupakan bisnis yang ilegal dan melanggar aturan. Ada juga yang berpendapat bahwa bisnis dengan model seperti ini akan mematikan bisnis transportasi konvensional yang sudah ada.
Uber taksi dinilai oleh Pemprov Jakarta sebagai perusahaan ilegal yang dapat menyulitkan pemerintah apabila terdapat kendala di kemudian hari. Setali tiga uang dengan Uber, GoJek dan GrabTaxi (khususnya GrabBike) mengalami permasalahan hukum di mana UU LLAJ No. 22 Tahun 2009 tidak mengatur motor sebagai kendaraan umum. Belum lagi permasalahan ancam-mengancam yang kerap kali diterima oleh para pengemudi yang bisa membahayakan keselamatannya.
Di sinilah pemerintah sebagai regulator harus berperan. Kehidupan manusia yang dinamis sering kali membutuhkan aturan-aturan baru yang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat. Kita ketahui bersama bahwa kehadiran dari GoJek, GrabTaxi, dan Uber sedikit banyak telah membantu masyarakat, baik yang berperan sebagai pengguna jasa hingga meningkatkan pendapatan para supir. Dengan hadirnya produk hukum yang mengatur bisnis ini setidaknya masyarakat juga turut diuntungkan.
Begitu juga dengan potensi pajak yang akan didapatkan pemerintah apabila mengatur industri ini. Pengendara yang masuk ke dalam organisasi GoJek, GrabTaxi, dan Uber tentu akan beralih ke dalam pekerjaan formal dan menjadi seorang wajib pajak. Oleh karenanya pengenaan PPh atau pajak penghasilan kepada mereka untuk menambah kas negara merupakan hal yang legal di mata hukum. Dan niatan pemerintah untuk menaikan penerimaan negara atas pajak tentunya akan semakin dipermudah.
Para supir taksi dan ojek lainnya juga seharusnya bersikap lebih fair terhadap kompetitornya di pasar. Mereka seharusnya mampu untuk beradaptasi dengan pasar yang sudah terbentuk sedemikian rupa. Teori Creative Destruction karya Schumpeter memang menerangkan bahwa sesuatu yang baru akan menghancurkan sesuatu yang lama. Dengan demikian proses adaptasi yang tepat perlu dilakukan agar para supir konvensional tetap bisa memperoleh pendapatan di dalam industri jasa angkutan.
Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com