Dilansir dari Kompas.id (12 November 2024), terjadi fenomena aksi buang susu segar oleh peternak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, kemudian aksi protes oleh peternak juga terjadi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Susu segar yang dibuang adalah susu yang ditolak masuk ke pabrik dengan alasan bahwa kuota penerimaan susu dipotong atau dibatasi. Permintaan susu dari pabrik telah diisi oleh susu bubuk impor. Lalu, mengapa Indonesia masih mengimpor susu? Jawabannya sederhana: karena produksi susu domestik saat ini belum bisa mengakomodir permintaan dalam negeri.
Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi dalam TEMPO.co (12 November 2024), mengatakan bahwa konsumsi susu nasional adalah sebesar 4,4 juta ton pada tahun 2022 dan 4,6 juta ton pada tahun 2023, di mana Indonesia baru mampu memproduksi sebesar 837.223 ton. Jika dihitung rasio produksi terhadap konsumsi, rasionya adalah 19,03 persen pada tahun 2022 dan 18,20 persen pada tahun 2023. Dengan kata lain, kurang lebih dari 79-80 persen permintaan susu nasional dipenuhi dari impor.
Jika melihat negara asal impor susu, berdasarkan “Outlook Komoditas Peternakan: Susu” (2022) oleh Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, pada tahun 2021, Selandia Baru adalah negara pengekspor susu terbesar ke Indonesia sebanyak 102,97 ribu ton dengan nilai US$386,78 juta, disusul oleh Amerika Serikat sebesar 74,99 ribu ton senilai US$208,66 juta, Malaysia sebesar 43,32 ribu ton senilai US$43,92 juta, Australia dengan jumlah 35,61 ribu ton dengan nilai US$117,93 juta, Belgia sejumlah 35,51 ribu ton bernilai US$106,84 juta, serta Perancis dan Jerman masing-masing sejumlah 14,75 ribu ton (US$46,94 juta) dan 10,59 ribu ton (US$34,26 juta).
Dilansir dari finance.detik.com (11 November 2024), Menkop Budi mengatakan bahwa kondisi impor susu terjadi dikarenakan negara pengekspor susu, seperti Australia dan Selandia Baru, memanfaatkan kebijakan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia, yang mana bea masuk produk susu dihapuskan. Hal ini membuat produk susu Australia dan Selandia Baru menjadi lebih murah 5 persen dari harga pengekspor susu global lainnya. Polemik susu segar di Indonesia juga diperparah dengan industri yang mengimpor produk susu dalam bentuk susu bubuk (skim powder). Padahal, menurut Menkop Budi, kualitas susu skim masih jauh di bawah susu sapi segar, karena susu skim telah melalui berbagai macam proses. Menurut laporan Kementerian Pertanian (2022) sebelumnya, susu bubuk dan condensed/evaporated milk adalah produk susu yang banyak diimpor. Volume impor susu pada periode 2012-2021 adalah sebesar 1,34 persen per tahun, di mana nilai impor meningkat sebesar 2,33 persen.
Adapun fenomena yang terjadi di industri susu di Indonesia memberikan informasi bahwa yang terjadi adalah masalah struktural atau masalah yang mendalam dan sistemik. Masalah struktural tersebut terkait dengan masih sangat kurangnya keunggulan absolut (absolute advantage) dan keunggulan komparatif (comparative advantage) industri susu di Indonesia. Keunggulan absolut adalah ketika Indonesia dapat memproduksi susu dengan lebih efisien atau lebih banyak dengan input yang sama dibandingkan kompetitor. Misalnya, dibutuhkan 10 input sumber daya, seperti lahan dan tenaga kerja, untuk memproduksi 15 susu di negara ABC dan 10 input yang sama untuk memproduksi 10 susu di negara DEF, di mana terlihat bahwa negara ABC memiliki keunggulan absolut untuk memproduksi susu dibandingkan negara DEF.
