Persoalan masih rendahnya penyerapan anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali mengemuka. Berdasarkan situs http://publik.bapedadki.net disebutkan bahwa per 30 November 2018 pukul 11.00 Wib, penyerapan anggaran Pemprov DKI baru mencapai 61, 5991%. Rendahnya serapan anggaran sepanjang tahun ini dan baru bergerak di pengujung akhir tahun dianggap tidak sesuai dengan janji Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di awal masa kepemimpinannya.
Pada saat kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017, pasangan Anies-Sandi pernah berjanji bahwa akan Meningkatkan Realisasi Rencana Program (daya serap anggaran) untuk memperluas cakupan dan efektivitas program-program penanggulangan banjir dan kemacetan, rehabilitasi dan pemeliharaan lingkungan hidup serta pengelolaan sampah (detik.com, 10/11/2016).
Pada Rapat Paripurna antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI dan Gubernur DKI Jakarta, permasalahan rendahnya serapan anggaran ini menuai kritik dari DPRD DKI Jakarta (rmol.co, 29/11). Anggota Fraksi PKB DPRD DKI Jakarta, Abdul Azis menyatakan, kondisi ini tidak sejalan dengan semangat Pemprov DKI yang berjanji meningkatkan penyerapan anggaran. Padahal, menurut Fraksi PKB, banyak kegiatan pembangunan yang sangat dibutuhkan masyarakat Jakarta (kompas.com, 30/11).
Selain Fraksi PKB, dua fraksi pendukung Anies, yakni Partai Gerindra dan PKS, juga malah menyampaikan kritikan tajam. Anggota Fraksi Gerindra Dwi Ratna menyatakan rendahnya serapan ini disebabkan banyaknya kegagalan lelang. Gagal lelang dan kualifikasi syarat lelang yang tidak bisa dipenuhi membuat serapan anggaran terganggu. Gerindra menilai Anies perlu melakukan audit (kompas.com, 30/11).
Sementara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai rendahnya serapan disebabkan perencanaan di awal yang sudah salah. Anggota Fraksi PKS, Achmad Yani sejumlah kegiatan yang gagal dikerjakan antara lain pembebasan lahan dan pembangunan rumah susun. PKS khawatir buruknya kinerja dapat menimbulkan preseden buruk terhadap Anies (kompas.com, 30/11).
Menyikapi hal ini, Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Saefullah, menyatakan rendahnya penyerapan anggaran ini, dikarenakan beberapa faktor seperti pertama, beberapa proyek mengalami gagal lelang. Contohnya, lelang lima mobil tanki air dan satu mobil spesifikasi khusus untuk pemadam kebakaran di Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI. Ternyata, tidak ada yang bisa menyediakan spek mobil tersebut (beritasatu.com, 8/11/2018). Selain itu terjadi kegagalan lelang pada pembangunan kantor camat Mampang Prapatan, kantor lurah Karet, dan kantor lurah Kuningan Timur (kompas.com, 3/10/2018).
Kedua, pihak kontraktor tidak mau menagih pembayaran pada termin pertama dan kedua. Melainkan akan menagih pembayaran pada termin keempat, yakni pada bulan Desember mendatang (beritasatu.com, 8/11/2018). Ketiga, salah perencanaan. Contohnya seperti pembatalan pembangunan rumah susun oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tersebut membatalkan pembangunan tiga rusun karena ada salah perencanaan. Rusun yang seharusnya dibangun dengan skema multi years itu malah dibangun dengan skema single year (kompas.com, 3/10/2018).
Melihat permasalahan rendahnya penyerapan anggaran tersebut, penulis mencoba melihat hal ini dalam proses pembuatan kebijakan publik. Hal ini karena yang dimkasud dengan anggaran tersebut adalah pengeluaran pemerintah yang mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesoebroto, 1994).
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn (Budi Winarno, 2007), yaitu tahap penyusunan agenda (agenda setting), tahap formulasi kebijakan, tahap adopsi kebijakan, tahap implementasi kebijakan, dan tahap evaluasi kebijakan.
