Tak Henti Tambah Pekerja Meski Pandemi

JAKARTA – Pada masa pandemi Covid-19, sejumlah sektor usaha mengalami penurunan kinerja. Imbasnya, perusahaan melakukan upaya efisiensi untuk menyelamatkan bisnisnya.

Tak sedikit perusahaan yang melakukan pemotongan upah, bahkan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, di antara sejumlah sektor usaha yang terdampak akibat lesunya perekonomian, ternyata masih ada bisnis yang justru getol merekrut karyawan. Sektor e-commerce dan layanan pengiriman barang adalah dua di antaranya.

Hal ini sejalan dengan riset sejumlah firma konsultasi yang menyebutkan bahwa masa pandemi mendorong adanya pembatasan gerak sosial di masyarakat. Imbasnya, konsumen lebih memilih melakukan transaksi belanja melalui toko online atau marketplace. Hal tersebut berimbas pada meningkatnya layanan pengiriman barang dari transaksi berbasis internet itu.

Fakta tersebut diakui oleh perusahaan pengiriman PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE). Perusahaan yang identik dengan logo huruf biru beraksen merah itu menyatakan bahwa kebutuhan masyarakat akan jasa layanan pengiriman barang paa masa pandemi semakin meningkat.

“Paling signifikan berasal dari pengiriman transaksi e-commerce domestik. Kalau kiriman crossborder menurun tajam karena adanya pembatasan penerbangan baik ke dalam maupun luar negeri,” kata VP of Marketing JNE Eri Palgunadi kepada SINDO Media di Jakarta baru-baru ini.

Eri menambahkan, merespons tingginya peningkatan pengiriman barang, JNE pun terus melakukan pengembangan. Salah satunya di sektor sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, sejak akhir tahun lalu hingga saat ini tercatat ada penambahan jumlah SDM sekitar 5.000 orang, sehingga total karyawan perusahaan saat ini mencapai 50.000 orang lebih.

Berdasarkan pengamatan Eri, pandemi Covid-19 membuat perilaku masyarakat dalam berbelanja berubah. Dari sebelumnya lebih senang datang ke toko, pasar, dan pusat perbelanjaan modern, setelah pandemi masyarakat beralih dengan berbelanja secara daring.

Ihwal perubahan perilaku belanja dari daring ke luring juga dirasakan oleh sejumlah pelaku usaha e-commerce. Platform belanja daring seperti Bukalapak, Shopee, Blibli, dan Tokopedia. Mereka mengakui terjadi peningkatan transaksi berkali-kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.

Direktur Shopee Indonesia Handhika Jahja berujar, e-commerce yang identik dengan warna oranye itu mengalami pertumbuhan cukup signifikan selama pandemi. Shopee mencatat, lebih dari 260 juta transaksi sepanjang kuartal II/2020 ini dengan rata-rata harian mencapai lebih dari 2,8 juta transaksi.

“Jika dibandingkan dari tahun lalu, kami mencatat peningkatan lebih dari 130%,” kata Handhika kepada SINDO Media, Kamis (8/10/2020).

Seiring pertumbuhan itu, dia tidak menampik jika ada kebutuhan perusahaan untuk merekrut karyawan baru guna menguatkan lini bisnis. Mereka pun berkomitmen terus berusaha semaksimal mungkin menjadi perpanjangan tangan bagi para pengguna agar selalu bisa mendapatkan akses yang mudah untuk memenuhi kebutuhan esensial mereka.

Hal senada disampaikan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin. Menurutnya, pada masa pandemi, Bukalapak masih terus membuka proses perekrutan karyawan baru yang dibutuhkan guna menyelaraskan bisnis perusahaan.

Hal ini untuk merespons kenaikan kinerja Bukalapak yang mencatatkan pertumbuhan total processing value (TPV) secara signifikan dari kuartal I/2018 hingga kuartal II/2020, sebanyak hampir 400%. Capaian ini didominasi oleh transaksi dan pertumbuhan market share yang tetap stabil walau masa pandemi.

