Apa yang sontak terbayang ketika membicarakan soal perbatasan Indonesia? Bangunan yang berfungsi sebagai pos perbatasan Indonesia, yang juga dijaga oleh aparatur negara, mungkin menjadi salah satu jawabannya. Namun, apakah lingkup pembahasan perbatasan Indonesia selalu berkutat di urusan penjagaan teritori negara semata?
Tidak jarang, dan seringkali, cara memandang batas yang teritorialistik malah menimbulkan beberapa permasalahan. Salah satunya adalah arogansi dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat di kawasan perbatasan kepada warga negara yang mendiami daerah terluar itu (Kontras, 2018). Fenomena tersebut lantas menciptakan suatu relasi kuasa yang tidak seimbang antara aparatur penjaga wilayah dengan warga di kawasan perbatasan.
Tulisan ini akan mendudukkan persoalan di beberapa kawasan terluar Indonesia berkaitan dengan pengelolaan kawasan perbatasan yang bertumpu pada paradigma berbasiskan kewilayahan. Konstruksi pikir seperti ini dikenal juga dengan sebutan hard border, sebuah paradigma dalam pengelolaan kawasan perbatasan yang berjalan dalam kerangka perlindungan kedaulatan wilayah negara. Pemahaman ini akhirnya membayangkan penempatan aparat adalah solusi untuk masalah di wilayah perbatasan negara.
Sekelumit Permasalahan dalam Paradigma Hard Border
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan berhasil memotret masalah-masalah di daerah perbatasan saat menerapkan paradigma kewilayahan dalam pengelolaannya. Misalnya, aktivitas perlintasan batas negara yang timbul karena adanya kesenjangan sosial pada warga negara di perbatasan Indonesia-Timor Leste (Rachman, 2017; Araujo, 2010). Aktivitas ini dipermasalahkan sebab tidak dilaksanakan melalui proses administrasi yang seharusnya, dan karenanya dianggap ilegal oleh negara melalui aparaturnya di perbatasan.
Sementara itu di Kalimantan Utara, terdapat juga persoalan berkaitan dengan buruknya kualitas infrastruktur berupa jalan. Masalah infrastruktur tersebut akhirnya berimplikasi pada akses terhadap sumber daya seperti: jaringan listrik, ketersediaan air bersih, jaringan telekomunikasi, layanan pendidikan, serta layanan kesehatan (Sudiar, 2015).
Selain permasalahan yang timbul karena penerapan paradigma hard border, harus juga dipahami bahwa kebermanfaatan dari pengelolaan perbatasan berbasiskan kewilayahan masih bisa ditemui. Penelitian lain di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat memperlihatkan bahwa keberadaan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk, beserta perangkat aparaturnya, justru menghadirkan sebuah kemudahan akses dan distribusi sarana dan prasarana publik (Firdaus, 2019). Kelancaran yang terjadi lantas meminimalisir masalah ekonomi yang terjadi di Desa Sebunga, Kabupaten Sambas.
Soft Border: Alternatif Lain Pengelolaan Perbatasan
Selain hard border, terdapat paradigma lain yang dikenal sebagai paradigma soft border. Konstruksi berpikir soft border menitikberatkan pada pengembangan kapasitas sumber daya manusia di perbatasan dan mengesampingkan persoalan bernuansa kewilayahan.
Dari permasalahan yang terjadi di perbatasan Indonesia-Timor Leste misalnya, paradigma soft border memiliki keniscayaan bahwa kondisi masyarakat yang makmur dengan sendirinya menghadirkan suatu keamanan bagi negara (Wuryandari, 2009). Cara berpikir ini juga dipercaya bisa meminimalisir kekerasan yang kerap terjadi saat negara bertumpu pada penggunaan paradigma hard border dalam mengelola wilayah perbatasan (Sanak, 2012).
Pertimbangan lain yang menjadikan implementasi paradigma soft border penting adalah kenyataan bahwa status yang melekat pada warga negara bisa sangat plural. Latar belakang sosial dan kultural masyarakat menghadirkan bangunan berpikir yang beragam. Jamaknya cara berpikir lantas membentuk logika pemaknaan yang juga berbeda, termasuk dalam mengartikan perbatasan dan operasionalisasinya di keseharian (Lay, 2014). Oleh karena itu, konsep alternatif dalam pengelolaan perbatasan yang mengedepankan kapasitas dan kesejahteraan warganya menjadi patut diperhitungkan.
Pergeseran Paradigma yang Diniscayakan
Pergeseran paradigma pengelolaan perbatasan negara bukanlah sebuah pebincangan yang baru. Namun, Ulfa (2018) menyatakan bahwa di periode pertama Presiden Jokowi-lah soal pergeseran paradigma pengelolaan perbatasan ini mendapatkan secercah harapan. Asa itu muncul melalui sejumlah perencanaan program, dan beberapa sedang dibangun secara berkelanjutan hingga kini, seperti: operasionalisasi power plant; pembuatan rumah layak huni; pembangunan jaringan jalan di perbatasan Indonesia-Malaysia dan Indonesia-Papua Nugini; serta pembangunan tol laut.
Beberapa contoh program tersebut dianggap sebagai bukti kemunculan paradigma soft border dalam mengelola perbatasan. Di sisi lain, paradigma hard border tetap diimplementasikan untuk menyelesaikan persoalan seperti aktivitas lintas batas ilegal (Ulfa, 2018).
Berlakunya logika soft border juga ditemukan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Di sana, inisiatif kalangan lokal mulai menunjukkan eksistensinya ketika secara sukarela berpartisipasi dalam ruang diskursus soal pengelolaan perbatasan (Efendi, 2019). Di Kabupaten Kupang, NTT, penyelesaian konflik agraria antara Indonesia dan Timur Leste pun sering melibatkan elemen-elemen lokal, seperti kultur, sejarah, dan sosial budaya (liputan6.com, 2017).
Paradigma soft border yang berwujud program pemerintah maupun partisipasi lokal dinilai kian efektif ketika berjalan dalam kerangka pemerintahan yang kolaboratif. Kolaboratif dimaksudkan sebagai pelibatan multi-aktor baik formal maupun informal dalam mengelola perbatasan baik secara langsung maupun tidak. Pemerintahan kolaboratif juga berorientasi pada konsensus, dan disertai dengan mekanisme musyawarah dalam mengambil pengambilan keputusan kolektif (Suswanta, 2016). Dari kondisi pemerintahan yang kolaboratif, produk kebijakan lantas bisa diproduksi selaras dengan semangat pembangunan wilayah perbatasan.
Menuju Arah Pengelolaan Perbatasan yang Sensibel
Guna menindaklanjuti pergeseran paradigma pengelolaan perbatasan yang sudah dimulai, tulisan ini memberikan sebuah tawaran pengelolaan yang diadopsi dari konsep otonomi daerah. Disebut sebagai desentralisasi asimetris, konsep penyelenggaraan otonomi daerah ini mengedepankan pola kewenangan, kelembagaan, finansial, dan kontrol yang berbeda pada suatu daerah (Dardias, 2012).
Dengan kompleksitas masalah yang beragam, seperti perbedaan masalah yang ditemukan antara perbatasan Indonesia-Timor Leste dan Indonesia-Malaysia, akhirnya diperlukan penanganan yang tidak bisa diseragamkan pula. Oleh karena itu, pemerintah daerah level kabupaten di kawasan perbatasan dituntut untuk memainkan peran yang lebih signifikan dalam pengelolaan perbatasan. Salah satunya dengan menghasilkan kebijakan yang sesuai kebutuhan, dan secara simultan menyuarakan aspirasi masyarakat perbatasan ke pemerintah pusat. Dengan demikian, hal ini bisa memunculkan keselarasan, baik dari pemerintah pusat ke daerah (top down) melalui arah kebijakan negara. Di sisi lain, antara masyarakat kawasan perbatasan ke pemerintah daerahnya (bottom up), dengan menyuarakan kebutuhan yang pemenuhannya paling diperlukan.
Rifqi Rachman, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research