Di tengah huru-hara Indonesia gelap, pemerintah di sektor kesehatan mulai memperhatikan masalah obesitas. Bertepatan dengan rangkaian peringatan hari obesitas sedunia yang bertemakan “Changing Systems, Healthier Lives” pada tanggal 4 Maret lalu, Kemenkes RI mengumumkan sedang dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) untuk pelabelan kandungan Gula, Garam, dan Lemak (GGL) pada makanan serta minuman (antaranews.com, 5/03/2025). RPMK ini disusun sebagai solusi untuk mengatasi krisis obesitas yang telah mengancam Indonesia.

Made Natasya Restu Dewi Pratiwi – Peneliti Bidang Sosial, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, 28,7% masyarakat Indonesia masih mengonsumsi gula, garam, dan lemak melebihi batas yang direkomendasikan. Menurut rata-rata nasional, sebanyak 5,5% mengonsumsi gula lebih dari empat sendok makan per hari, 53,5% mengonsumsi garam lebih dari satu sendok teh per hari, dan 24% mengonsumsi lemak lebih dari lima sendok makan per hari. Pola konsumsi GGL yang melebihi batas harian tersebut berkontribusi pada peningkatan prevalensi obesitas di Indonesia. Per tahun 2023, prevalensi obesitas pada penduduk di atas 18 tahun mencapai 23,4%. Prevalensi ini sudah meningkat sebesar 7,3% dibandingkan dengan prevalensi di tahun 2018 (21,8%). Menurut Kemenkes RI, kasus obesitas anak juga mengalami peningkatan hampir dua kali lipat setiap 10 tahunnya dan di tahun 2023, prevalensi obesitas anak telah mencapai 7,8%.
Proses penyusunan RPMK patut dikawal realisasinya karena selama ini masalah obesitas Indonesia masih kurang diperhatikan. Padahal, obesitas merupakan faktor risiko dari penyakit tidak menular dengan biaya pengobatan besar, seperti diabetes, hipertensi, jantung, kanker, hingga gagal ginjal (Kemenkes RI, 15/03/2023). Apabila kasus obesitas ini tidak dicegah maksimal, maka pemerintah Indonesia turut gagal untuk mencegah kerugian ekonomi akibat dominasi kasus penyakit tidak menular berbiaya tinggi. Berdasarkan penelitian Kemenkes RI (2024), beban perekonomian negara hingga 16.900 triliun rupiah dapat dikurangi pada tahun 2030 apabila Indonesia berhasil mengatasi angka kematian akibat penyakit tidak menular. Temuan ini sejalan dengan laporan World Economic Forum pada tahun 2015 yang sudah memproyeksikan bahwa Indonesia akan menghadapi kerugian total sebesar 4,47 triliun dolar AS dari 2012 sampai 2030 karena penyakit tidak menular.
Obesitas juga dapat mendatangkan masalah sosial dan ekonomi karena pembiayaannya merujuk pada tiga komponen utama, yaitu biaya langsung terkait dengan tata laksana obesitas, biaya kerugian sosial dan personal akibat obesitas, dan biaya tidak langsung karena berkurangnya produktivitas (Kemenkes RI, 2022). Maka dari itu, penyusunan RPMK label GGL perlu menjadi tonggak keseriusan pemerintah dalam mengoptimalkan pencegahan obesitas dengan mempromosikan budaya hidup sehat yang berorientasi pada perubahan jangka panjang.
Ke depannya, pemerintah perlu mempersiapkan strategi yang menyeluruh untuk melengkapi implementasi RPMK pelabelan GGL ketika sudah disahkan. Sebelum disahkan, pemerintah harus menjaga transparansi proses penyusunan RPMK label GGL serta melibatkan partisipasi publik dari berbagai kalangan secara setara dan inklusif. Agar kebijakan ini menjadi tidak sekadar wacana, masyarakat sipil perlu berkolaborasi dengan media untuk selalu memonitor akuntabilitas penyusunan RPMK.
Selain pelabelan GGL, Indonesia perlu mendesain kebijakan untuk mendukung terciptanya lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menjalankan hidup sehat. Salah satunya yang belum direalisasikan Indonesia adalah dengan menerapkan cukai pada minuman dan makanan berpemanis yang telah terbukti efektif dalam menekan laju konsumsi GGL, mereformulasi kandungan produk melalui penurunan kadar GGL, dan menurunkan prevalensi obesitas di negara-negara yang sudah melakukannya, seperti Meksiko, Afrika Selatan, Portugal, hingga Inggris (obesityevidencehub.org, 27/02/2025).
Promosi aktivitas fisik dan kampanye publik yang edukatif dan informatif terkait hal ini juga perlu dilengkapi dengan kesadaran pemerintah untuk menyediakan infrastruktur mobilitas yang memadai agar pengguna transportasi umum, pejalan kaki, dan pengguna sepeda merasa nyaman saat bepergian. Terlebih lagi, berdasarkan riset UNICEF (2023), banyak masyarakat Indonesia tidak merasa aman beraktivitas fisik di luar ruangan karena masalah polusi udara.
Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) yang dijalankan pemerintah juga dapat menjadi sarana deteksi dini obesitas, serta pemberian konseling bagi individu yang berisiko agar mereka dapat memodifikasi gaya hidupnya dan terhindar dari risiko komplikasi. Secara jangka panjang, program ini dapat menekan pembiayaan penyakit tidak menular akibat adanya rujukan layanan bagi individu dengan risiko.
Pelabelan GGL yang nantinya diatur pada RPMK penting untuk menjelaskan mekanisme pelabelan yang detail dengan menyertakan cara memilah produk yang sehat melalui label peringatan dan lampu lalu lintas berdasarkan kadar GGL pada produk tersebut apakah ada dalam ambang batas kebutuhan konsumsi harian atau justru melebihi kebutuhan konsumsi harian. Prosesnya pun harus diawasi agar transparan dan akuntabel. Melalui pengesahan RPMK ini, harapannya Indonesia dapat meningkatkan akses informasi bagi masyarakat umum mengenai ambang batas konsumsi harian gula, garam, dan lemak, memberdayakan masyarakat untuk dapat memilih makanan dan minuman yang lebih sehat, mendorong reformulasi produk menjadi lebih sehat, dan menjadi standar acuan desain label GGL bagi pelaku industri.
Kelak, untuk mengoptimalkan implementasi RPMK, pemerintah perlu menggencarkan strategi promosi kesehatan yang masif agar masyarakat dapat memahami cara membaca label GGL tersebut. Selain itu, petunjuk teknis mendetail dari RPMK perlu disosialisasikan kepada seluruh sektor yang terlibat agar implementasinya jelas dan tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Pencatatan dan pelaporan dampak dari implementasi RPMK pencantuman label gula, garam, dan lemak pada kemasan makanan dan minuman juga perlu dikuantifikasi dan dideskripsikan melalui surveilans yang terstruktur ataupun terintegrasi dengan Survei Kesehatan Indonesia selanjutnya. Dengan demikian, upaya-upaya tersebut dapat membantu akselerasi capaian SDGs Indonesia pada tujuan ketiga “kehidupan sehat dan sejahtera”, menekan kerugian ekonomi negara akibat penyakit tidak menular, dan mewujudkan Indonesia Emas 2045 melalui sektor transformasi sosial, dengan tetap memberikan ruang kebebasan untuk pilihan konsumen dan kepastian hukum dalam implementasi kebijakan pelabelan GGL tersebut.
Made Natasya Restu Dewi Pratiwi
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
natasya@theindonesianinstitute.com