Persoalan berpendapat dan kebebasan terhadapnya, terus dibicarakan dalam ruang-ruang demokrasi, termasuk dalam hal memperjuangkan jaminan dan kepastian penegakkannya. Semua ini, tentu dilakukan agar pelaksanaan sistem demokrasi itu sendiri, senantiasa menghasilkan preseden dan pemutakhiran yang lebih baik dari masa ke masa.
Sayangnya, publik hari-hari ini bisa melihat sendiri bagaimana hal tersebut justru mengalami dekadensi. Hingga hari ini, kebebasan berekspresi dan berpendapat semakin mengalami penjegalan. Tiba-tiba saja, segalanya menjadi serba sensitif dan tabu untuk ditanggapi secara kritis. Apalagi, jika dikaitkan dengan situasi pandemi seperti sekarang ini. Kala penyelenggara pemerintahan dibenarkan melakukan tindakan-tindakan luar biasa, sedangkan pertemuan fisik untuk membicarakan hal itu justru menjadi terbatas hanya dalam interaksi-interaksi virtual semata.
Tidak jarang, hal ini sebaliknya dianggap sebagai sesuatu yang kontra-produktif dan subversif. Padahal dalam doktrin demokrasi, upaya untuk membahas, mengkaji, dan menyatakan pendapat terhadap kebijakan kenegaraan tertentu, tidak lain merupakan hal esensial yang sudah semestinya dilihat sebagai bagian dari bentuk civilian control (Diamond dan Plattner, 2001).
Mereka yang dewasa ini melakukannya, seringkali masih dihantui teror, ancaman pembunuhan hingga tindakan represi atau kriminalisasi. Sebut saja seperti dalam kasus rekayasa penangkapan Ravio Patra atas dugaan penyebaran berita onar, atau pelaporan Farid Gaban atas dugaan penyebaran berita bohong, dalam kurun dua bulan belakangan ini.
Keduanya, sebagaimana diketahui merupakan seorang aktivis yang sebelumnya gencar melakukan investigasi dan melontarkan kritik terhadap beberapa kebijakan Pemerintah di media sosial. Adapun terbaru, seperti yang dialami oleh penyelenggara diskusi “Persoalan Pemecatan Presiden ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” dari Universitas Gadjah Mada yang batal dilaksanakan (regional.kompas.com, 30/05).
Baik narasumber, panitia diskusi maupun anggota keluarganya, diketahui menerima berbagai intimidasi, teror, hingga ancaman pembunuhan dari sejumlah oknum yang tidak dikenal (koran.tempo.co, 01/06). Dalam kasus ini, tentu bukan hanya prinsip-prinsip umum demokrasi seperti kebebasan berekspresi dan berpendapat saja yang terciderai, namun juga prinsip-prinsip yang jauh lebih khusus, seperti kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan yang sebagaimana telah diatur dan dijamin dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Beberapa peristiwa yang tidak mengenakkan ini, tentu bukan yang pertama kali terjadi. Di tahun-tahun sebelumnya pun, hampir dapat dijumpai berbagai peristiwa yang paling tidak menunjukkan gambaran identik yang selalu berulang, di mana ada saja segelintir orang yang bernasib nahas akibat mengekspresikan hak yang telah dijamin secara langsung oleh konstitusi pasca reformasi ini. Sebut saja nama-nama seperti Robertus Robert, Sudarto, atau Dhandy Laksono.
Menariknya, sikap yang ditunjukkan oleh Pemerintah dari tahun ke tahun pun masih saja terlihat klise, di mana upaya yang sungguh-sungguh serius dalam mengatasi persoalan ini nyaris dapat dikatakan belum pernah ditemui. Kalaupun ada, hal itu pastinya tidak memberikan signifikansi yang jelas terhadap penguatan demokrasi dari sisi kebebasan dan kemerdekaan berpendapat.
Pengulangan demi pengulangan peristiwa yang sebagaimana disebutkan di atas, setidaknya telak membuktikan hal tersebut. Selain itu, selama pranata-pranata hukum yang seringkali dijadikan sebagai alat kriminalisasi dan bersifat paradoks terhadap nilai-nilai demokrasi dan konstitusi itu sendiri, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ataupun Undang-Undang Penodaan Agama masih dipertahankan, tindakan teror, intimidasi, hingga upaya-upaya kriminalisasi, agaknya masih akan terus terjadi dan menimpa mereka yang nyaring mengkritisi kebijakan publik ataupun menyuarakan pendapat bebasnya.
Ironi lainnya juga terlihat dari mutu aparatur penegak hukum kita yang agaknya juga masih kesulitan menelaah pendapat itu sendiri, mana yang memang merupakan kritik terhadap institusi, dan mana yang merupakan penghinaan terhadap pribadi. Semuanya dihantam lurus dan disamaratakan perlakuannya. Lapor atau tangkap dulu, barulah klarifikasi belakangan. Padahal sudah jamak diketahui, hukum pidana ada tidak lain dimaksudkan untuk menjadi ultimatum remedium, bukan malah sebaliknya
Wagunya, kondisi ini juga turut diperparah dengan watak sebagian masyarakat kita yang masih memperlihatkan wajah feodal. Beberapa, begitu alergi terhadap pendapat, masukan ataupun kritik terhadap sesama. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan dampak perpolitikan beberapa tahun belakangan, yang sukses membelah kondisi masyarakat hanya menjadi beberapa kubu dan fanatik hanya pada figur-figur tertentu.
Untuk itu, perlu ada perbaikan sistemik dalam hal ini. Penguatan demokrasi sudah seharusnya tidak hanya dilakukan dari sisi elektoral semata, namun juga pada sisi kebebasan berpendapat dan instrumen-instrumen turunan lainnya. Tanpa itu, gejolak perjuangan reformasi yang sebagaimana dilakukan 22 tahun yang lalu, tidak akan berarti dan membuahkan hasil, baik untuk hari ini dan untuk masa yang akan datang.
Muhammad Aulia Y Guzasiah
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute