Walau pemungutan suara bukanlah akhir dari penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, memberi sedikit ucapan selamat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) rasanya tidak berlebihan juga untuk dilontarkan. Sebab, agenda Pilkada 2020 telah menjadi preseden bagi penyelenggaraan pemenuhan hak elektoral warga negara dalam kondisi luar biasa untuk masa yang akan datang.
Dengan penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang menyeruak sejak awal tahun, KPU akhirnya dituntut untuk bisa bermanuver dan mengimbangi dua tuntutan konstitusional warga negara: hak bersuara dalam pemilihan umum dan hak untuk terhindar dari ancaman kesehatan. Instrumen pembeda bernama protokol kesehatan lalu disisipkan sebagai solusi dalam upaya penyelarasan penyelenggaraan pemilihan di masa pandemi.
Nahas, setelah proses bongkar pasang pada substansi dan bentuk relasional protokol kesehatan melalui sejumlah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) maupun Uji Publik yang panjang dan melelahkan, masih saja ditemui celah-celah atau kekurangan dari penerapan instrumen ini dalam rangkaian tahapan Pilkada 2020. Misalnya saja, dari 18.668 permasalahan di tempat pemungutan suara (TPS) yang dicatat oleh Badan Pengawas Pemililhan Umum (Bawaslu) pada 9 Desember lalu, ditemukan sebanyak 1.454 TPS tidak memiliki fasilitas cuci tangan (bawaslu.go.id, 9/12). Padahal, persyaratan tersebut secara terang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan Pilkada Serantak di kondisi bencana nonalam COVID-19 sebagai sesuatu yang wajib disediakan di setiap TPS.
Tidak berhenti pada tahapan yang telah terlaksana saja, memastikan diterapkannya protokol kesehatan secara penuh masih tetap dinanti mengingat adanya tahapan lain dari Pilkada 2020 yang harus dilalui. Sebut saja tahapan penetapan pasangan calon (paslon) terpilih, yang seringkali diikuti dengan terbentuknya kerumunan sebagai ekses dari euforia kemenangan calon pilihannya. Momen ini menjadi krusial, karena memiliki karakter pengait massa yang serupa dengan tahapan pendaftaran bakal paslon yang akhirnya menuai banyak kritik di awal September lalu.
Mengaburnya Urgensi Protokol Kesehatan
Ketika kekhawatiran soal penerapan protokol kesehatan saat dan setelah hari pemungutan suara masih hadir, tanggapan yang keluar dari Pemerintah malah menunjukkan hal yang berseberangan. Melalui pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, penyelenggaraan Pilkada 2020 justru dianggap “biasa-biasa saja”, karena “tidak terjadi apa-apa” (bbc.com, 9/12).
Pernyataan ini tentunya sangat bisa disanggah. Perlu diingat bahwa di masa penyelenggaraan Pilkada 2020, terdapat 70 orang calon kepala daerah yang terjangkit COVID-19 (tirto.id, 27/11). Di beberapa kasus tertentu, terjangkitnya calon kepala daerah lantas berimbas pada kalangan jurnalis yang harus memeriksa kesehatan dirinya pasca melakukan peliputan (kompas.tv, 7/9; suara.com, 8/9).
Belum lagi, laporan terbaru di hari pemungutan suara Pilkada 2020 memperlihatkan adanya 1.172 kasus terkait petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang terjangkit COVID-19 dan beberapa diantaranya masih bertugas di hari pemungutan suara. Fakta ini diperparah dengan temuan bahwa beberapa bilik khusus yang disiapkan untuk pemilih dengan suhu badan di atas 37,3 derajat Celcius tidak digunakan seperti ketentuan yang ada di dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2020 (tirto.id, 10/12; kompas.com, 9/12).
Kenyataan yang terpampang mempertontonkan sesuatu yang sangat kontraproduktif dengan semangat dan ekspektasi awal penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi. Sebab, ketika regulasi teknis Pilkada 2020 dirancang, protokol kesehatan selalu diposisikan sebagai instrumen sapu jagat yang menghadirkan solusi pelaksanaan Pilkada dalam kondisi luar biasa.
Masih tergambar jelas dalam ingatan penulis bagaimana ekspresi percaya diri ditunjukkan oleh sejumlah anggota fraksi partai di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat membicarakan penyelenggaraan Pilkada yang menurut masyarakat luas begitu dipaksakan. Dalam beberapa RDPU yang terselenggara saat itu, kekhawatiran masyarakat luas tidak berbuah menjadi suara di dalam ruang sidang. Di masa itu, protokol kesehatan selalu menjadi sauh bagi setiap permasalahan yang mengemuka, dan KPU sebagai penyelenggara seakan dibebankan oleh kewajiban untuk menerapkan protokol kesehatan secara penuh. Kini, catatan kasus COVID-19 yang timbul semakin menggugurkan optimisme yang sempat menguat di parlemen beberapa bulan lalu itu.
Potensi yang Masih Berlanjut
Peluang munculnya penerapan protokol kesehatan yang bermasalah tidak berhenti di hari pemungutan suara pekan lalu. Sebab, pelaksanaan Pilkada dalam PKPU Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Pilkada 2020 masih menyisakan agenda penetapan calon terpilih. Seperti yang sudah disinggung di awal tulisan, karakter yang ada pada tahapan tersebut berpotensi menciptakan kerumunan massa yang terafilisasi dengan kepala daerah terpilih.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk tetap terus diulang, bahwa penerapan setiap peraturan teknis penyelenggaraan Pilkada 2020 harus dilaksanakan dan didukung oleh setiap pemangku kepentingan. Di luar penyelenggara, para pemangku kepentingan itu antara lain adalah: paslon, partai pendukung/pengusung, relawan/tim kampanye paslon, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), anggota parlemen di Komisi II, hingga kepolisian. Aktor-aktor ini perlu secara penuh dan maksimal menerapkan ketentuan yang sebelumnya sudah disetujui secara kolektif. Misalnya saja bagi partai politik, mematuhi dan mengadvokasikan ketentuan dari penyelenggara harus benar-benar dilaksanakan, semisalnya dengan tidak melakukan penggiringan massa pada tahapan Pilkada yang tersisa.
Selain itu, semua pihak yang berkepentingan pada penyelenggaraan Pilkada di situasi pandemi juga patut menjaga keawasan secara berkelanjutan. Sebab, pihak-pihak yang dilaporkan terjangkit COVID-19, misalnya saja petugas ad hoc, bukanlah sekadar angka atau statistik. Mereka adalah individu-individu yang berkomitmen dalam mewujudkan hak konstitusional warga negara untuk memberikan hak pilihnya dalam suatu agenda elektoral. Jadi, pernyataan yang memposisikan Pilkada 2020 sebagai sesuatu yang “biasa-biasa saja” tidaklah tepat, karena hal itu secara memaksa telah menihilkan fakta dan dampak dari penyelenggeraan pemilihan di kondisi yang tidak biasa ini.
Rifqi Rachman,
Peneliti Bidang Politik
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research