Beberapa waktu yang lalu terdapat sekelompok anak muda yang mengatasnamakan Komunitas Saya Milenial Golput (SGM) mengancam akan golput dalam Pilpres 2019. Alasan mereka akan memilih golput karena mereka kecewa kepada kedua belah pihak kandidat. Mereka sebagai generasi milenial merasa tidak mendapatkan pendidikan politik yang baik dari kedua kandidat. Maka dari itu, golput sedang mereka pertimbangkan untuk menjadi sikap politik mereka pada 17 April 2019 mendatang.
Tentu, apa yang disampaikan oleh SGM tersebut bukan mewakili pandangan politik generasi milenial secara keseluruhan. Akan tetapi, jika melihat karakteristik generasi milenial, bisa jadi apa yang disampaikan oleh SGM merupakan representasi dari sikap generasi milenial kita saat ini. Sebuah generasi yang sering disebut-sebut sebagai generasi yang “apolitis”. Memang betul, tidak banyak generasi milenial yang suka membahas isu sosial-politik. Seperti hasil survei CSIS tahun 2017 tentang orientasi sosial, ekonomi, dan politik milenial mengungkapkan bahwa hanya 2,3 persen responden yang mengaku tertarik membahas isu sosial-politik.
Namun, rendahnya ketertarikan generasi milenial dalam membahas isu sosial-politik tidak serta-merta mereka dapat disebut sebagai generasi yang apolitis. Rendahnya ketertarikan mereka dalam membahas isu sosial-politik dapat disebabkan oleh kejenuhan mereka akan situasi politik yang ada. Politisi saling berdebat yang jauh dari substansi kebijakan publik, seperti yang diungkapkan oleh SGM di atas tersebut. Dengan kata lain, perilaku para politisi saat ini tidak sesuai dengan standar yang mereka miliki. Sangat mungkin standar generasi milenial tersebut diperoleh mereka dari berbagai sumber informasi dari berbagai belahan dunia. Mengingat, sebanyak 54,3 persen milenial mengaku setiap hari membaca media online untuk mendapatkan sumber informasi.
Keyakinan bahwa generasi milenial bukan generasi yang apolitis tercermin dalam hasil survei yang sama. Sebanyak 76 persen responden mengatakan bahwa Indonesia secara ekonomi mampu bersaing di tingkat global. Selain itu dalam konteks global, sebanyak 75,5 persen mereka yakin bahwa tenaga kerja Indonesia mampu bersaing dengan tenaga kerja asing. Besarnya optimisme milenial atas daya saing Indonesia ditataran global menjadi cerminan bahwa mereka peduli dengan politik Indonesia, terutama dengan politik yang memajukan Indonesia.
Politik Kepasifan Milenial
Dalam konteks Pilpres 2019, jumlah calon pemilih yang belum menentukan pilihan cukup besar. Dalam survei Charta Politika (22 Desember 2018 – 2 Januari 2019), responden yang menjawab tidak tahu/ tidak jawab dalam memilih kandidat dalam pilpres mendatang sebesar 12,7 persen. Di sisi lain, perolehan suara pasangan calon presiden-wakil presiden selama tiga bulan terakhir ini terbilang stagnan. Responden yang memilih pasangan nomor 01 sebesar 53,2 persen. Sedangkan yang memilih pasangan 02 sebesar 34,1 persen. Dari persentase tersebut, baru 80 persen responden yang telah yakin dengan pilihannya masih berkisar 80 persen. Artinya, swing voters dan undecided voters jumlahnya masih relatif besar. Tak terkecuali di dalamnya termasuk suara milenial yang oleh banyak kalangan dikhawatirkan bersikap golput.
Kembali lagi mengamati deklarasi ancaman golput yang dilakukan oleh sekelompok milenial di atas, fenomena ini dapat dipandang sebagai cara berpolitik alternatif yang dilakukan oleh milenial. Cara berpolitik yang tidak sekedar kepada siapa pilihan dijatuhkan, namun sebelum mereka nantinya akan memilih, mereka mengajukan syarat-syarat terlebih dahulu yang harus dipenuhi oleh kandidat pilpres maupun partai peserta Pemilu 2019.
Milenial meminta agar partai politik, politisi, maupun pasangan calon presiden-wakil presiden untuk memberikan pendidikan politik kepada publik dengan baik. Tidak mempertontonkan cara berpolitik yang menjenuhkan. Jika situasi masih berlangsung dengan demikian, mereka mengancam golput pada pemilu mendatang. Tantangan yang diajukan oleh milenial ini menunjukkan bahwa mereka sedang memainkan politik kepasifan. Sebuah cara yang sebetulnya tidak akan banyak membuat perubahan, namun dapat menjadi signifikan jika yang melakukan politik semacam ini jumlahnya banyak, terutama mengingat jumlah pemilih milenial dalam Pemilu 2019 jumlahnya sekitar 40 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Politik kepasifan inilah yang nantinya dapat menjadi kejutan kepada para kandidat dan partai politik yang menghiraukan mereka. Di sisi lain, bagi partai politik maupun kandidat yang berhasil membaca orientasi politik milenial semacam ini akan berpotensi mendapatkan limpahan suara dari generasi milenial. Seperti studi yang dilakukan oleh Setiajid (2011), pemilih pemula memiliki pola perilaku tersendiri dan sulit untuk diatur dan diprediksi. Masih ada tiga bulan sebelum pemilihan bagi pasangan calon maupun para caleg dari berbagai partai politik untuk memperbaiki cara mereka berpolitik sebelum semakin ditinggalkan oleh milenial.
Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute