Revisi UU, Semangat Reformasi, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Pada jelang pertengahan tahun 2024 ini, Indonesia sedang berada di momen transisi pemerintahan dengan pergantian presiden dan menuju masa akhir Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2020-2024. Dari antara rancangan undang-undang (RUU) yang hangat dibicarakan, di antaranya adalah yang berkaitan dengan kelembagaan negara yaitu RUU Kementerian Negara, RUU Mahkamah Konstitusi (RUU MK), dan disusul wacana revisi RUU Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dan RUU Kepolisian.

Secara umum, revisi UU terkait kelembagaan negara menyasar kewenangan dari lembaga-lembaga terkait. Namun, jika perubahan kewenangan tidak berdasarkan argumentasi ilmiah, harmonisasi peraturan yang memadai, dan sarat akan kepentingan politik malah justru berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antar lembaga, melemahkan lembaga dari kapasitasnya, atau bahkan terlalu memperkuat kewenangannya sehingga menciptakan dasar kesewenang-wenangan. Imbasnya tidak lain dan tidak bukan kembali pada rakyat. Jika kinerja lembaga-lembaga negara menurun akibat pemisahan kekuasaan yang tidak optimal bahkan kesewenang-wenangan, kesejahteraan warga dan nilai demokrasi menjadi taruhannya.

Sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia telah melalui beragam badai akibat pembagian kewenangan lembaga yang tidak seimbang, tidak independen, sampai dengan menginvasi hak asasi warganya. Mulai dari kekuatan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dapat menunjuk Presiden pada era Orde Lama. Pengaruh Presiden yang mendapat momok “executive heavy”, TNI yang terlibat dalam struktur pemerintahan, dan lembaga kehakiman yang tidak independen di era Orde Baru. Pengalaman-pengalaman tersebut merupakan pelajaran berharga untuk masa depan demokrasi Indonesia.

Berkat Reformasi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menempati peringkat tertinggi sebagai sumber hukum di Indonesia. Semua lembaga negara dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif tunduk pada UUD NRI Tahun 1945. Lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif saat ini duduk di bangku yang setara, walaupun pemisahan kekuasaan tidak akan ada yang berjalan sempurna sebagaimana juga dikemukakan langsung oleh James Madison (1788). Hak asasi manusia warga yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagai sumber hukum utama pun menjadi dasar perlindungan utama warga.

Saat ini, agenda-agenda merevisi UU Kementerian Negara, UU MK, UU TNI, dan UU Kepolisian kembali membawa Indonesia ke tengah ancaman mundurnya semangat Reformasi. Ketentuan yang diwacanakan untuk direvisi dalam masing-masing RUU berpotensi mengancam nilai demokrasi dan semangat Reformasi yang telah diperjuangkan sejak lama.

RUU Kementerian Negara memiliki wacana untuk tidak lagi mengatur jumlah kementerian, sehingga menjadi hak prerogatif Presiden untuk mengurangi atau menambah jumlah kementerian (hukumonline.com, 21/5/2024). Jika jumlah kementerian bertambah namun tidak disertai dengan mekanisme dan sumber daya pengawasan yang memadai, integritas dan kepercayaan publik bisa terancam (Primaresti, 2024). Selain itu, momok “executive heavy” bisa kembali ketika eksekutif bekerja tanpa adanya pengawasan yang bisa mengimbangi banyaknya lembaga-lembaga kementerian yang ada.

Selain itu, ada juga RUU MK dengan salah satu ketentuan yang menaikkan syarat usia hakim konstitusi dari 55 tahun menjadi 60 tahun dan menurunkan masa jabatan hakim dari 15 tahun jadi 5 tahun  (nasional.kompas.com, 14/5/2024). Naiknya syarat usia dapat membatasi partisipasi masyarakat untuk berkontribusi dalam MK. Semakin tingginya syarat usia dibarengi dengan persyaratan kualifikasi hakim konstitusi yang sudah sulit menjadikan hak masyarakat untuk ikut serta dalam pemerintahan sebagaimana dilindungi dalam konstitusi jadi terhalang. Kemudian, pengurangan masa jabatan hakim konstitusi bisa mengganggu independensi hakim karena kontak politik di MK yang semakin sering. Hal ini disebabkan karena frekuensi MK yang harus berurusan dengan lembaga-lembaga pengusul hakimnya menjadi lebih banyak jadi 5 tahun sekali, alih-alih sebelumnya 15 tahun sekali.

