Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

Pada 26 Juli hingga 12 Agustus Tahun 2022, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) membuat sebuah jajak pendapat dengan menggunakan metode snowballing yang melibatkan 85 responden anak muda dengan rentang usia 17 hingga 30 tahun.  Hasil jajak pendapat TII memperlihatkan bahwa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) menjadi RUU yang dianggap paling penting untuk disahkan saat ini.

Grafik 1. Rancangan Undang-Undang yang Paling Penting Untuk Disahkan dan Undang-Undang yang Paling Penting Untuk Direvisi

 

Menurut Tajudin Afgani, seorang responden laki-laki yang berusia 26 tahun dan merupakan seorang karyawan swasta menjawab bahwa RUU PDP menjadi RUU yang paling penting untuk disahkan saat ini. Pasalnya, Tajudin Afgani merasa miris dengan banyaknya data pribadi yang tersebar di internet saat ini. Ia pun mengaku tidak pernah mengalami data dirinya tersebar luas, namun ada beberapa kondisi dimana Ia ditelepon oleh sejumlah pihak yang menawarkan produk dan dirasa cukup menganggu.

Senada, Siti Rasya Salsabila, seorang mahasiswi berusia 20 tahun yang juga menjawab RUU PDP sebagai RUU yang paling penting untuk disahkan saat ini karena melihat banyaknya penyalahgunaan data pribadi. Lebih lanjut, Siti Rasya Salsabila mengatakan bahwa maraknya penyebaran data pribadi akibat pinjaman online dirasa sangat meresahkan masyarakat sehingga negara perlu melindungi hal tersebut.

Pentingnya RUU PDP Bagi Perempuan

Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dibuat oleh TII, baik responden laki-laki maupun perempuan memiliki persepsi yang sama terkait RUU yang saat ini paling penting untuk disahkan, yaitu RUU PDP. Walaupun, terdapat beberapa rancangan undang-undang yang paling berkaitan dengan perempuan, seperti RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender maupun RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, mayoritas responden perempuan memilih RUU PDP sebagai RUU yang paling penting untuk disahkan saat ini. Oleh karena itu, hal ini memperlihatkan bahwa perempuan juga memiliki persoalan terkait data pribadi sehingga RUU PDP menjadi solusi terkait permasalahan tersebut.

Salah satu persoalan perempuan yang berkaitan dengan data pribadi adalah munculnya kekerasan berbasis gender online (KBGO). Sama hal nya dengan kekerasan berbasis gender di dunia nyata, KBGO adalah sebuah kekerasan berbasis gender yang difasilitasi oleh teknologi. Berdasarkan panduan mengenai KBGO yang dibuat oleh Safenet, terdapat delapan bentuk KBGO, yaitu pendekatan untuk memperdaya; pelecehan online; peretasan konten ilegal; pelanggaran privasi; ancaman distribusi foto/video pribadi; pencemaran nama baik; dan rekrutmen online (Safenet, 2018). Dari kedelapan bentuk KBGO tersebut, beberapa diantaranya berkaitan dengan data pribadi, seperti peretaran konten ilegal, pelanggaran privasi, ataupun ancaman distribusi foto/video pribadi.

Lebih lanjut, berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Tahun 2021, KBGO di Indonesia tercatat terus meningkat setiap tahunnya, khususnya terjadi peningkatan tajam pada masa pandemi, yaitu dari semula 241 kasus pada tahun 2019 menjadi 940 kasus pada tahun 2020. Hal ini tentu menjadi salah satu alasan penting mengapa RUU PDP perlu untuk segera disahkan.

Mengutip Semuel Abrijani Pangerapan, Dirjen Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), bahwa salah satu alasan utama pentingnya menjaga data pribadi adalah agar terhindar dari intimidasi online terkait gender. Lebih lanjut, Ia mengatakan bahwa Perlindungan terhadap data penting dilakukan agar menghindari ancaman kejahatan dunia maya termasuk KBGO.

Sebagai upaya dalam melindungi data pribadi, hal ini dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya adalah jangan mudah memberikan data pribadi apabila tidak perlu; pengguna internet dapat menyiapkan langkah keamanan seperti menggunakan password atau verifikasi keamanan; tidak mengumbar harta kekayaan, foto anak di bawah umur, atau e-mail pada akun media sosial; dan cek kebijakan privasi setiap sosial media dan aplikasi yang hendak didaftar (Aptika.Kominfo.go.id, 28/02/2020).

Meski demikian, Policy Assessment The Indonesian Institute Tahun 2022 yang ditulis oleh Hemi Lavour Febrinandez dengan judul “Partisipasi Publik dan Faktor Penghambat Proses Legislasi RUU PDP dan Perubahan Kedua UU ITE” menjelaskan bahwa alasan mengapa RUU PDP belum juga disahkan oleh DPR RI karena masih adanya perbedaan pendapat pembentuk undang-undang terkait dengan posisi Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP). Oleh karena itu, penting bagi DPR RI bersama dengan pemerintah untuk mencari titik temu sehingga RUU PDP dapat segera disahkan. Selain itu, publik juga perlu untuk terus mengawasi serta mendorong agar RUU PDP dapat segera disahkan.

Ahmad Hidayah – Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute
ahmad@theindonesianinstitute.com  

Komentar