Memerangi Pandemi Hoaks di Tengah Vaksinasi COVID-19

Implementasi kebijakan vaksinasi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) masih terus berlanjut. Menurut Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, sudah terdapat 10,9 juta masyarakat Indonesia yang telah menerima vaksin dalam dua tahap (kontan.co.id, 21/04). Secara lebih spesifik, kemkes.go.id dan covid19.go.id (covid19.go.id, 20/04) mencatat telah melakukan vaksinasi sebanyak 11.101.291 pada tahap ke-1 dan 6.131.887 pada tahap ke-2. Di tengah upaya Pemerintah Pusat mengejar vaksinasi memerangi penyebaran COVID-19, “pandemi” hoaks atau berita bohong soal vaksin tampak menggerogoti dunia maya.

First Draft (2017) sebagai salah satu gerakan dengan tujuan melindungi masyarakat dari bahaya disinformasi, mengklasifikasikan hoaks menjadi tujuh jenis. Pertama, satir/parodi, dalam berita ini tidak ada niat jahat, namun bisa mengecoh. Kedua, false connection, yaitu judul berbeda dengan isi berita dan konten lainnya. Ketiga, false context, yaitu konten disajikan dengan narasi konteks yang salah. Keempat, misleading content, yaitu konten yang dipelintir untuk menjelekkan. Kelima, imposter content, yaitu pencatutan nama tokoh publik. Keenam, manipulated content, yaitu konten yang sudah ada diubah untuk mengecoh. Ketujuh, fabricated content, yaitu 100% konten palsu.

Di masa pandemi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) aktif dalam melaporkan sebaran hoaks soal vaksin COVID-19. Dalam catatan Kementerian Kominfo, hingga Senin (12/4/2021), sebanyak 1.094 hoaks vaksin COVID-19 ditemukan di berbagai platform media sosial. Sebaran hoaks seputar vaksin COVID-19 paling banyak beredar di Facebook (FB), yaitu sebanyak 977 hoaks. Di Twitter terdapat 52 sebaran hoaks, di YouTube terdapat 41, dan di TikTok terdapat 15, serta di Instagram (IG) terdapat 9. Sejauh ini Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Ditjen Aptika Kominfo) telah melakukan takedown kepada semua informasi hoaks tersebut (aptika.kominfo.go.id, 13/04).

Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) menuturkan dan menegaskan lebih lanjut bahwa akhir-akhir ini isu dominan adalah hoaks terkait vaksin COVID-19 (covid19.go.id, 27/01). MAFINDO mencatat terdapat 83 hoaks terkait vaksin COVID-19, dan viralitasnya cukup tinggi karena 42 persen terkait dengan isu keamanan dan kemanjuran termasuk hoaks kematian Mayor Sugeng. Menurut Septiaji, penyebaran hoaks ini memiliki beragam motif, termasuk motif ekonomi dan niat jahat di baliknya.

Maraknya penggunaan media sosial di masa pandemi, yang mana masyarakat harus berdampingan dengan sistem daring, juga menyuburkan keberadaan hoaks. Apalagi penggunaan media sosial masih belum sepenuhnya diiringi dengan kesadaran individu untuk lebih peka dalam menyaring dan menerima informasi. Akibatnya, banyak hoaks yang kian menyebar. Jumlah yang dirilis Kominfo di atas juga belum termasuk jumlah hoaks di sejumlah platform media lainnya termasuk media sosial tertutup seperti WhatsApp (WA). Situasi ini tentunya sangat mengkhawatirkan, mengingat kasus positif yang masih terus naik. Bagaimanapun, vaksin menjadi salah strategi pencegahan penularan penyakit.

Kemenkes menyatakan bahwa vaksinasi bertujuan untuk memberikan kekebalan spesifik terhadap suatu penyakit tertentu sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut, maka tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan (kesmas.kemkes.go.id, 2021). Masih dalam artikel tersebut, vaksinasi di Indonesia juga diagendakan untuk mencapai herd immunity. Kekebalan kelompok atau herd Immunity merupakan situasi di mana sebagian besar masyarakat terlindung/kebal terhadap penyakit tertentu sehingga menimbulkan dampak tidak langsung (indirect effect), yaitu turut terlindunginya kelompok masyarakat yang rentan dan bukan merupakan sasaran vaksinasi. Kondisi tersebut hanya dapat tercapai dengan cakupan vaksinasi yang tinggi dan merata. Lantas, bagaimana merespons situasi hoaks yang kian meresahkan?

Idealnya, penggunaan teknologi informasi yang makin masif, juga harus dibarengi dengan gencarnya upaya pemerintah untuk melakukan literasi digital, khususnya di berbagai platform media sosial yang digandrungi masyarkat. Perusahaan penyedia platform media sosial juga perlu secara aktif dalam menyosialisasikan setiap kebijakan terkait penangkalan hoaks kepada penggunanya. Perusahan perlu memastikan agar setiap pengguna mengetahui fitur report atau feedback untuk melaporkan berita yang mengandung informasi negatif.

Menangkal dan menangani hoaks di era digital membutuhkan kolaborasi banyak pihak. Kominfo sebagai leading sector perlu memperluas kolaborasi dengan banyak pihak untuk melakukan literasi digital. Selain itu, untuk menangani hoaks, Kominfo perlu berkoordinasi dengan kementerian/lembaga (k/l) terkait secara cepat untuk selanjutnya memberikan klarifikasi terkait hoaks tersebut dengan didukung bukti atau data yang jelas. Hal ini agar masyarakat mendapat informasi yang benar. Pandemi hoaks perlu disikapi pemerintah sebagai momentum untuk memberikan edukasi dan upaya meningkatkan kepercayaan publik di masa pandemi COVID-19.

Pada tahun 2017 silam, sebagai bentuk memerangi berita palsu, digelar gerakan Deklarasi Anti-Hoax yang diprakarsai oleh Kelompok Masyarakat Indonesia Anti-Hoax (kominfo.go.id, 08/01/2017). Adanya gerakan ini perlu didukung dan ditingkatkan secara masif pada level individu. Misalnya, Kominfo dan Kemenkes dapat menginisiasi gerakan “sahabat anti-hoaks”. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melibatkan relawan (volunteer), yaitu pengguna media sosial yang berkomitmen untuk turut menyebarkan berita baik soal vaksin dan vaksinasi dan berita terkait lainnya secara teratur lewat akun pribadi media sosial mereka.

Kominfo atau Kemenkes menjadi penyedia konten untuk diunggah para relawan pada waktu tertentu. Untuk menarik minat relawan, pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian penghargaan tertentu. Pemerintah juga dapat menggandeng komunitas Teknologi Informasi (TI) atau membuat kompetisi terkait strategi peningkatan literasi digital di masyarakat. Dengan demikian, diharapkan akan makin banyak pengguna media sosial tertular berita baik alih-alih terjangkit virus hoaks.

 

Vunny Wijaya,

Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

vunny@theindonesianinstitute.com

Komentar