TIF seri 86 – Refleksi 24 Tahun Reformasi dan Kebebasan Sipil di Indonesia

Memasuki bulan Mei, memori bangsa ini dihadapkan dengan sebuah peristiwa sejarah yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu. Kala itu, Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun mengundurkan diri dari kursi Presiden. Soeharto mundur setelah menguatnya tuntutan reformasi dari mahasiswa serta aktivis pro demokrasi yang dilakukan selama berbulan-bulan.

Aksi-aksi demonstrasi di berbagai kota menuntut agar negara Indonesia melakukan reformasi di bidang politik dan ekonomi sebagai upaya jalan keluar dari krisis multidimensional yang dihadapi rakyat Indonesia. Secara garis besar, butir-butir tuntutan reformasi tersebut antara lain amendemen UUD, pemberantasan KKN, pencabutan Dwi Fungsi ABRI, penegakan hukum, penegakan hak asasi manusia dan demokrasi, penegakan kebebasan pers, dan pemberian hak otonomi kepada daerah-daerah (Nasution, 2009).

Akan tetapi, setelah dua puluh empat tahun berjalan tuntutan reformasi belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Jika ditinjau dari aspek hukum dan demokrasi, Indonesia selama kurun lima tahun terakhir ini merupakan negara yang masuk kategori partly free berdasarkan penilaian Freedom House. Bahkan, selama lima tahun ini skor penilaian cenderung mengalami penurunan tiap tahunnya. Misalnya tahun 2018 (64 poin); 2019 (62); 2020 (61); 2021 (59); dan 2022 (59). Berdasarkan penilaian Freedom House, turunnya demokrasi di Indonesia disebabkan oleh terhambatnya kebebasan sipil seperti kebebasan berpendapat, berekspresi, berkeyakinan dan berkumpul.

Di sisi lain, pemberantasan korupsi sebagai agenda besar reformasi pun masih jauh dari harapan. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2004 hingga 2021, Komisi KPK telah menjerat 310 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) sebagai tersangka pelaku tindak pidana korupsi. KPK juga menjerat 22 gubernur serta 148 wali kota dan bupati sebagai tersangka pelaku tindak pidana korupsi dalam kurun waktu 17 tahun (suara.com, 10/5/2022).

Oleh karena itu, melihat kondisi ini The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) akan menggelar diskusi publik daring dengan judul “Refleksi 24 Tahun Reformasi dan Kebebasan Sipil di Indonesia”.

Bahan Diskusi:

  1. Bagaimana gambaran kebebasan sipil di Indonesia selama 24 tahun reformasi?
  2. Apakah yang menjadi penyebab kemunduran kebebasan sipil belakangan ini?
  3. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam menegakkan kebebasan sipil di Indonesia?
  4. Rekomendasi apa yang dapat diberikan guna memperkuat kebebasan sipil di Indonesia?

Pengantar diskusi oleh:

  1. Arfianto Purbolaksono, Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute
  2. Erwin Moeslimin Singajuru, Staf Khusus Bidang Politik dan Hukum, Menko Polhukam*
  3. Ubedilah Badrun, Aktifis 1998 dan Akademisi Universitas Negeri Jakarta*
  4. Ika Ningtyas, Sekretaris Jenderal Aliasi Jurnalis Independen*

 

Moderator: Hemi Lavour Febrinandez, Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute

 

Download Rangkuman, Materi dan Dokumentasi

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [645.52 KB]

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [645.38 KB]

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [1.22 MB]

 

 

 

Komentar