Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah selesai membahas revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Di dalamnya tercantum larangan mengenai penjualan barang impor di bawah US$100 atau sekitar Rp1,5 juta per unit di marketplace (Kemendag, 2023). Kebijakan tersebut diharapkan akan melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri. Revisi mengenai larangan perlu pengkajian lebih lanjut sebelum diterapkan, terlebih dalam hal kesiapan internal UMKM dalam digitalisasi.
Revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 dimulai ketika Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengusulkan ada pembatasan ritel online untuk berjualan di dalam negeri pada akhir tahun 2022 (CNN, 26/12/2022). Menurutnya, penjual dari luar negeri terlalu mudah untuk mengirimkan barang dan menjualnya di lokapasar Indonesia. Hal tersebut tidak dibarengi dengan aturan atau belum terpenuhinya standar nasional Indonesia (SNI). Bahkan, beberapa di antaranya tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Terlebih dengan adanya isu Project S TikTok Shop yang mencuat di Inggris dan dianggap sebagai cara perusahaan untuk mengoleksi data produk yang laris di suatu negara untuk kemudian diproduksi di China (antaranews.com, 6/7/2023). Adanya platform TikTok yang didefinisikan sebagai socio-commerce, yang berarti bukan hanya sebagai media sosial karena di dalamnya terdapat fitur dan fasilitas tertentu telah memungkinkan pedagang dapat mempromosikan produk, bertransaksi, dan memproses pengiriman.
Lebih lanjut, Indonesia menduduki urutan kedua sebagai negara pengguna TikTok terbanyak di dunia pada awal tahun 2023 setelah Amerika Serikat (We Are Social, 26/1/2023). Jumlah pengguna TikTok Indonesia mencapai 109,9 juta, lalu diikuti oleh Brasil dan Meksiko dengan jumlah pengguna masing-masing 82,21 juta dan 57,51 juta pengguna. Besarnya angka tersebut sebagai landasan pemerintah untuk merevisi peraturan dalam rangka mewanti-wanti agar penggunaan platform TikTok sebagai socio-commerce tidak mematikan UMKM dalam negeri.
Semakin berkembangnya digitalisasi membuat produk asing semakin mudah untuk mendominasi pasar dalam negeri. Berbeda dengan mekanisme penjualan impor, penjualan hanya menggunakan marketplace tidak melalui Bea Cukai dan tidak mendapatkan izin edar dari lembaga terkait, sehingga hal tersebut menambah deretan pentingnya revisi PMSE yang diusulkan KemnkopUKM kepada Kemendag. Urgensi merevisi peraturan PMSE juga disebabkan oleh belum siapnya produk UMKM dalam negeri untuk bersaing dengan produk luar negeri, baik dari segi kualitas maupun harga. Akibatnya, konsumen lebih tertarik untuk belanja produk impor, meski barang tersebut juga telah diproduksi di dalam negeri.
Selain dengan cara merevisi peraturan PMSE, untuk melindungi UMKM dalam negeri perlu dilakukan penguatan digitalisasi bagi UMKM di Indonesia agar lebih siap dalam bersaing dengan produk impor. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan jumlah UMKM tahun 2022 ada sekitar 64 unit di seluruh Indonesia, namun yang terdigital baru sekitar 19 juta unit atau sekitar 29 persen.
Dengan demikian, dapat diperkirakan sekitar 71 persen UMKM belum terdigitalisasi karena beberapa kendala. Sebagaimana laporan Boston Consulting Group (BCG) dan Telkom Indonesia yang telah menyurvei 3.700 UMKM lokal, 57 persen respondennya menjawab kendalanya ada pada kurangnya pembiayaan. Selain itu, kendala transformasi digital UMKM adalah kurangnya pelatihan kemampuan digital, dukungan kebijakan, hingga belum tersedianya infrastruktur digital yang maksimal (BCG, 2022). Menyikapi kondisi tersebut, diperlukan adanya pendampingan baik dari pemerintah maupun pemangku kepentingan relevan terkait lainnya untuk mendukung agar UMKM dalam negeri terdigitalisasi dari segi pemasaran dan tidak dirugikan dengan adanya persaingan global.
Menangani hal tersebut, komunikasi antara Kementerian Koperasi dan UKM dengan Kementerian Perdagangan menjadi hal yang krusial. Pasalnya, kondisi perkembangan teknologi yang cukup pesat memaksa UMKM untuk menyesuaikan diri dan memperbaiki mutu produknya. Apabila tidak dibarengi dengan payung hukum yang jelas dalam hal perdagangan secara online, maka akan mengurangi minat konsumen untuk berbelanja produk UMKM dalam negeri. Perlu penguatan internal UMKM dalam negeri untuk meningkatkan penjualannya dari segi produk, pasar, harga, dan promosi. Salah satunya adalah dengan memberikan pendampingan bagi UMKM.
Lebih lanjut, infrastruktur digital dari segi pembayaran dan ketersediaan jaringan internet hingga daerah juga penting untuk diperhatikan. Ekosistem yang mendukung ekonomi digital dan keterlebitan multipihak juga sangat penting untuk mendukung UMKM dalam negeri yang terdigitalisasi dan daya saing yang lebih baik. Dalam segi pembayaran, Bank Indonesia perlu memperkuat program digitalisasi UMKM, seperti e-farming untuk sektor pertanian, hingga mengawasi pembayaran digital yang dilakukan oleh bank umum.
Nuri Resti Chayyani
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)