Sementara, keunggulan komparatif berarti Indonesia dapat menghasilkan susu dan/atau produk susu dengan biaya kesempatan (opportunity cost) yang lebih rendah dibandingkan negara kompetitor. Misalnya, Indonesia dapat mengembangkan susu segar menjadi produk olahan susu yang lebih bernilai tinggi, seperti yoghurt lokal atau keju lokal, maupun mengembangkan susu atau produk olahan susu dengan cita rasa lokal. Spesialisasi melalui perdagangan terbuka dapat mendorong keunggulan komparatif ini.
Maka dari itu, pemerintah harus mendorong keunggulan absolut dan keunggulan komparatif industri susu di Indonesia. Pemerintah juga tidak boleh mengabaikan dan melihat industri susu dengan sebelah mata dari industri lainnya, terlebih dengan adanya kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran. Hal ini penting agar industri susu lokal yang berkualitas dan unggul dapat diserap optimal dalam program ini kedepannya.
Lalu, bagaimana pemerintah dapat mendorong keunggulan absolut dan keunggulan komparatif industri susu domestik? Perdagangan terbuka dapat menjadi kunci untuk itu. Misalnya, untuk mendorong keunggulan absolut, pemerintah dapat berkolaborasi dan bekerja sama dengan negara yang telah berhasil mengembangkan ekosistem industri susunya, seperti Selandia Baru, melalui transfer knowledge dalam pemeliharaan ternak, kesehatan ternak, maupun pakan ternak guna menghasilkan produk susu yang baik, sehat, dan diminati, sehingga dapat diserap secara nasional dan internasional. Selain itu, pemerintah dapat melakukan impor teknologi peternakan yang canggih dan moderen dan memberikan pelatihan, dukungan finansial, dan standardisasi bagi peternak guna meningkatkan keterampilan peternak lokal terkait produksi susu yang aman dan berkualitas.
Dalam hal mendorong keunggulan komparatif, pemerintah dapat mendukung melalui pendanaan dan pelatihan untuk pengemasan produk guna menjaga kualitas dan kesegaran susu produksi lokal, serta memastikan infrastruktur untuk distribusi produk susu lokal dalam kondisi sarana dan prasarana yang aman dan kondusif. Pemerintah juga harus memperkuat rantai pasok susu dan membantu produsen susu dalam diversifikasi pasar, baik di domestik maupun internasional. Di samping itu, pemerintah juga dapat membuka peluang bagi investor domestik dan asing, dengan memberikan keringanan pajak dan kebijakan yang mendorong investasi guna mendorong inovasi dalam industri susu Tanah Air.
Hal penting lainnya untuk meningkatkan keunggulan absolut dan keunggulan komparatif adalah dukungan untuk pengemasan produk guna menjaga kualitas dan kesegaran susu produksi lokal, serta infrastruktur untuk distribusi produk susu lokal, yang juga harus dipastikan adalah keamanan dan kondusivitas sarana dan prasarananya. Selain itu, penegakan hukum juga harus dipertegas agar jangan sampai ada pungutan liar atas komoditas produk lokal yang ada, apa pun itu. Semua hal ini penting karena akan memengaruhi bukan saja kualitas dan daya saing produk, tapi biaya produksi tinggi yang jelas akan membebani konsumen nantinya.
Pada intinya, polemik susu dan permasalahan yang menyertainya bukan diakibatkan oleh perdagangan terbuka, karena Indonesia sendiri mendapatkan manfaat dari perdagangan terbuka dalam industri lainnya. Bahkan, perdagangan terbuka juga memungkinkan Indonesia memenuhi kebutuhan susu dalam negeri.
Jika keunggulan absolut dan keunggulan komparatif industri susu Indonesia lebih baik dari negara lain, konsumen pun juga akan memilih produk dalam negeri dengan sendirinya dan bahkan setia atau selalu mengonsumsinya. Jadinya, peternak diuntungkan, susu dan produk susu domestik terserap di domestik maupun di luar negeri, kesehatan dan nutrisi terakomodir, dan hal ini juga berimbas pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam pemenuhan pangan yang berkualitas.
Putu Rusta Adijaya
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
email: putu@theindonesianinstitute.com