Ramadhan dan Anomali Harga Kebutuhan Pokok

Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Beberapa hari ke depan masyarakat di seluruh dunia akan memasuki Bulan Ramadhan, bulan di mana setiap muslim diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa. Di Indonesia, kedatangan bulan tersebut tentunya akan disambut dengan suka cita bagi setiap yang menjalankannya.

Namun, layaknya suatu masalah rutin tahunan, tidak hanya rasa kegembiraan saja yang akan menyambut kedatangan bulan tersebut, melainkan juga naiknya harga-harga kebutuhan pokok, seperti beras, cabai, gula pasir dan lain sebagainya.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, Indonesia telah mengalami perlambatan ekonomi sebesar 4.7 persen pada kuartal pertama tahun 2015. Akan tetapi konsumsi masyarakat diprediksi akan mengalami peningkatan sepanjang bulan puasa seperti yang tejadi pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini yang kemudian akan meningkatkan harga atas barang yang diminta, terlebih apabila tidak diimbangi dengan stok persediaan yang memadai.

Berdasarkan teori permintaan dalam ilmu ekonomi, meningkatnya konsumsi yang terjadi di masyarakat akan mengakibatkan terjadinya pergerakan titik keseimbangan dengan harga yang lebih tinggi. Data di lapangan telah menunjukan bahwa hampir seluruh wilayah di republik ini mengalami peningkatan harga, terutama pada komoditas pangan utama.

Di Pasar Jatingaleh Semarang misalnya, harga telur ayam, gula merah, dan kacang tanah telah meningkat sebesar Rp.1.000 dan diperkirakan akan terus naik sebesar Rp.6.000 pada beberapa hari ke depan. Hal serupa juga terjadi di Pasar Jatiasih Bekasi dan Pasar Kodim Pekanbaru dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang bervariasi (The Jakarta Post, 08/06/2015).

Pertanyaan yang kemudian timbul dari benak penulis adalah apakah kenaikan harga menjelang puasa masih dianggap wajar dan relevan hingga sekarang? Mengingat fenomena anomali harga seperti ini tidak hanya satu atau dua tahun belakangan saja, penulis menganggap bahwa hal ini adalah sesuatu yang tidak semestinya terjadi kembali.

Rasanya pemerintah telah lalai dan tidak menganggap kenaikan harga menjelang bulan puasa sebagai hal yang cukup krusial. Padahal dengan meningkatnya harga yang lebih tinggi, daya beli masyarakat justru akan semakin tergerus, dan pada akhirnya target pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun ini akan semakin sulit untuk dicapai.

Untuk menyelesaikan persoalan klasik ini, pemerintah sebaiknya tidak hanya mengandalkan strategi represif seperti pembukaan keran impor. Hal-hal perbaikan pada sisi produksi, distribusi, penjualan oleh para pengecer, hingga pembelian oleh konsumen harusnya sudah diperhatikan oleh pemerintah jauh-jauh hari sebelum datangnya Bulan Ramadhan sebagai usaha preventif.

Pemerintah perlu mengakselerasi kegiatan-kegiatan untuk mengatasi kegagalan panen hingga pengadaan papan acuan harga di lokasi-lokasi strategis. Hal ini tentunya akan berdampak positif bagi kestabilan harga-harga barang kebutuhan pokok baik pada Bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya.

Perihal informasi publik juga sebaiknya harus dijaga dengan betul oleh pemerintah. Ketidakjelasan informasi yang diterima oleh masyarakat harus dihindari agar tidak menghasilkan keputusan-keputusan ekonomi yang irasional, seperti misalnya panic demand yang dilakukan karena berspekulasi bahwa harga akan semakin merangkak naik di waktu yang akan datang.

Meskipun Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan jajarannya terkait permasalahan lonjakan harga ini, implementasi nyatalah yang kerap kali ditunggu oleh masyarakat Indonesia. Jangan sampai masyarakat kembali dikorbakan oleh pemerintah dalam kasus ini.

Selain itu, sisi permintaan masyarakat juga diharapakan untuk tidak terlalu berlebihan. Masyarakat perlu untuk memikirkan ulang esensi dari kehadiran Bulan Ramadhan ini apakah bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan atau meningkatkan jumlah konsumsi.

Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com

Komentar