Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengusulkan pembentukan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dan Dewan Keamanan Nasional yang di bawahnya terdapat institusi Polri. Usulan itu dianggap untuk perubahan mendasar bagi Korps Bhayangkara.
“Ide yang lemparkan Gubernur Lemhanas Bapak Agus (Widjojo) sebenarnya merupakan salah satu peningkatan ekskalasi, itu menginginkan agar dilakukannya perubahan fundamental terhadap kepolisian,” kata Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute Center for Public Policy Research, Hemi Lavour Febrinandez dalam webinar bertema ‘Polisi di Bawah Kementerian : Solusi Reformatif atau Sama Saja?’, Rabu, 12 Januari 2022.
Menurut dia, penempatan Polri di bawah kementerian bukan hal yang baru. Sebab, sudah terdapat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ungkapnya.
Hemi menjelaskan setelah awal kemerdekaan, institusi Polri diletakkan di bawah Kementerian Dalam Negeri. Seiiring berjalannya waktu, saat negara berubah menjadi serikat terjadi perombakan dalam institusi Polri.
“Di mana institusi kepolisian akhirnya sebagaimana di negara serikat, setiap negara bagian itu memiliki polisi wilayah negaranya masing-masing yang sebenarnya saling berkoordinasi satu dengan yang lainnya, lalu kemudian dilakukan pada masa orde baru yang diberlakukannya kembali UU 1945,” ungkapnya.
Hemi menyebut Korps Bhayangkara di era kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo terdapat sejumlah perubahan, yang pada awalnya berbentuk sentralistik di Mabes Polri. Kini, setiap bagian di kepolisian daerah (Polda) memiliki kewenangannya masing-masing.
Menurut Hemi, penempatan Polri di bawah kementerian bukan seperti pembuatan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja atau Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selesai dalam waktu 2-4 bulan. Usulan itu merupakan pembicaraan jangka panjang.
“Ini butuh kajian jangka panjang, karena perubahan ini adalah sebuah perubahan yang fundamental pada institusi kepolisian,” ucapnya.
Namun, dia menyebut Polri harus melakukan reformasi. Terutama, mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, seperti Siber Police yang selalu mengawasi setiap konten di media sosial.
“Sebenarnya hal tersebut tidak dibutuhkan ketika masyarakat sudah memahami bagaiman cara bermedia sosial,” katanya.
Sementara itu, pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan usulan Lemhanas itu adalah sebuah rekapan struktur kepolisian yang sekarang tidak di bawah Presiden. Menurut dia, sudah saatnya Indonesia melakukan reformasi terhadap fungsi tugas pokok institusi yang berkaitan dengan polisi.
“Khususnya sebenarnya saya sudah menggaungkan ini sejak dilakukannya revisi UU KPK yang kemarin, meskipun sudah jauh dari itu saya juga konsen diskusikan tentang tema reformasi institusi polisi,” ujar Ray.
Dia menyebut pemerintah harus melakukan reformasi terhadap dua aparat penegak hukum di Indonesia, yakni Kejaksaan dan Polri. Sebab, kata dia, dua institusi tersebut belum tersentuh dalam hal perubahan lebih baik.
“Dua-duanya bergerak di bidang penegakan hukum, tambahannya tentu kepolisian bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga berhubungan dengan ketertiban sosial. Jadi ini menurut saya kurang tersentuh, birokrasinya selalu menjadi bahan kampanye dalam pelaksanaan pilpres, bahkan di pilkada juga gitu,” kata Ray.
Di samping itu, Ray mengatakan Polri telah dipisahkan dengan TNI. Namun, langkah awal dengan memisahkan Polri dengan TNI tidak cukup membuat institusi penegakan hukum lebih baik.
“Nah jadi agak terhenti disitu, merasa bahwa perubahan fundamental polisi itu cukup dengan memisahkannya dari TNI, cukup menegaskan posisinya sebagai sipil yang dipersenjatai,” ujarnya.
https://www.medcom.id/nasional/hukum/dN6XOYPk-pengamat-polri-di-bawah-kementerian-untuk-perubahan-fundamental