Berdasarkan tahap-tahap kebijakan tersebut, menurut penulis, permasalahan rendahnya penyerapan anggaran telah terjadi pada saat tahap penyusunan agenda. Persoalan dalam penyusunan agenda terjadi karena kesalahan identifikasi masalah secara tepat oleh OPD-OPD untuk dapat mengambil kebijakan yang tepat pula. Kesalahan dalam menentukan masalah secara tepat dapat menimbulkan kegagalan dalam seluruh proses kebijakan.
Selain karena adanya kesalahan identifikasi masalah. Penulis juga melihat terjadi persoalan dalam tahap formulasi kebijakan. Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan, kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif kebijakan yang ada. Dalam tahap ini masing-masing aktor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik. Namun persoalannya, tidak jarang kebijakan yang diambil merupakan hasil kompromi politik antara pembuat kebijakan.Kadang kebijakan tumbuh dari kepentingan-kepentingan baru yang tidak seluruhnya berasal dari masalah yang ada.
Contohnya terjadi pada saat pembahasan APBD-P 2018 tentang penyertaan modal daerah (PMD) untuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dimana pada APBD 2018 sebelumnya Rp 5,9 triliun, kemudian menjadi Rp 10,9 triliun di APBD-Perubahan. Padahal pengajuan ini berlawanan dengan kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saat masih menduduki jabatan wakil gubernur. Anies dan Sandiaga membuat kebijakan untuk tidak memberikan PMD bagi BUMD. Ini dilakukan agar BUMD tidak bergantung pada pemerintah. BUMD dituntut kreatif mencari sumber pendanaan dari sektor lain di luar APBD. Di sisi lain, ketika Pemprov DKI berencana menganggarkan triliunan rupiah untuk BUMD, program-program pembangunan justru dicoret. Anggaran program pembangunan yang dicoret seolah begitu saja dialihkan ke PMD. Di saat itu terjadi, sayangnya program yang akan dijalankan BUMD dengan PMD itu malah tidak relevan dengan kepentingan masyarakat (kompas.com, 29/8/2018).
Kemudian yang terakhir persoalan pada tahap implementasi kebijakan. Suatu program kebijakan yang diimplementasikan oleh pelaksana teknis berhadapan dengan berbagai kepentingan yang saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain munkin akan ditentang oleh para pelaksana.
Contohnya, seperti gagalnya beberapa lelang barang dan jasa oleh Pemprov DKI Jakarta. Persoalan gagal lelang ini dikarenkan perbedaan pandangan tentang persyaratan lelang antara Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa Pemprov DKI (BPPBJ DKI) dengan OPD. Misalnya seperti pada gagal lelang mebel senilai 83 Miliar rupiah untuk 183 sekolah oleh Dinas Pendidikan. Kemudian lelang lima mobil tanki air dan satu mobil spesifikasi khusus untuk pemadam kebakaran oleh Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan.
Berdasarkan paparan diatas, penulis menilai bahwa rendahnya serapan anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena dampak dari permasalahan yang terjadi dalam tahapan pembuatan kebijakan publik, seperti tahap penentuan agenda, formulasi dan implementasi kebijakan. Karena seperti yang telah disinggung diatas, anggaran pemerintah merupakan cermin dari kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan oleh pemangku kebijakan DKI Jakarta dalam proses pembuatan kebijakan publik. Perbaikan pembuatan kebijakan diawali dengan memperbaiki proses perencanaan, melalui identifikasi masalah dengan tepat, guna menjawab persoalan publik. Kedua, pada tahap formulasi dilakukan perbaikan dengan memberikan alternatif-alternatif kebijakan rasional yang sesuai dengan tujuan perbaikan masalah publik dan dapat disepakati bersama antara Pemprov DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta. Ketiga, kebijakan yang ditetapkan akan diikuti alokasi anggaran. Oleh karena itu penganggaran harus tetap berpedoman pada prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com