Kecelakaan maut yang terjadi pada Minggu, 8 september lalu, masih terus menjadi rujukan pembicaraan sehari-hari maupun pembicaraan di diskusi-diskusi resmi. Pembicaraan yang bukan hanya oleh ibu-ibu di warung sayur karena melibatkan anak salah seorang artis Indonesia, tapi juga melibatkan pihak-pihak pembuat kebijakan di Indonesia.
Hal yang diperbincangkan, mulai dari persoalan pribadi tersangka kecelakaan tersebut yang baru berumur 13 tahun, tapi juga apa tindakan hukum yang tepat yang sesuai dengan umurnya, Lebih jauh, hal lain yang diperbincangkan sebagai refleksi dari kasus ini adalah mengenai pembatasan jam keluar anak di malam hari, karena kecelakaan ini terjadi lewat tengah malam.
Wacana pemberlakuan jam malam untuk anak-anak ini, pertama kali dimunculkan Gubernur Jakarta, Joko Widodo (Jokowi). Meskipun belum dijabarkan jelas teknis detail dari aturan tersebut, banyak kalangan memberikan pendapatnya, mulai dari masyarakat umum, pengamat permasalahan anak dan perkotaan maupun pembuat keputusan lain, misalnya dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.
Perlu diperjelas lebih dahulu bahwa kategori anak di sini adalah yang berumur di bawah 18 tahun, seperti yang didefinisikan dalam Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pihak yang kontra akan wacana ini memberikan alasan bahwa banyak kegiatan anak-anak yang memang berlangsung pada malam hari karena siang hari, seharian mereka berada di sekolah. Kegiatan tersebut adalah mengikuti berbagai les tambahan mulai dari les bahasa asing, les komputer dan berbagai les lainnya.
Pihak yang pro akan wacana ini, mengemukakan alasan bahwa realitas kekinian yang terjadi adalah bahwa banyak anak-anak muda tanggung (yang sering disebut ABG dengan kisaran umur 13-17 tahun) yang terlihat berkumpul sesama mereka malam hari di gerai-gerai minimarket yang buka 24 jam dan menyediakan fasilitas tempat duduk yang banyak dan luas. Kerumunan ABG ini tidak jarang terlihat bukan hanya duduk-duduk sambil minum kopi, namun juga tak jarang juga mengkonsumsi minuman keras dan lebih jauh juga terlihat mengendarai kendaraan pribadi sendiri, baik motor maupun mobil.
Hal inilah kemudian yang dianggap mampu memancing permasalahan-permasalahan sosial, mulai dari tawuran, balap liar dan akhirnya kecelakaan yang menimbulkan korban nyawa yang tak sedikit. Meskipun, penulis belum menemukan data jumlah pengendara kendaraan di bawah umur yang menyebabkan kecelakaan, namun data penilangan dari Polda Metro Jaya, bisa memberikan gambaran seberapa masifnya anak di bawah umur yang mengendarai kendaraan di jalan raya. Menurut Polda Metro Jaya, pada tahun 2012, ada 17.000 anak di bawah usia 15 tahun dan 8.000 anak selama Januari – Juni 2013, yang melakukan pelanggaran dan ditindak (ditilang) oleh Polisi.
Terkait yang pro dan kontra terhadap wacana pemberlakuan jam malam untuk anak tersebut, berbagai argumen yang ada belum bisa memberikan putusan objektif terhadap keduanya. Hal ini karena fenomena-fenomena tersebut benar terjadi, namun seberapa besar keterkaitannya dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi, belum ada data atau penelitian yang bisa memberikan gambaran objektif, sehingga kita tidak terjebak pada asumsi-asumsi ‘liar’ yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Oleh karena hal ini jugalah, maka penting bagi para pembuat kebijakan kita untuk tidak gegabah dengan serta-merta mengeluarkan kebijakan terkait pemberlakuan jam malam anak. Diperlukan kajian komprehensif tentang urgensi pemberlakukan jam malam terhadap anak-anak. Artinya, kajian yang memotret secara detail dan memetakan dengan tepat para pemangku kepentingan terkait wacana ini serta peran mereka masing-masing.
Dari ilustrasi pihak pro dan kontra di atas saja sudah terlihat beberapa aktor yang perlu secara dalam dilihat posisinya jika wacana ini diberlakukan. Pihak-pihak tersebut bukan hanya anak-anak itu sendiri, tetapi juga orang tua, guru, pengelola tempat-tempat kursus, pengusaha minimarket-minimarket tempat mereka biasa ‘nongrong,’ dan sebagainya.
Selain perlunya data, pemahaman dan alasan yang cukup sebelum pemberlakuan wacana ini, hal yang paling diutamakan adalah bagaimana kebijakan itu nantinya memenuhi prinsip-prinsip perlindungan anak dalam pembangunan yang tertuang di dalam Konvensi Perlindungan Anak yang telah diratifikasi pada 5 September 1990.
Prinsip-prinsip tersebut adalah, bahwa pembangunan harus juga melibatkan partisipasi anak-anak, mendengarkan pendapat mereka dan tidak merampas hak-hak mereka. Hak untuk bisa akses ke semua layanan dasar (pendidikan, kesehatan dll), hak untuk mendapatkan lingkungan sehat agar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik agar bisa nantinya menjadi agen pembangunan yang berkualitas.
Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com