Peristiwa dugaan tindak kekerasan terhadap anak kembali terjadi. Kali ini terjadi di lingkungan Taman Penitipan Anak (TPA) yang berada di areal perkantoran orang. Pegawai TPA diduga melakukan kekerasan saat merawat salah seorang anak yang dititipkan oleh orang tuanya. Dengan bekal bukti rekaman kamera pengintai (CCTV) orang tua si anak melaporkan dugaan kekerasan tersebut ke pihak kepolisian (Tempo.co, 2/9/2013).
Satu kasus ini tidak bisa kita abaikan. Satu kasus ini bisa jadi hanyalah yang terekspos media secara luas, sementara kasus-kasus lainnya tidak. Terlebih karena banyaknya aktor yang terlibat, kasus ini perlu kita beri perhatian khusus dan menarik pembelajaran darinya.
Kenapa orang memilih TPA? Hal ini disebabkan karena para ibu yang bekerja-dengan berbagai alasannya-membutuhkan jasa penitipan anak. Umumnya mereka memilih TPA yang berada dekat dengan rumah, yang dekat dengan tempat bekerja mereka atau pun di tempat bekerja mereka itu sendiri. Biasanya TPA yang difasilitasi oleh tempat orang tua bekerja tidak dipungut bayaran.
Kembali ke kasus kekerasan yang diyakini berlangsung di sebuah TPA di areal perkantoran di atas, hal pertama yang menjadi sorotan adalah TPA itu sendiri. TPA bukanlah hal yang baru dan tidak sulit menjumpainya terutama di kota-kota besar. Apalagi banyak juga TPA yang didirikan di daerah perkantoran. Menjamurnya TPA ini adalah konsekwensi dari tingginya permintaan jasa penitipan anak ini. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan memfasilitasi kebijakannya.
Dasar pemerintah memfasilitasi pendirian TPA adalah merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara eksplisit menyatakan bahwa “Pendidikan anak usia dini adalah suatu suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lanjut”.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan pada jalur formal (Taman Kanak-Kanak), jalur nonformal (TPA, Kelompok Bermain dan bentuk lain yang sederajat”, dan pada jalur informal (melalui pendidikan keluarga atau lingkungan).
Dalam rangka mendukung kebijakan ini, Kementerian Pendidikan Nasional telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan Nasional, dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa pembinaan PAUD baik formal, nonformal, maupun informal, berada di bawah binaan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (Ditjen PAUDNI), yang secara teknis dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Anak Usia Dini.
Terlihat dari paparan di atas, bahwa TPA-TPA yang menjamur itu dari segi kebijakan memang dimungkinkan keberadaannya. Pertanyaannya kemudian, jika memang pemerintah memfasilitasi keberadaan TPA-TPA tersebut maka pemerintah harus juga bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan. Pengawasan secara administrasi mulai dari perijinan pendirian TPA-TPA tersebut, para personel yang dilibatkan dalam pengelolaan TPA termasuk ke pengawasan pengelolaan TPA tersebut.
Semua hal tersebut harus berjalan dan berkesinambungan. Hanya dengan pengawasan yang holistik seperti itulah tujuan pendirian tempat-tempat penitipan yang tidak hanya menekankan aspek pendidikan semata, akan tetapi mencakup juga aspek lain seperti aspek pelayanan gizi, pelayanan kesehatan, pengasuhan, dan perlindungan anak, bisa terwujud.
Namun jika tidak, yang terjadi adalah kita menggadaikan kesehatan, kondisi fisik dan termasuk masa depan anak-anak kita pada sistem yang buruk; sistem pengelolaan TPA itu sendiri, termasuk sistem pendukung untuk pengawasan TPA dari pemerintah.
Penulis: Lola Amelia, ameliaislola@gmail.com