Dari sisi pengembangan usaha kecil dan menengah (UMKM), kenaikan juga terjadi pada jumlah pelaku usaha yang bergabung menjadi Pelapak dan Mitra Bukalapak yakni mencapai lebih dari 3 juta dalam tujuh bulan pertama tahun ini.

“Selama masa pandemi, pertumbuhan rata-rata produk virtual di Bukalapak mencapai lebih dari 60% dibandingkan sebelum masa pandemi,” katanya. Penuh Pertimbangan

Peneliti bidang ekonomi dari The Indonesian Institute (TII) M Rifki Fadilah mengatakan, kemampuan e-commerce dan perusahaan jasa layanan pengiriman pada masa pandemi di Tanah Air berbeda-beda terkait respons mereka dalam merekrut tenaga kerja pada masa pandemi.

“Pihak perusahaan e-commerce pasti memperhitungkan cost of labour dan lain-lain sehingga bisa jadi mereka menahan untuk tidak rekrut karyawan terlebih dahulu,” kata Rifki.

Perusahaan, kata dia, akan melihat ekspektasi dari ekonomi saat ini. Terlebih, perusahaan yang berorientasi ekspor-impor mereka sedang berada di posisi wait and see terhadap pergerakan ekonomi global.

Rifki memandang, ada beberapa alasan mengapa korporasi menahan untuk tidak merekrut karyawan. Pertama, karena daya beli sedang menurun yang terlihat dari laju inflasi yang rendah.

Kedua, meskipun kelas menengah-atas masih dikatakan memiliki daya beli, di tengah pandemi ada kecenderungan menahan konsumsi.

Secara khusus, dia melihat perusahaan-perusahaan akan cenderung memilih strategi bisnis untuk bertahan (survive) ketimbang ekspansi.

Lebih lanjut, dia menyatakan persoalan krisis atau resesi di Indonesia saat ini disebabkan oleh pandemi. Maka itu, yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah pandeminya.

“Selama pandemi belum dapat diatasi dan vaksin juga belum ditemukan, maka protokol kesehatan masih harus diterapkan. Implikasinya, ekonomi tidak akan bisa bekerja dalam keadaan full-employment. Maksimal 50–60% sudah bagus,” imbuh dia.
Ahli Teknologi Banyak Dibutuhan

Sementara di luar negeri, survei McKinsey & Company menyebutkan pada masa pendemi Covid-19, perusahaan-perusahaan global yang bergerak dalam bidang kesehatan, teknologi, dan digital terus melakukan ekspansi. Dari survei tersebut diperoleh fakta bahwa lebih dari 83% dari 800 eksekutif bisnis di dunia berencana membuka lowongan pekerjaan untuk posisi kesehatan dan keselamatan dalam beberapa bulan ke depan. Salah satu posisi yang sedang banyak dibutuhkan ialah pengawas sanitasi 73% dan operator kesehatan.

“Saat ini tugas itu dikerjakan robot,” ungkap McKinsey & Company, dikutip CNBC. Sementara itu, lebih dari 68% responden berencana membuka lowongan untuk ahli teknologi. Posisi yang paling banyak diincar ialah ahli kecerdasan buatan (35%), digital customer experience (26%), internet of things (24%), dan cloud (19%).

Kebutuhan tenaga ahli teknologi itu dipicu meningkatnya bisnis digitalisasi tahun ini. Menurut McKinsey & Company, sekitar 85% perusahaan kini mengakselerasi digitalisasi dan 67% meningkatkan otomasi dan kecerdasan buatan. Perusahaan juga kini memerlukan karyawan yang melek teknologi dan digitalisasi.

Belakangan ini, perusahaan ritel daring Amazon bahkan telah merekrut 100.000 karyawan baru dengan upah USD15 (Rp220.000) per jam menyusul banyaknya orang yang berbelanja secara daring di tengah pandemi. Lowongan kerja yang dibuka di AS dan Kanada itu menyasar seluruh ahli, mulai tim pengawas gudang, pemaketan, hingga pemasaran. (Faorick Pakpahan/FW Bahtiar/Muh Shamil)

https://ekbis.sindonews.com/read/193164/34/tak-henti-tambah-pekerja-meski-pandemi-1602454204?showpage=all

Komentar