Pada tanggal 17 Februari kemarin, para calon presiden (capres) menyampaikan gagasannya masing-masing terkait Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. Jokowi mengungkapkan pencapaian kinerjanya bahwa saat ini program B20 sudah tercapai. Yang dimaksud B20 ialah, bauran energi dengan komposisi 20 persen dari energi nabati dan 80 persennya masih menggunakan energi fosil. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi berambisi untuk meningkatkan bauran energi nabati tersebut menjadi B100. Di sisi yang lain, Prabowo menekankan tekad akan pentingnya swasembada energi bagi Indonesia, termasuk memenuhinya dengan memaksimalkan bio energi.
Gagasan para capres tentang EBT di Indonesia tersebut patut kita apresiasi. Namun yang kita turut sayangkan, pembahasan mengenai energi terbarukan dalam debat tersebut hanya berfokus pada bio energi. Terlebih lagi, menjadikan sawit sebagai sumber utama bio energi. Mengingat, industri perkebunan sawit di Indonesia tidak dapat lepas dari bayang-bayang isu deforestasi. Oleh karena itu,e penting untuk membahas sumber EBT lain yang dimiliki oleh Indonesia.
Pentingnya Energi Baru Terbarukan
EBT dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi tren baru sebagai sumber energi utama dalam mendukung kebutuhan energi listrik, transportasi, dan kebutuhan dasar lainnya di berbagai negara maju. Hal ini dikarenakan penggunaan energi fosil yang bersumber dari gas, batu bara, dan minyak menghasilkan emisi karbon dioksida yang memiliki dampak negatif bagi kehidupan. Diantaranya, perubahan iklim yang sangat drastis, kenaikan permukaan air laut yang menjadi ancaman daerah-daerah pesisir, serta kualitas udara yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Selain itu, energi fosil semakin hari akan semakin habis dan harga minyak dunia bergerak sangat fluktuatif.
Guna mengurangi ekses negatif dari penggunaan energi fosil tersebut, beberapa negara telah membuat kebijakan untuk menggeser penggunaan energi fosil dengan EBT. Seperti yang dilakukan oleh Perancis. Mereka sedang memperluas pemanfaatan EBT dengan memanfaatkan energi angin darat sebesar tiga kali lipat dan energi matahari sebesar lima kali lipat pada 2030. Mereka juga berencana untuk menutup lima pabrik batubara di Perancis sebelum 2022 (jawapos.com, 28/11/18).
Denmark menjadi salah satu negara yang banyak memanfaatkan EBT. Saat ini penggunaan EBT di Denmark sebesar 55 %. Target mereka pada tahun 2023 adalah memanfaatkan EBT sebesar 75 % dan 100 % pada tahun 2030. Selain itu, Denmark juga menargetkan pada tahun 2050, seluruh sektor transportasi menggunakan energi listrik (detik.com, 13/12/18). Perlu diketahui, pada tahun 2015, Denmark menghasilkan 140 persen dari kebutuhan listriknya hanya dari tenaga angin. Alhasil, Denmark mengekspor sisa tenaga listriknya ke negara tetangga seperti Jerman, Swedia, dan Norwegia (kompas.com, 27/10/16).
Jerman juga telah berinvestasi di sektor EBT. Mereka memaksimalkan sumber EBT dari tenaga surya, angin, biomassa, dan tenaga air. Jika alam dalam kondisi baik, EBT yang dimiliki Jerman bisa menyediakan 85 persen pasokan energi yang dibutuhkan oleh Jerman. Mereka juga sudah mulai mengurangi jumlah pembangkit listrik yang berasal dari batu bara (sindonews.com, 06/05/17).
Pemanfaatan EBT di Indonesia
Kembali lagi pada materi debat yang disampaikan oleh kedua capres tersebut, yang menunjukkan bahwa visi mereka tentang EBT masih berfokus pada bio energi. Padahal, Indonesia masih memiliki banyak potensi sumber EBT lain yang belum dimanfaatkan dengan optimal. Misalnya, EBT dari energi panas bumi, tenaga surya, air, angin, dan air laut. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, potensi EBT di Indonesia diperkirakan mencapai 441,7 giga watt. Namun, pemanfaatannya baru 9,18 giga watt atau sekitar dua persen dari total potensi yang kita miliki. (republika.co.id,16/11/18).
Padahal Pemerintah Indonesia dalam Intended Nationallu Determined Contributiin (INDC) yang merujuk pada Kesepakatan Paris (Paris Agreement) 2015 silam, berkomitmen meningkatkan penggunaan EBT hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional pada tahun 2025. Saat ini baru terealisasi 12 persen. Tentu, ada banyak hambatan untuk mencapai target ini. Beberapa diantaranya adalah populisme politik yang menghendaki subsidi BBM, skema pendanaan yang tidak jelas, serta belum kuatnya komitmen untuk mengalihkan energi fosil ke EBT.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan beberapa hal agar target bauran energi sebesar 23 persen pada tahun 2025 dapat tercapai. Pertama, pemerintah perlu mencabut subsidi BBM yang bersumber dari fosil. Hal ini untuk mengurangi penggunaan energi fosil baik bagi kalangan umum maupun kalangan industri. Kedua, pemerintah perlu menyediakan insentif bagi investor dan industri yang mau mengembangkan EBT. Ketiga, pemerintah harus segera membangun industri transportasi listrik yang baik agar masyarakat punya alternatif transportasi yang ramah lingkungan.
Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute,