Belakangan ini masyarakat Indonesia digaduhkan dengan wacana pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menghapuskan promo dan menurunkan tarif ojek online alias ojol. Kendati pada akhirnya wacana tersebut dibatalkan oleh Kemenhub lantaran tidak adanya wewenang kemenhub untuk mengatur hal tersebut.
Sebelumnya, pada tanggal 11 Maret lalu, pemerintah telah merilis aturan untuk ojol dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat. Dengan payung hukum ini, ojok online punya landasan untuk beroperasi (Detik, 19/03/2019).
Sebagai lanjutan beleid tersebut, pada 1 Mei 2019 lalu, Kemenhub resmi mengatur tarif ojol yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kemenhub) No. 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Aplikasi yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat. Peraturan ini diterbitkan untuk menjawab keluhan pengendara ojol yang kerap melakukan demo turun ke jalan menuntut kepada pengembang aplikasi dan pemerintah untuk menetapkan tarif yang rasional (Tirto.id, 05/05/2019).
Dalam peraturan tersebut, ditetapkan tiga zonasi penerapan tarif yang berbeda. Rata-rata dari ketiga zona tersebut dikenakan tarif batas bawah sebesar Rp1.800 – 2.100/km dan sebesar Rp2.500 – 2.600/km untuk tarif batas atas, serta Rp7.000 – 10.000/4km untuk biaya jasa minimal.
Sebagai catatan, tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub No. 348 Tahun 2019 merupakan tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi, mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi.
Menuai Banyak Keluhan
Belum lama diberlakukan, aturan baru tersebut dikeluhkan oleh konsumen. Berbagai keluhan itu sampai ke telinga Kemenhub. Bahkan Badan Litbang Perhubungan juga menjalani survei terpisah sebagai perbandingan dalam pengambilan kebijakan.
Banyak pihak, khususnya konsumen, menilai bahwa tarif baru ini terlalu mahal. Dan para konsumen pun pada akhirnya harus “nombok” beban pengeluaran harian mereka, khususnya bagi masyarakat yang mobilisasinya biasa menggunakan ojol. Bukan tidak mungkin, dengan adanya aturan tarif bawah yang dinilai ‘mahal’ ini, membuat pengguna ojol dengan jarak lokasi lebih dari dari dua kilometer mulai beralih mencari kendaraan alternatif lainnya yang lebih murah.
Efek lanjutan kenaikan tarif ini juga akan memberatkan usaha kecil menengah (UKM) yang memanfaatkan jasa logistik dari perusahaan ojol. Hal ini terjadi karena penetapan tarif tersebut akan menambah variable cost karena adanya kenaikan ongkos distribusi atau ongkos kirim.
Secara ekonomi, kenaikan variable cost ini akan berpengaruh terhadap naiknya total cost. Oleh karenanya, untuk menutup biaya produksi dan mendapatkan keuntungan, para pelaku UKM mau tidak mau harus menaikkan harga jual produknya. Alhasil, harga produk yang dijual di pasaran pun akan meningkat dan lagi-lagi konsumen akan diberatkan dengan kenaikan harga ini.
Agaknya kenaikan tarif ojol memang memiliki dampak besar terhadap perekonomian masyarakat. Alih-alih memberikan angin segar kepada mitra ojol, nyatanya kenaikan tarif ini dalam jangka panjang bisa memperkeruh keadaan karena tidak menutup kemungkinan masyarakat akan beralih ke moda transportasi lain dan meninggalkan ojol. Hal ini juga berdampak pada kesulitan mitra ojol pun untuk mendapatkan penumpang dalam jangka panjang.
Tudingan Predatory Pricing
Guna mengatasi polemik yang timbul dari kenaikan tarif ojol ini, perusahaan ojol seperti Gojek dan Grab pun berusaha memberikan sedikit obat penawar guna menjaga daya beli pelanggan ojol dengan memberikan promo-promo yang menarik. Dengan demikian, secara psikologis, preferensi konsumen tidak begitu terganggu dengan perubahan tarif yang dinilai cukup mahal. Konsumen pun masih merasa nyaman untuk menggunakan ojol kendati terjadi perubahan tarif ojol yang berlaku.
Namun, pemberian promo diskon ini justru dituding oleh sebagian pihak bisa menimbulkan predatory pricing. Per definisi, predatory pricing merupakan langkah pelaku usaha di suatu pasar untuk menjual produk atau layanannya dengan harga semurah mungkin. Tujuannya tidak lain agar dapat mengalahkan pesaingnya, sehingga ia bisa menguasai pasar. Alhasil, akibat adanya tudingan ini, membuat pemerintah melakukan manuver tambahan dengan wacana meniadakan promo diskon ojol yang diindikasikan menyebabkan adanya predatory pricing.
Padahal, promo diskon sendiri sebenarnya tidak mengurangi sepeser pun komisi buat mitra pengemudi. Dan juga pihak ojol tidak melulu memberikan promo diskon, jadi terkadang masyarakat juga dibiasakan dengan tarif baru. Penulis, menilai justru dengan adanya promo ini menjadi insentif tersendiri bagi konsumen untuk menggunakan ojol. Terlebih dengan adanya perubahan tarif yang diproyeksikan menyebabkan penurunan penumpang ojol, promo diskon ojol menjadi obat mujarab untuk menjaga kelanggengan bisnis ojol.
Melepaskan Kail Intervensi Pemerintah
Yang menggelitik adalah ketika pemerintah mengeluarkan wacana untuk mengatur promo dan diskon yang diberikan oleh perusahaan ojol alih-alih memagari agar tidak terjadi predatory pricing. Padahal tugas pemerintah seharusnya hanya bertindak untuk mengontrol dan mengawasi permberlakuan tarif batas atas dan bawah. Oleh karena itu, pemerintah tidak seharusnya “sekonyong-konyong” mengeluarkan peraturan kebijakan yang sebelumnya tidak disosialisasikan dampak dan manfaatnya ke masyarakat terlebih dahulu. Yang perlu ditekankan adalah transparansi dasar pemikiran yang ada dibalik kebijakan yang akan dikeluarkan.
Lebih lanjut, jika memang di lapangan ditemukan adanya indikasi persaingan tidak sehat sehat akibat diskon memang tidak boleh dibiarkan. Namun, pengaturan diskon itu merupakan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menjadi wasit dan “menyemprit” pelaku usaha yang dinilai membandel dan melanggar aturan main di pasar. Lagipula, hingga hari ini KPPU belum berhasil membuktikan terkait adanya persaingan tidak sehat bahkan tudingan predatory pricing sangat kurang tepat untuk diluncurkan.
Oleh karena itu, penulis berpesan kepada pemerintah untuk mulai melepaskan kail intervensi yang berlebih melalui peraturan yang membuat keadaan menjadi rancu. Permasalahan ojol dan aturan diskon tarif ojol seharusnya tidak perlu diatur oleh Kemenhub. Lebih baik Kemenhub fokus pada keselamatan penumpang maupun pengemudi. Selain dari hal tersebut, penulis menilai itu bukanlah kewenangan Kemenhub.
Lebih jauh, perlu koordinasi yang jelas terlebih dahulu antara Kemenhub dan KPPU, sebelum Kemenhub mengeluarkan kebijakan yang pada akhirnya, alih-alih ingin memberikan kemanfaatan, namun bisa jadi berujung pada pengkerdilan dan mematikan pertumbuhan perusahaan start-up dan merugikan masyarakat, baik konsumen dan pengemudi ojol itu sendiri.
Rifki Fadilah,
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, rifki@theindonesianinstitute.com