Dalam mengatasi permasalahan terkait dengan beberapa pasal multitafsir dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pemerintah telah selesai membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), dan Jaksa Agung. SKB tersebut akan dijadikan sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE (kompas.id, 23 Mei 2021). Pertanyaannya adalah, apakah SKB yang merupakan salah satu rekomendasi Tim Kajian UU ITE dan berisi pedoman implementasi tersebut cukup untuk mengatasi masalah tingginya angka pemidanaan di ruang digital?
Revisi terhadap UU ITE merupakan satu prioritas yang harus terus didorong. Pasal-pasal multitfsir dalam undang-undang tersebut merupakan akar permasalahan yang mengakibatkan proses penegakan hukum tetap berjalan, walaupun harus mengadili satu individu yang tidak bersalah. Oleh karena itu, langkah yang paling tepat adalah dengan mencabut pasal-pasal tersebut, bukan melalui SKB. Apalagi sampai menambahkan satu pasal baru yang berpotensi menambah persoalan hukum digital di Indonesia. Ketentuan baru tersebut adalah Pasal 45C UU ITE, yang diusulkan agar dimasukkan dalam revisi oleh Tim Kajian UU ITE.
Pasal 45C dalam revisi UU ITE, memuat ketentuan tentang pemberitaan bohong yang dapat menimbulkan keonaran. Selama ini, UU ITE hanya mengatur ketentuan tindak pidana pemberitaan bohong terkait konsumen transaksi elektronik sebagaimana termuat dalam Pasal 28 ayat 1 UU ITE. Artinya, ketentuan tentang berita bohong dalam UU ITE masih berada dalam kerangka tujuan pembentukan undang-undang tersebut, yaitu untuk memberikan perlindungan masyarakat dalam bertransaksi di ruang digital.
Rencana pemerintah untuk menambahkan Pasal 45C ke dalam revisi UU ITE tentang pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran malah akan menambah deret pasal multitafsir dalam undang-undang ini. Nomenklatur baru yang diadopsi dari Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jelas tidak relevan dengan perkembangan hukum dan zaman hari ini.
Hingga hari ini, ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 masih dapat digunakan, karena belum terdapat satu aturan tertentu yang menyatakan bahwa pasal tersebut dicabut atau tidak lagi berlaku (Preasumtio Iustae Causa). Dengan demikian, pembentuk undang-undang menganggap bahwa menjadi hal yang lumrah untuk mengadopsi ketentuan tersebut ke dalam UU ITE berdasarkan perkembangan teknologi. Padahal, permasalahan Pasal 45C pada rencana revisi UU ITE terletak pada frasa tertentu yang hendak diadopsi dari dua pasal tersebut.
Penggunaan frasa “dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat” direncanakan akan diadopsi ke dalam Pasal 45C pada revisi UU ITE. Kata “dapat” menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, menunjukkan bahwa untuk delik Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak harus terbukti benar-benar dalam kenyataan telah terjadi keonaran di kalangan rakyat. Pemenuhan variabel pada delik tersebut hanya sebatas suatu kemungkinan atau potensi yang dapat terjadi. Walaupun, Pasal 45C dalam rencana revisi UU ITE mengisyaratkan agar keonaran tersebut terjadi di ruang fisik, cara untuk melakukan pembuktian sebuah unggahan di ruang digital memang mengakibatkan keonaran di ruang fisik, masih harus diperjelas.
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah mengisyaratkan agar sebuah norma hukum harus memiliki kejelasan rumusan. Tujuannya agar tidak terdapat perbedaan tafsir yang terjadi akibat kerancuan dalam melihat sebuah aturan hukum. Dengan demikian, pasal tersebut akan mampu memberikan kepastian hukum tanpa menciderai hak-hak tertentu.
Rumusan Pasal 45C dalam revisi UU ITE akan mudah ditafsirkan secara bebas oleh pelapor dan penegak hukum. Ditambah, delik tersebut dapat diterapkan terhadap sebuah perbuatan yang belum menimbulkan keonaran atau dianggap sebagai delik selesai hanya dengan sebatas potensi belaka. Dengan demikian, yang nantinya terjadi adalah ketidakpastian hukum. Harus diingat bahwa yang menjadi dorongan dari masyarakat adalah untuk menghapus pasal-pasal multitafsir yang saat ini ada di dalam UU ITE, bukan malah menambah sengkarut permasalahan dalam undang-undang tersebut.
Sebuah rumusan hukum yang represif akan segendang sepenarian dengan pembatasan kebebasan sipil dan pemidanaan. Seyogyanya, aturan main di ruang digital harusnya mampu memberikan perlindungan penuh terhadap aktivitas dan transaksi masyarakat. Dengan kata lain, aturan main tersebut bukan hanya mengurus perihal yang membuka ruang subjektivitas penguasa terkait dengan berita bohong maupun potensi terjadinya keonaran.
Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum