Sistem proporsional terbuka masih menjadi sistem yang baik untuk digunakan dalam Pemilu 2024

Beberapa waktu lalu muncul polemik mengenai sistem pemilihan umum (Pemilu) yang akan kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Polemik ini  mengemuka setelah Ahli Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengaku mendapat informasi tersebut dalam gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem Proporsional Terbuka yang tengah dalam proses sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).

Informasi ini kemudian direspon oleh delapan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menegaskan menolak diterapkannya sistem pemilu proporsional tertutup. Kedelapan fraksi itu yang menolak yaitu Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Amanat Nasional, Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Demokrat, Fraksi NasDem, dan Fraksi Keadilan Sejahtera.

Sistem proporsional tertutup itu sendiri merupakan sistem pemilihan yang memungkinkan pemilih hanya memilih partai politik saja. Kursi yang dimenangkan partai politik diisi dengan kandidat-kandidat sesuai dengan rangking mereka dalam daftar kandidat, yang ditentukan oleh partai. Biasanya hanya nama partai yang dimunculkan dalam surat suara. Partai politik memilki kekuasaan yang cukup besar dalam penentuan kandidat partai yang terpilih untuk mengisi kursi-kursi yang tersedia. Dalam hal ini para kandidat memiliki keterikatan tertentu dengan partai dan pemimpinya atau pada pra-pemilihan terikat pada pimpinan sayap partai yang bersangkutan (Pito, dkk, 2022).

Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka pemilih memilih partai politik yang mereka sukai dan dalam partai tersebut, juga memilih kandidat yang mereka ingnkan untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut. Biasanya, jumlah kandidat dalam daftar partai yang ditampilkan dalam surat suara adalah dua kali jumlah kursi yang tersedia. Para pemilih secara umum dapat memilih kandidat-kandidat dalam daftar kandidat suatu partai sebanyak kursi yang tersedia (Pito, dkk, 2022).

Berdasarkan paparan dan melihat kondisi hari ini, sistem proporsional terbuka masih menjadi sistem yang baik untuk digunakan dalam Pemilu 2024. Ada sejumlah alasan sistem proporsional masih lebih baik digunakan. Pertama, sistem proporsional terbuka meningkatkan keterkaitan hubungan antara caleg dengan pemilih. Dalam sistem proporsional terbuka pemilih dapat langsung memilih caleg sesuai dengan yang diinginkannya tanpa ditentukan dengan partai politik. Artinya hubungan antara caleg dan pemilih akan semaik erat.

Kedua, proses rekrutmen caleg di internal partai politik masih bersifat tertutup, jika sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional tertutup maka tidak ada ruang bagi pemilih untuk menyeleksi secara langsung caleg yang diinginkannya, sementara dengan sistem proporsional terbuka pemilih dapat memutus oligarki partai tersebut.

Ketiga, bagi caleg perempuan sistem proporsional terbuka memberikan pembelajaran mengenai bagaimana cara berkompetisi dalam pemilu, jika sistem pemilu diubah maka apa yang selama ini sudah dipelajari oleh para caleg perempuan tersebut akan sia-sia. Keempat, partai politik dituntut untuk melakukan rekrutmen caleg secara demokratis sehingga meskipun sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional terbuka bukan caleg yang hanya memiliki popularitas yang tinggi dan memiliki modal besar yang dipilih menjadi caleg tetapi yang memang memiliki dukungan dari akar rumput.

Kelima, sistem pemilu proposional daftar terbuka memang membawa banyak masalah, mulai dari tuduhan menyuburkan politik uang sampai menghasilkan anggota parlemen kualitas rendah. Namun mengubah sistem pemilu proposional daftar terbuka menjadi sistem proporsional daftar tertutup, bukan memperkuat dan menyuburkan kembali oligarki politik, tetapi juga membunuh partisipasi politik berkualitas yang mulai tumbuh di masyarakat. Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah penyempurnaan sistem pemilu proporsional daftar terbuka.