Sementara, RUU TNI diwacanakan akan membahas status TNI, usia dinas, status hubungan antara TNI dan Kementerian Pertahanan, dan masalah-masalah anggaran (nasional.tempo.co, 22/5/2024). Walaupun pembahasan RUU TNI per tanggal tulisan ini dibuat (24/5) belum begitu jelas poin-poin dan drafnya, namun masyarakat sipil sudah memberikan rambu kuat terkait status TNI. Perlu dikawal dengan ketat perubahan status TNI supaya TNI tidak memiliki kewenangan untuk menempati jabatan sipil. Masuknya TNI ke pemerintahan jelas bertentangan dengan semangat Reformasi karena menjadi jalan kembalinya Indonesia ke Orde Baru.

RUU Kepolisian juga menjadi sorotan lantaran wacana penambahan kewenangan dalam melakukan penyadapan yang tidak diimbangi dengan memperkuat posisi pengawas kepolisian, seperti Komisi Kepolisian Nasional. Selain itu, RUU ini juga tetap mempertahankan Pengamanan Swakarsa yang memperbolehkan masyarakat untuk membentuk pengamanan untuk kepentingan masyarakat sendiri (nasional.tempo.co, 21/5/2024). Kewenangan penyadapan yang terlalu luas dapat mengancam hak privasi warga, apalagi jika tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat. Hal ini bisa berujung pada kriminalisasi kebebasan berpendapat yang padahal merupakan hak dilindungi konstitusi. Kemudian, Pengamanan Swakarsa memiliki potensi besar untuk disalahgunakan masyarakat tidak bertanggung jawab. Penjagaan ”kepentingan masyarakat” dalam Pengamanan Swakarsa cenderung tidak memiliki parameter, sehingga berpotensi diskriminatif, main hakim sendiri, atau bahkan melanggar hak asasi manusia warga lainnya.

Berkaca dari tren pengalaman lalu, seperti perubahan UU KPK dan UU Cipta Kerja, saat ini, baik Dewan Perwakilan Daerah (DPR) dan pihak Pemerintah cenderung tidak transparan dan partisipatif dalam membentuk UU. Apalagi dengan situasi perubahan tajam manuver kepemimpinan Indonesia dan parlemen dihadapkan dengan waktu singkat untuk mengejar ‘ketertinggalannya’ dalam membentuk UU. Dikhawatirkan situasi ini justru makin menurunkan kualitas produk hukum yang dikeluarkan DPR dan makin dikesampingkannya partisipasi masyarakat.

Maka, marwah semangat Reformasi harus terus kita jaga dan demokrasi tetap kita junjung. Indonesia yang juga adalah negara hukum perlu tetap menghasilkan produk hukum yang formil dan materilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berkeadilan, dan sarat akan kepentingan publik. Masyarakat maupun organisasi masyarakat sipil perlu terus mengawal perkembangan revisi UU-UU di atas, supaya tidak jauh dari cita-cita bangsa sebagai negara yang demokratis dan berlandaskan Pancasila. DPR dan Pemerintah jangan sampai meloloskan ketentuan terkait kewenangan lembaga negara yang bertentangan dengan nilai demokrasi dan semangat Reformasi untuk keuntungan segelintir orang semata. Pembelajaran keruhnya demokrasi Indonesia di masa lalu harus menjadi perbaikan untuk masa mendatang, bukan malah diabaikan dengan melakukan kesalahan yang sama atau bahkan lebih parah.

 

 

Christina Clarissa Intania

Peneliti Bidang Hukum

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

christina@theindonesianinstitute.com

Komentar