Menguji Efektivitas Program Pemasyarakatan dalam Mencegah Kejahatan Berulang

Perburuan IS (26 tahun), yang ditetapkan sebagai tersangka pelaku pembunuhan Nia Kurnia Sari/NKS (18 tahun) gadis penjual gorengan keliling kampung telah tertangkap di hari ke – 11 pencarian. Polisi menangkap pelaku di salah satu loteng rumah kosong yang masih berada di wilayah kayu tanam Pariaman, Sumatera Barat.

Kasus NKS hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang berujung kematian pada perempuan sebagai korban (femisida). Kematian demi kematian perempuan akibat kasus kekerasan menjadi bukti lemahnya dampak penghukuman yang diberikan kepada pelaku atas kejahatan yang dilakukannya. Pada kasus yang dialami oleh NKS, IS yang ditetapkan sebagai tersangka pun ternyata merupakan mantan residivis dengan kasus yang serupa. Terbebasnya IS dari lembaga pemasyarakatan (lapas) tidak selalu membuktikan bahwa setiap mantan pelaku kejahatan apapun berhak diberikan kesempatan yang sama.

Terkait berulangnya kasus yang dilakukan oleh IS, Reza Indragiri Amriel pakar psikologi forensik mempertanyakan kinerja Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas). Ia mempertanyakan pengaruh dari program pembinaan permasyarakatan dalam menekan potensi residivisme terpidana yang digalakkan oleh Kemenkumham (tribunnews.com, 19/9/2024).

Program pemasyarakatan bagi residivis merupakan suatu program yang diciptakan pemerintah dalam melakukan pembinaan terhadap pelaku pidana. Aktivitas program bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku para warga binaan agar mampu kembali beradaptasi  dengan masyarakat setelah masa hukuman berakhir. Program pembinaan di lembaga pemasyarakatan menjadi suatu wadah pendidikan bagi pelaku tindak pidana untuk dapat mengubah perilakunya sebagai proses persiapan kembali kepada masyarakat (reintegrasi sosial).

Pentingnya program pemasyarakatan sebagai wadah pendidikan para warga binaan  telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Selain itu, pentingnya program ini menimbang bahwa stigmatif masyarakat terhadap mantan narapidana akan dapat mempengaruhi potensinya untuk melakukan kejahatan berulang.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada Februari 2020, dari total 268.001 tahanan dan narapidana, sebanyak 18,12% adalah residivis. Terdapat definisi yang berbeda dan berkelindan antara tahanan, narapidana dan residivis. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia online menjelaskan definisi tahanan adalah Individu yang ditahan karena dugaan tindak pidana, namun belum divonis oleh pengadilan. Sedangkan narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana. Terakhir, istilah residivis merujuk pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana (kejahatan) dan kembali melakukan tindak pidana yang sama atau berbeda. Seorang residivis jelas merupakan narapidana yang telah berbuat kejahatan yang sama atau berbeda.

Pada konteks data yang dipublikasikan oleh DitjenPas, khusus narapidana, terdapat 204.185 yang berstatus residivis. Selain itu, pada Februari tahun 2020 terdapat 30.000 narapidana yang menjalani asimilasi dan integrasi sosial karena Covid-19. Banyaknya jumlah narapidana yang menjalani proses ini memberikan kecemasan pada masyarakat. Hal ini juga didorong oleh pemberitaan tentang narapidana yang kembali melakukan tindakan kejahatan. Faktanya, angka residivisme di Indonesia masih dalam rentan rasio global, yakni 14-45% (ditjenpas.go.id, 22/5/2020).

Kerentanan narapidana dalam melakukan tindak kejahatan berulang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor tersebut dapat berasal dari dalam diri individu dan luar individu. Faktor yang bersumber dari dalam individu dapat diperoleh dari adanya dorongan/motivasi individu untuk melakukan kejahatan. Motivasi tersebut dapat ditemukan dari hasil akumulasi interaksi yang dilakukan antar sesama warga binaan. Akumulasi tersebut dapat menjadi media transfer pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan suatu aksi kejahatan.

Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi narapidana untuk kembali beraksi melakukan tindak kejahatan adalah faktor eksternal. Faktor ini dapat berasal dari stigmatisasi masyarakat yang menilai bahwa perilaku pelaku narapidana tidak dapat diubah dan tidak dapat diberikan kesempatan kedua. Kedua faktor ini dapat menjadi penyebab terjadinya perilaku pidana berulang.

Oleh sebab itu, untuk meningkatkan efektivitas program pemasyarakatan para petugas hendaklah menyusun materi pendidikan tertentu. Materi tersebut dapat berupa muatan pengetahuan tentang hukum dan konsekuensi yang harus diterima apabila para narapidana melakukan kejahatan berulang. Dengan diberikan materi tersebut diharapkan para narapidana tidak lagi melakukan kejahatan yang sama atau berulang.

Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
dewi@theindonesianinstitute.com 

Komentar