Tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka, dan potret penataan lembaga negaranya dapat dikatakan tidak sedang dalam kondisi yang baik-baik saja. Khususnya yang tergabung dalam kategori Lembaga Pemerintah Non Kementerian/Departemen (LPNK/D) atau Lembaga Non Struktural (LNS), yang pembentukannya tidak tanggung-tanggung pascareformasi digulirkan, bak cendawan yang tumbuh di musim hujan.
Seperti halnya undang-undang dan regulasi yang saat ini tengah mengalami obesitas, total dari jumlah keseluruhan lembaga negara yang tergabung dalam kategorisasi itu pun, juga dapat dilihat mengalami kondisi serupa dengan tingkat “keamburadulitas” yang jauh lebih rumit. Sebab, secara umum dapat dikatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga ini terkadang hanya cenderung bersifat reaksioner dan insidentil, tanpa didasari landasan konseptual yang matang (Tauda, 2012).
Bahkan, tidak dapat dipungkiri apabila alasan sebenarnya dibalik pembentukan lembaga-lembaga tersebut, kerap hanya dilandasi alasan untuk pencitraan rezim saja, dan dalam proses yang terburu-buru (Mochtar, 2012). Lain halnya dengan fakta yang memperlihatkan belum adanya data terpadu yang setidaknya pernah dikeluarkan oleh pemerintah atau lembaga negara manapun terkait perkembangan jumlah atau total dari angka keseluruhan lembaga-lembaga negara tersebut secara final dan pasti.
Beberapa diantaranya, menginformasikan daftar lembaga negara dengan jumlah dan susunan yang telah ketinggalan, rancu, tidak lengkap dan berbeda-beda. Salah satunya, seperti daftar yang termuat dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian, yang sebagaimana diubah terakhir kali dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 145 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedelapan Atas Keppres No. 103 Tahun 2001.
Setidaknya, terdapat beberapa hal yang membuat mengapa Perpres ini dapat dikatakan agak bermasalah. Pertama, selain tidak pernah lagi perbaharui, Perpres ini juga secara berangsur telah mengeluarkan beberapa keberadaan LNPK/D yang sebenarnya belum pernah dibubarkan dari daftar LPNK/D, yang semulanya disebut sebanyak 25 lembaga menjadi hanya 14 lembaga. Contohnya, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Badan Intelijen Negara (BIN), dan sebagainya.
Kedua, beberapa LNPK/D yang terbentuk sebelum perubahan teranyar Perpres tersebut dikeluarkan, terlihat luput atau tidak pernah dimasukkan ke dalam daftar LNPK/D tersebut. Utamanya, seperti Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (kini disebut Badan Perlindungan Pekerja Migran/BP2MI) yang sebelumnya dibentuk di tahun 2006, atau Badan Narkotika Nasional (BNN) yang terbentuk sejak tahun 2002.
Alternatif lainnya, dapat juga dilihat dalam beberapa situs daring resmi kementerian atau lembaga-lembaga negara lain, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Ombudsman, ataupun Lembaga Administrasi Negara (LAN). Dalam laman Kemenpan-RB misalnya, sebanyak 27 lembaga disebut masuk dalam klasifikasi LPNK/D. Berbeda halnya dengan laman Ombudsman, yang menampilkan jumlah LPNK/D yang ada terdiri dari 30 lembaga.
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) melalui laman Indonesia.go.id juga menyajikan angka yang berbeda. Daftar LNPK/D yang disebut dalam laman itu, berjumlah sebanyak 32 lembaga. Berbedanya angka-angka itu, tentu membawa ambiguitas tersendiri. Rupanya, terdapat beberapa lembaga negara yang sekiranya absen dimasukkan, seperti BIN, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), ataupun salah diklasifikasikan ke dalam kategori LPNK/D tersebut, seperti Bank Indonesia (BI) yang jelas-jelas disebut dalam produk hukum pembentukannya, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, merupakan lembaga negara independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya.
Kerancuan tersebut, tentunya tidak hanya berhenti di situ. Seperti yang sebagaimana diuraikan di awal, permasalahan lain terkait gemuknya tatanan lembaga negara, pada dasarnya juga melanda lembaga-lembaga negara yang diklasifikasikan atas nama kategori LNS. Bahkan, jumlahnya dapat dikatakan jauh lebih menggelembung dan terparah jika dibandingkan dengan jumlah LNPK/D sebelumnya.
Kajian Kelembagaan LAN (2013), setidaknya menyebut jumlah LNS yang terbentuk sejauh ini telah mencapai sebanyak 135 lembaga. Sementara data dari laman daring Kementerian Sekretariat Negara atau Setneg.go.id, menyebutkan jumlahnya sebanyak 104 lembaga. Bengkaknya angka tersebut, tentu menjadi satu hal yang boleh jadi membuka peluang terjadinya tumpang tindih kewenangan, memunculkan kompetisi yang tidak perlu antar birokrasi, hingga menyuburkan silo mentality yang pada akhirnya hanya akan merusak tatanan kerja dan efektivitas pelayanan publik.
Namun, permasalahan mendasar lainnya dari LNS ini, tidak hanya berkisar pada persoalan jumlah saja, melainkan juga dari sisi nomenklatur dan pengklasifikasian kategorisasinya itu sendiri. Misalnya, hampir tidak dapat ditemukan penjelasan yang lebih rinci terkait mengapa penamaan suatu lembaga negara diberi titel “Komisi”, “Badan/Lembaga”, “Dewan”, dan sebagainya dalam produk hukum pembentukannya. Begitu juga dengan kejelasan klasifikasinya yang dikategorisasikan ke dalam istilah LNS, yang sepertinya agak bermasalah dari sisi konseptual.
Beberapa lembaga-lembaga negara tersebut, pada kenyataannya tidak dapat dikatakan sepenuhnya bersifat “nonstruktural”, atau bisa jadi memang tidak memiliki struktur apapun dari cabang-cabang kekuasaan manapun. Sebut saja seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atau Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG), yang secara definitif langsung disebutkan sebagai “lembaga nonstruktural” dalam masing-masing produk hukum pembentukannya. Di sisi lain, lembaga-lembaga ini juga disebut bertanggung jawab kepada Presiden. Hal tersebut jelas memberikan kerancuan tersendiri, karena bagaimanapun juga, kedua lembaga tersebut secara struktur mengakar pada Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif.
Berbeda halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan sebagainya yang secara kelembagaan juga disebut atau diklasifikasikan dalam Setneg.go.id atau Kajian Kelembagaan LAN sebagai LNS, lembaga-lembaga ini, secara struktural pada dasarnya tidak bisa diklasifikasikan ke dalam struktur kelembagaan manapun. Hal ini dikarenakan sifatnya yang secara umum disebut dalam produk hukum pembentukannya masing-masing, bersifat mandiri, independen atau bebas/terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah atau pihak lain.
Dalam kajian tata negara kontemporer, lembaga ini disebut sebagai Lembaga Negara Independen (LNI) yang mengakar pada konsep Independent Regulatory Agencies (IRAs). Disebut demikian, karena lembaga-lembaga tersebut memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya terisolasi dari kontrol presiden (Funk & Seamon, 2001). Untuk itu, beberapa sarjana hukum dari Amerika, seperti Ackerman (2000) atau Fedewa (2014), juga menyebutnya sebagai “The New Separation of Power” atau “The Fourth Branch of Governement” disamping cabang-cabang kekuasaan lainnya dalam sistem pemerintahan modern.
Terlepas dari itu, persoalan jumlah, nomenklatur, serta klasifikasi lembaga-lembaga negara di Indonesia memang menjadi tantangan tersendiri. Mengurangi atau membubarkan beberapa lembaga, tentunya tidak dapat sepenuhnya menjadi solusi. Bisa jadi, terdapat beberapa lembaga yang dari sisi nomenklatur dan kinerja kurang populer dan terlihat, namun dari sisi fungsi sangat dibutuhkan kehadirannya oleh masyarakat. Tentu, terdapat berbagai faktor yang membuat hal itu bisa terjadi. Boleh jadi, dikarenakan legislasi atau regulasinya sendiri yang mengekang derajat dan karakteristik independensinya, atau bisa juga dikarenakan paradigma dan sistem hukum penataan kelembagaan negara di Indonesia yang masih tertinggal, dan belum mengatur ukuran serta batasan-batasan yang tegas antar kelembagaan.
Salah satu cara atau solusi terbaik yang paling tidak dapat dipikirkan terkait permasalahan ini, ialah membentuk suatu undang-undang yang mengatur secara tegas tata pembentukan dan desain kelembagaan negara. Hal ini setidaknya, dapat digunakan sebagai indikator yang jelas dalam membentuk lembaga-lembaga negara baru ke depan, mengatur hubungan-hubungan kelembagaan termasuk penyelesaian sengketa antar lembaga-lembaga negara, dan menjadi barometer yang ideal dalam mengevaluasi desain serta format kelembagaan yang telah ada.
Muhammad Aulia Y Guzasiah
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute
auliaan@theindonesianinstitute.com