Membangun Optimisme Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN

ASEAN Economic Community (AEC) atau yang lebih akrab disebut Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera dimulai dalam hitungan hari, tepatnya pada tanggal 31 Desember 2015. Berdasarkan sejarah terbentuknya, AEC pertama kali diinisiasi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN tahun 1997 di Kuala Lumpur di mana pada waktu itu para pemimpin negara-negara ASEAN memutuskan untuk mentransformasikan ASEAN sebagai kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi merata yang ditandai kesenjangan sosial ekonomi dan angka kemiskinan yang semakin berkurang.

Dengan diberlakukannya AEC, secara umum ASEAN akan menjadi kawasan dengan aliran barang, jasa, investasi, tenaga terampil, dan aliran modal yang lebih bebas. Studi yang dilakukan Asian Development Bank pada tahun 2014 menyatakan bahwa AEC adalah permulaan yang baik dalam integrasi kawasan Asia Tenggara. Dengan campuran kebijakan yang tepat, negara-negara ASEAN akan mampu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Sebagai landasan hukum dan konstitusi pelaksanaan AEC maka disusunlah ASEAN Charter. Di Indonesia, piagam tersebut juga sudah diratifikasi dengan terbitnya UU No.38 Tahun 2008 sebagai payung hukum perjanjian kerjasama di tingkat ASEAN.

Di dalam negeri, wacana mengenai pemberlakuan AEC kian menjadi perdebatan serius. Tidak sedikit yang mengkhawatirkan posisi Indonesia ke depan pasca AEC diberlakukan mengingat bahwa negeri ini memiliki populasi terbesar dalam kawasan. Dengan kata lain banyak pihak yang meributkan bahwa Indonesia hanya mampu berperan sebagai konsumen semata, bukan menjadi produsen yang dapat memetik keuntungan dari pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas ini.

Sebenarnya, apabila kita melihat lebih dalam, pemberlakuan pasar bebas (dalam hal ini AEC) memberikan peluang bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Sudah banyak sekali riset yang dilakukan untuk membuktikan bahwa pasar bebas mampu memberikan keuntungan bagi negara yang menerapkannya. Penelitian yang dilakukan Ramesh Paudal (2014), sebagai contoh, menerangkan bahwa kontribusi perdagangan bebas terhadap pertumbuhan ekonomi beragam untuk setiap negara, tetapi setidaknya negara berkembang sekalipun juga mampu menikmati keuntungan dari perdagangan tersebut.

Tiongkok merupakan contoh yang dapat digunakan ketika menggambarkan kesuksesan perdagangan bebas. Negara ini sebelumnya menerapkan perencanaan sentral dalam perekonomiannya. Hingga kemudian kondisi ini mulai direformasi pada tahun 1978 melalui privatisasi sektor pertanian. Pada tahun 2001 Tiongkok juga mulai tergabung dalam World Trade Organization (WTO). Keputusan besar yang diambil negeri tirai bambu ini ternyata mampu menggenjot produk domestik bruto mereka hingga mencapai 18.232,1 miliar renminbi pada tahun 2005.

Persiapan matang tentu perlu dilakukan oleh seluruh elemen agar Indonesia mampu menjadi pemenang bersama dalam kompetisi perdagangan bebas intra ASEAN ini. Disadari bahwa dalam kontestasi perdagangan, kekuatan Indonesia masih belum cukup baik dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Global Competitiveness Index 2015 yang dirilis oleh World Economic Forum menjelaskan bahwa posisi Indonesia masih terpaut jauh dari Singapura. Malaysia dan Thailand juga terlihat masih mengungguli ranking Indonesia.

Dari indeks tersebut terlihat bahwa ranking yang didapati Indonesia saat ini masih terseret oleh masalah yang sudah ada sejak dahulu, yakni masalah infrastuktur dan kelembagaan. Birokrasi yang inefisien dipercaya menjadi dalang utama praktik korupsi yang jamak terjadi di negeri ini. Dengan usaha yang tidak maksimal yang dilakukan oleh pemerintah, pelaksanaan AEC di dalam negeri tentu akan menjadi tantangan besar bagi Indonesia.

Aspek kelembagaan yang taat hukum dan tidak memihak kepada suatu golongan tentu sangat diharapkan dalam hal ini. Birokrasi yang tidak efisien perlu benar-benar diaplikasikan agar hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan pelaku bisnis dalam negeri dapat tercipta. Penguatan hukum juga penting dilakukan agar mampu membentuk iklim kelembagaan yang profesional dan transparan. Dengan upaya tersebut praktik-praktif yang bersifat koruptif diyakini akan mampu untuk tereduksi.

Pembangunan infrastruktur secara masif yang kini sedang giat-giatnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia juga memang cukup tepat untuk dilakukan. Kebutuhan akan infrastruktur yang memadai akan sangat membantu proses perdagangan di setiap lini. Agenda pembangunan infrastruktur harus tetap menjadi prioritas dan harus terus dilakukan secara merata dengan tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota besar saja agar aliran perdagangan dapat dirasakan oleh setiap masyarakat.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga wajib menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Piramida penduduk Indonesia yang mulai didominasi oleh usia produktif merupakan peluang yang sangat strategi bagi negeri ini untuk dapat bersaing dalam AEC. Pendidikan, pembinaan, serta pelatihan yang tepat perlu diberikan agar usia produktif mampu berkontribusi bagi bangsa ini. Semangat optimisme juga penting untuk ditanamkan agar mereka tidak memandang AEC sebagai hambatan melainkan sebagai peluang yang menjanjikan.

Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com

Komentar