JAKARTA – Guna meredam dampak ekonomi pandemi COVID-19, Indonesia telah merancang serangkaian stimulus yang memakan biaya sangat besar atau tepatnya Rp1.266,85 triliun. Dampaknya, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun melebar menjadi 6,34% atau setara dengan Rp 1.039,2 triliun, yang jumlahnya melebihi proyeksi sebelumnya yang diperkirakan hanya sebesar 5,07%.
“Semua utang tersebut berpotensi membawa Indonesia pada krisis fiskal karena pemerintah diprediksi tidak mampu menyeimbangkan pengeluaran dan pemasukan,” kata Peneliti bidang ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) M Rifki Fadilah dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (18/7/2020).
merekomendasikan beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, Kementerian Keuangan perlu melakukan evaluasi kebijakan utang, misalnya sejauh mana pemanfaatan utang untuk penanganan COVID-19 selama ini.
Kedua, Kemenkeu dapat bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dalam proses alokasi utang kepada pos-pos belanja terkait sesuai dengan aturan dan kebijakan yang berlaku. “Selain itu, juga perlu adanya proses pengawasan dalam penggunaan alokasi utang supaya tidak menimbulkan korupsi,” jelasnya.
Ketiga, kemenkeu dalam jangka menengah harus mulai memetakan utang yang dimiliki oleh Indonesia. Proses pemetaan utang ini dimaksudkan untuk melihat utang-utang mana saja yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat sehingga dapat dimitigasi untuk proses pembayarannya.
Terakhir, Kemenkeu dalam jangka menengah juga perlu memikirkan sumber pendanaan untuk melakukan pembayaran utang. “Dengan begitu, Indonesia tidak terjerat dengan krisis utang di masa depan akibat beban utang pada masa pandemi COVID-19 ini,” pungkasnya.
https://ekbis.sindonews.com/read/105364/33/utang-ri-menumpuk-akibat-pandemi-rekomendasi-ini-bisa-diambil-pemerintah-1595059622