Penyediaan alat kontrasepsi sebagai implementasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP No. 28/2024) tentang Peraturan Pelaksanaan Kesehatan dinilai sebagian besar kalangan cenderung mempromosikan perilaku seks bebas. Selain itu, penyediaan alat kontrasepsi dalam peraturan tersebut hanya merupakan salah satu bagian kecil dalam memahami kerangka pendidikan kesehatan reproduksi. Pemberian alat kontrasepsi seperti kondom kepada pelajar di sekolah dinilai tidak menyentuh substansi pendidikan kesehatan reproduksi yang sesungguhnya.
Pendidikan kesehatan reproduksi pada hakikatnya merupakan upaya sadar pemerintah dalam memberikan informasi tentang organ dan sistem reproduksi manusia. Selain itu, mengkomunikasikan tentang pentingnya mengenal kesehatan reproduksi manusia termasuk bahayanya perilaku berisiko yang meningkatkan potensi dan kerentanan terhadap penyakit menular seksual. Pendidikan kesehatan reproduksi menjadi ‘pintu masuk’ bagi remaja untuk dapat melindungi diri dari tindakan pelecehan hingga kekerasan seksual.
Pengenalan dan praktik pemakaian alat kontrasepsi merupakan satu diantara sekian banyak aktivitas, pendidikan kesehatan reproduksi yang dapat diberikan kepada remaja. Namun demikian dalam membangun kerangka pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif masih banyak materi kurikulum yang dapat dipertimbangkan untuk diberikan.
Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menyebutkan terdapat tujuh komponen penting materi yang dapat digunakan dalam pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Tujuh komponen tersebut antara lain pendidikan gender, kesehatan reproduksi dan HIV, hak seksual dan hak asasi manusia, kepuasan, kekerasan, keragaman, dan hubungan manusia (PKBI.or.id, diakses 16/8/2024).
Pada konteks pendidikan gender misalnya. Materi ini menjadi penting diberikan kepada remaja dalam memahami perbedaan konstruksi organ reproduksi antara laki-laki dan perempuan secara fisiologis dan biologis. Selain itu, materi gender dalam pendidikan kesehatan reproduksi akan menjabarkan proses reproduksi yang dialami oleh perempuan dan laki-laki dalam menciptakan bayi sebagai calon kehidupan baru yang akan dilahirkan.
Proses reproduksi manusia yang menciptakan bayi sebagai calon kehidupan baru, harus dipahami sebagai hasil kerjasama yang dilakukan keduanya baik laki-laki maupun perempuan.
Pada pemahaman kesetaraan gender yang diajarkan, ini menjadi tanggung jawab bersama pasangan yang tidak bisa dilepaskan. Artinya, meskipun perempuan secara biologis akan menjalankan fungsi reproduksinya seperti hamil, melahirkan, dan menyusui namun tugas laki-laki sebagai mitra tidak akan lepas dari perannya untuk mendukung perempuan dalam menjalankan fungsinya dengan memberikan asupan nutrisi yang berkualitas, memastikan kesehatan ibu dan anak termasuk memberikan rasa aman dan perlindungan secara psikososial. Materi kesetaraan gender ini dapat dibarengi dengan pemberian materi lainnya seperti persiapan memasuki kehidupan berkeluarga.
Lebih lanjut, pemerintah dalam upaya membangun kerangka pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan ramah remaja dapat berkolaborasi berbagai institusi/kelembagaan termasuk organisasi masyarakat yang memiliki perhatian terhadap isu terkait. Kolaborasi dan kerjasama itu dapat dilakukan bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, BKKBN, PKBI, lembaga negara lain yang terkait, dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang bergerak isu remaja dan pemuda. Hal ini penting dilakukan bersama sebagai bentuk sinergi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengurangi kerentanan remaja terhadap perilaku berisiko.
Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
dewi@theindonesianinstitute.com