Keenam, penyempurnaan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dilakukan dalam dua aspek: sistem dan manajemen. Dalam sistem pemilu: pertama, variabel besaran daerah pemilihan perlu diperkecil menjadi 3-6 kursi agar calon dan pemilih lebih mudah saling mengenali dan saling bertanggungjawab; kedua, variabel metode pencalonan dipertegas, pemilih hanya memilih calon sebab memeilih calon berati memilih partai politik karena calon diajukan partai politik. Kemudahan memilih ini akan membuat pemilih dan calon fokus dalam berkampanye.

Ketujuh, sementara itu dalam aspek manajemen, perbaikan dilakukan terutama dalam metode kampanye. Di sini undang-undang mengharuskan interkasi yang kuat antara pemilih dan calon sehingga mereka tidak hanya saling kenal tetapi juga saling bertanggung jawab, baik pada masa pemilu maupun pasca pemilu;

Kedelapan, sistem pemilu proposional daftar terbuka terbukti mampu meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Lebih dari itu sistem ini telah mendorong perempuan untuk berpolitik praktis di lapangan melalui berbagai kegiatan pemenangan pemilu. Pendewasaan politik perempuan yang dikondisikan oleh sistem pemilu proporsional daftar terbuka ini menjadi modal penting buat gerakan politik perempuan pada masa mendatang.

Kesembilan, upaya menjamin perempuan masuk parlemen melalui pemilu, tidak cukup hanya bersandar pada ketentuan “keterwakilan 30% perempuan dalam daftar calon” dan “sedikitanya satu dari tiga calon adalah perempuan” tetapi juga harus ditambah ketentuan baru “sekurang-kurangnya 30% daerah pemilihan calon perempuan ditempatkan pada nomor urut 1”.

Kesepuluh, ketentuan ini penting dengan dua pertimbangan: pertama, pengalaman pemilu sebelumnya menunjukkan, calon terpilih 90% berasal dari calon nomor urut 1; kedua, dengan pengecilan besaran daerah pemilihan menjadi 3-6 kursi maka akan semakin banyak jumlah daerah pemilihan, sehingga calon perempuan bernomor urut 1 juga harus tersebar secara secara proposional sesuai prinsip minimal 30% perempuan.

Namun, pelaksanaan sistem ini masih memerlukan perbaikan partai politik dalam menjalankan peran dan fungsinya. Perbaikan yang penting dilakukan yaitu pertama, terkait rekrutmen politik. Karena saat ini perekrutan politik menjadi tersentralisasi di tangan elit partai di tingkat pusat.

Para elit di sekitar “orang-orang kuat” biasanya menjadi pintu masuk kandidat untuk mencari rekomendasi partai. Selain itu, hal lain yang sangat penting untuk dilakukan dalam rekrutmen yaitu partai politik menghindari rekruitmen instan, yang memunculkan calon “karbitan”, yang hanya disiapkan jelang Pemilu.

Oleh karena itu, dibutuhkan perbaikan di internal partai politik dengan membangun sistem yang transparan dan berbasis prestasi, serta proses pencalonan yang akuntabel harus menjadi dasar utama partai dalam melakukan rekrutmen politik.

Selain rekrutmen, persalan lain yang muncul pada sistem proporsional terbuka seperti maraknya politik uang di masyarakat harus dapat di minimalisir. Diperlukan penguatan oleh penyelenggara pemilu dalam pencegahan, pengawasan dan penindakan praktik politik uang. Selain penyelenggara pemilu, peran pencegahan dan pengawasan terhadap praktik politik uang diharapkan juga didukung oleh kelompok masyarakat sipil. Hal ini sangat penting untuk menekan praktik politik uang pada pemilu 2024 nanti. Sehingga menjadikan demokrasi kita menjadi lebih berkualitas.

 

Arfianto Purbolaksono

Manajer Riset dan Program

arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar