REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi III DPR, Johan Budi, menilai pasal-pasal multitafsir atau “karet” dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus diperjelas dalam revisi UU tersebut. Tujuannya agar penegak hukum tidak mendefinisikan pasal-pasal sesuai keinginan pihak-pihak tertentu.
“Banyak isi UU ITE yang perlu diubah, pasal-pasal yang membatasi kebebasan publik dan pasal-pasal multitafsir perlu diperjelas,” kata Johan Budi dalam diskusi virtual bertajuk “Menerka Arah Revisi UU ITE” yang diselenggarakan The Indonesian Institute, Kamis (25/3).
Langkah itu, menurut dia, agar tidak ada alasan bagi penegak hukum menangani perkara UU ITE menggunakan pasal-pasal yang multitafsir atau pasal karet. Dia menilai ada beberapa pasal karet dalam UU ITE, antara lain Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi, Pasal 27 ayat 1 tentang asusila, Pasal 27 ayat 3 tentang defarmasi/fitnah yang bisa digunakan untuk menuntut pidana warganet yang menyampaikan kritik melalui media sosial.
Selain itu, menurut dia, Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian yang dapat digunakan melakukan represi pada warga terkait kritik pada pihak-pihak tertentu. “Karena itu perlu dilakukan revisi secara terbatas terhadap UU ITE. UU ITE awalnya dibuat sebagai payung hukum tindak kejahatan transaksi elektronik, namun ada kekurangannya yaitu membatasi hak kebebasan berekspresi dan masalah yuridiksi hukum,” ujarnya lagi.
Johan Budi mengingatkan latar belakang dibuatnya UU ITE harapannya digunakan untuk melindungi warga dari aksi atau upaya penyadapan atau interception yang tidak sah secara hukum. Menurut dia, UU ITE saat itu juga diharapkan dapat menjadi payung hukum transaksi elektronik termasuk mencegah terjadinya kejahatan siber atau cyber crime.
“Pada dasarnya, UU ITE ini memiliki kelebihan, yaitu untuk mengantisipasi penyalahgunaan internet yang merugikan, dan payung hukum menjerat tindak kejahatan siber. Namun, kekurangannya, yaitu membatasi kebebasan berekspresi, yurisdiksi hukum yang bercelah,” katanya pula.
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez, menilai pembentukan dua subtim kajian UU ITE yang dibentuk pemerintah, pada satu sisi merupakan langkah positif. Karena mampu menampung aspirasi masyarakat terkait pasal karet hingga kesalahan pada tahap implementasi.
Namun, menurut dia lagi, di sisi lain, pembentukan dua tim kajian juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak menjadikan revisi sebagai pilihan utama untuk mengatasi permasalahan dalam UU ITE. “Bahkan pembentukan subtim perumus kriteria penerapan merupakan sebuah kekeliruan. pembuatan pedoman kriteria implementasi akan masuk ke dalam ranah penafsiran terhadap muatan isi dalam undang-undang,” katanya lagi.
Menurut Hemi, tafsir terhadap substansi hukum sebuah peraturan perundang-undangan hanya dimiliki oleh kekuasaan kehakiman.
https://www.republika.co.id/berita/qqj533328/pasal-karet-uu-ite-harus-diperjelas-di-revisi