Memafhumi Isu Depresiasi Rupiah

Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Jumat, 18 September 2015, kurs Dollar Amerika (USD) terhadap Rupiah (IDR) dibuka pada angka 14.452 per Dollar atau menandakan bahwa Rupiah telah melemah sebesar 15,86 persen sejak awal tahun. Hal ini dapat dipastikan akan membuat banyak pihak kian gusar dan mulai berspekulasi bahwa negara akan mengalami krisis dalam waktu yang tidak lama. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Siapakah yang harus bertanggungjawab atas permasalahan yang sedemikian berdampak ini?

Berbicara mengenai dalang terjadinya depresiasi atau penurunan nilai rupiah pasti tidak akan terlepas dari apa yang telah dilakukan oleh Amerika dan Tiongkok dalam beberapa waktu belakangan. Bank sentral Amerika atau Federal Reserve (jamak disebut The Fed) sudah semakin liar memainkan isu peningkatan suku bunga acuan, Fed Fund Rate. Sejak awal September banyak sekali analis yang menduga bahwa The Fed akan meningkatkan Fed Fund Rate sebagai respon atas perbaikan ekonomi Amerika.

Nyatanya, hingga rilis yang dikeluarkan pada kamis malam waktu Indonesia (18/09/2015), Fed Fund Rate tetap berada pada initial point atau nol persen. Ini bisa menjadi sinyal positif apresiasi Rupiah ataupun sebaliknya. Nilai bunga nol persen tentunya belum mampu menarik Dollar sepenuhnya untuk pulang kampung ke negeri Paman Sam. Akan tetapi, penulis meyakini bahwa sentimen Fed Fund Rate akan tetap dijalankan dan membuat ketidakpastian perekonomian global tetap terjadi.

Kedua adalah devaluasi, penurunan nilai mata uang karena kebijakan pemerintah, yang dilakukan oleh Tiongkok, sang produsen nomor satu di dunia (mapi.net, 2015). Devaluasi yang dilakukan ini merupakan penanda tulen bahwa Tiongkok memang sedang berada dalam kesulitan ekonomi. Kita ketahui bersama bahwa pasar komoditas sedang mengalami pelemahan. Hal ini sudah pasti berdampak kepada ekonomi Tiongkok yang perekonomiannya banyak bergantung pada ekspor komoditas. Karena input utama dari produksinya berasal dari negara-negara lain, seperti Brazil, Rusia, dan Indonesia, perlambatan ekonomi Tiongkok pasti akan berpengaruh pada negara-negara tersebut.

Mengapa pelemahan ekspor dapat mendepresiasi nilai Rupiah? Logikanya cukup jelas dan sederhana. Ekspor merupakan sumber penerimaan mata uang asing, termasuk Dollar di dalamnya. Sehingga ekspor dapat dikatakan sebagai supply Dollar di dalam negeri. Di lain pihak impor merupakan bentuk permintaan Dollar karena biaya impor akan dibayar dengan Dollar Amerika. Sehingga karena ekspor produk mentah kita melemah, penawaran USD juga akan turun, sehingga terjadi kelangkaan dan akhirnya harga USD kembali merangkak.

Meminjam analogi sederhana yang dibuat oleh Alvin Ulido (Agustus 2015), seekor gajah yang hendak masuk ke dalam kolam kecil secara perlahan (Amerika Serikat) ditambahkan dengan jatuhnya gajah besar lain secara mengejutkan (Tiongkok) ke kolam kecil yang sama, ombak yang dihasilkan (efek negatif) tentunya akan sangat besar dan tidak nyaman. Hal yang kemudian inilah yang dirasakan imbas negatifnya di beberapa negara emerging markets atau negara-negara baru dengan pendapatan menengah.

Selanjutnya apakah tidak ada campur tangan masalah domestik yang ikut membebani Rupiah? Jawabannya tentu tidak. Biaya logistik yang tinggi hingga lemahnya daya saing industri dalam negeri nyatanya masih lestari hingga saat ini. Biaya logistik yang rasionya mencapai 24 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tentunya membuat investor kurang nyaman untuk mananamkan uangnya di dalam negeri. Oleh karenanya diperlukan adanya pembenahan iklim investasi agar semakin kondusif dan meyakinkan kembali.

Banyak pihak yang berpendapat bahwa depresiasi rupiah merupakan momen yang tepat dalam meningkatkan kapasitas ekspor Indonesia. Bahkan strategi penurunan nilai mata uang juga digunakan oleh beberapa negara di Eropa serta Tiongkok untuk menaikan jumlah ekspornya. Namun sayangnya, industri dalam negeri masih sangat bergantung sekali dengan input bahan impor. Ketika rupiah anjlok, daya beli industri terhadap bahan baku impor tersebut akan semakin rendah dan pada akhirnya membawa perusahaan untuk gulung tikar.

Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi beserta beberapa Menteri bidang perekonomian, Otoritas Moneter, dan OJK meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang diberi nama Paket September 1. Hal ini sangat diharapkan untuk mampu mengembalikan kejayaan ekonomi Indonesia seperti beberapa tahun terakhir. Namun penulis mengamati bahwa paket kebijakan tersebut bukanlah solusi instan untuk menanggulangi permasalahan saat ini. Pun bukan juga suatu yang salah karena memang membangun fundamental memerlukan waktu yang sedikit lebih lama.

Beberapa fokus kebijakan untuk memangkas peraturan, perizinan, dan birokrasi merupakan kebijakan yang tepat dilakukan untuk membuat investor nyaman berinvestasi di Indonesia. Penggelontoran dana desa sesegera mungkin untuk membangun infrastruktur di desa dengan sistem padat karya juga merupakan hal yang tepat untuk membangun gairah ekonomi di pedesaan. Menambah jumlah bebas visa untuk menarik banyak wisatawan berbelanja dengan menggunakan rupiah di pasar domestik juga dapat memperbaiki nilai Rupiah di pasar.

Kebijakan yang diyakini berdampak positif tersebut lantas tidak serta merta dapat berdiri sendiri. Masyarakat diharapkan juga ikut andil dalam menjaga nilai Rupiah agar semakin kuat. Penggunaan Rupiah untuk bertransaksi di dalam negeri adalah hal mutlak yang sudah tidak bisa ditawar kembali. Masyarakat harus mencintai, mempercayai, dan bangga atas mata uangnya sendiri. Selain itu juga, penyebaran informasi, terutama di media sosial, mengenai situasi saat ini yang mengindikasikan negara akan bangkrut juga merupakan hal yang kontra produktif dan hanya akan menambah gaduh suasan semata. Hal tersebut sangat tidak pantas dan cenderung membuat isu negatif kepada para investor prospektif.

Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com

Komentar