Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) merilis data luas lahan terbakar periode Juli hingga Oktober 2015 yaitu seluas lebih dari 2 juta hektar, dengan perbandingan lahan gambut sekitar 30 persen dan non gambut sisanya.
Dari data tersebut 832.99 hektar terjadi di Sumatera, 806.817 di Kalimantan dan 353.191 di daerah Papua. Luas daerah yang sangat luas yang tentunya menimbulkan dampak yang juga luar biasa.
Catatan penting terkait bencana asap kali ini adalah lambatnya penanganan bencananya. Memang sudah banyak tindakan yang dilakukan pemerintah, mulai dari menindak perusahaan yang diduga membuka lahan dengan cara membakar yang merupakan cikal bakal timbulnya bencana asap, hingga tindakan penanggulangan kedaruratan bencana tersebut. Namun hal ini juga masih terkesan lamban.
Lambannya langkah penanganan bencana ini oleh pemerintah-pusat maupun daerah- telah menimbulkan korban. Baik korban materil, non materil hingga korban nyawa.
Data Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Riau menunjukkan, sudah lebih dari 20 ribu warga mengalami kesulitan bernafas akibat kabut asap ini. Jika kita simak pemberitaan terkait bencana ini, korban meninggal hampir semua adalah anak-anak. Mereka terserang infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang tak bisa tertangani lagi.
Jatuhnya korban nyawa ini adalah bukti konkrit negara lalai mengambil kebijakan tepat dan cepat menangani bencana ini. Apalagi, jika dirunut bencana asap adalah bencana ‘tahunan’ terjadi di Indonesia. Langkah preventif tidak juga dibuat untuk mencegah bencana ini berulang. kelompok paling rentan dalam menghadapi setiap bencana.
Dalam setiap kejadian bencana, termasuk permasalahan asap ini, upaya-upaya penanganan tanggap darurat bencana dinilai belum responsif terhadap anak-anak. Padahal, mereka memiliki kebutuhan khusus yang mesti dipenuhi dalam situasi bencana. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen penanganan bencana di Indonesia belum memprioritaskan kebutuhan anak-anak.
Menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang fokus pada anak, UNICEF, anak-anak lebih rentan terkena dampak kesehatan dari asap, karena mereka menghirup lebih banyak udara per kilo berat badan mereka dari orang dewasa. Oleh karena itu mereka membutuhkan perhatian khusus.
Reaksi pemerintah terhadap jatuhnya korban meninggal karena kabut asap dari kalangan anak-anak ini dengan membuka posko evakuasi bayi dan balita. Pilihan di Puskesmas memang tepat, karena Puskesmas adalah pusat layanan kesehatan tingkat pertama yang paling dekat dengan masyarakat.
Selain itu, sebenarnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai leading sector penanganan bencana di Indonesia, juga sudah berbagai instrument kebijakan terkait manajemen bencana. Misalnya terkait penanganan bencana di sekolah dan juga instrumen terkait penanganan bencana di tingkat desa/kelurahan dengan program mereka Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.
Ketika dampak bencana ini berlangsung lama kemudian menimbulkan pertanyaan untuk kita semua, kemana pelbagai program tersebut? Padahal ada aspek bagus di program tersebut dimana mengutamakan penanganan untuk kelompok rentan terutama anak-anak.
Melihat hal ini, penulis menilai bahwa memang masih diperlukan satu peraturan seperti peraturan Kepala BNPB yang berisi pedoman mengenai penanganan anak dalam bencana. Peraturan ini hendaknya mengacu juga ke pelbagai peraturan perundangan yang ada terkait perlindungan dan pemenuhan hak anak seperti pendidikan, kesehatan, pemulihan psikologis dan lain sebagainya.
Penulis: Lola Amelia, ameliaislola@gmail.com