Melihat Kemungkinan Pelaksanaan Pemilu Nasional dan Daerah

Sudah lumayan lama bergulir drama mengenai tanggal pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan daerah, bagaimana pelaksanaannya, apakah akan dibuat serentak atau dipisah dan lain-lain. Setidaknya, drama tersebut bisa kita akhiri saat Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyepakati bahwa pemungutan suara Pemilu serentak akan dilaksanakan 14 Februari, sedangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dihelat pada 27 November 2023. Momen tercapainya sebuah kesepakatan tersebut tentu melewati proses negosiasi panjang. Dikutip dari CNN Indonesia (2022), kesepakatan tersebut sebenarnya hampir tercapai pada bulan September 2021, pada saat rapat Konsinyering antara KPU, DPR dan Pemerintah menyepakati untuk mengadakan Pemilu pada 21 Februari 2024 dan Pilkada pada 27 November 2024.

Keputusan tersebut akhirnya harus mengalami penundaan karena Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri tidak bisa menghadiri rapat tersebut sehingga rapat harus ditunda sampai 16 September 2021. Setelah rapat ditunda, pemerintah membuat kajian soal opsi tanggal Pemilu. Dalam hal ini, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengumumkan keputusan pemerintah untuk menggelar Pemilu pada 15 Mei 2024 dengan alasan keamanan. KPU dalam menanggapi hal tersebut merasa keberatan karena waktu antara Pemilu dan Pilkada sangat sempit apabila opsi itu memang benar-benar jadi dipilih. KPU sempat mengusulkan untuk penundaan Pilkada di tahun 2025 namun pemerintah tetap bersikukuh untuk Pemilu bisa diselenggarakan di tahun 2024.

Argumen yang selama ini bergulir menanggapi isu pelaksanaan Pemilu serentak dalam waktu yang relatif dekat adalah, kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh KPU, terbatasnya anggaran dan juga masalah keamanan. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah; apakah permasalahan kepemiluan selesai begitu tanggal pelaksanaannya sudah ditetapkan? Rasanya jawaban dari pertanyaan tersebut tentu ‘tidak’.

Pasalnya, diskusi yang dilakukan oleh banyak pihak setidaknya menyimpulkan dua implikasi besar sekaligus kemungkinan buruk yang bisa terjadi apabila pemilihan umum nasional dan daerah dilaksanakan secara terpisah. Pertama adalah kemungkinan seseorang bisa mendaftar dan menjadi peserta Pemilu dua kali. Kekhawatiran ini muncul lantaran dalam berbagai produk hukum yang KPU keluarkan, tidak ada klausul yang menyatakan bahwa peserta Pemilu hanya boleh mengikuti satu kali Pemilu saja.

Hal ini penting, lantaran ada kemungkinan bahwa seorang kandidat, bisa mencalonkan diri di Pemilu nasional sebagai seorang calon anggota legislatif, dan kemudian mencalonkan dirinya kembali di pemilihan umum daerah sebagai seorang kepala daerah. Apabila ia terpilih sebagai anggota legislatif, dan kemudian juga terpilih sebagai kepala daerah dalam Pilkada, otomatis akan terjadi Pergantian Antar Waktu (PAW). PAW sendiri merujuk kepada sebuah proses pergantian anggota dewan yang diberhentikan antar waktu oleh calon pengganti antar waktu dengan perolehan suara terbanyak berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara di parpol. Beberapa alasan yang dianggap sah untuk melakukan PAW berdasarkan Pasal 201 Undang-undang No. 10 Tahun 2016 diantaranya adalah (1) Meninggal dunia, (2) Mengundurkan diri atas permintaan sendiri, (3) Mengundurkan diri karena ditetapkan sebagai peserta dalam pemilihan kepala daerah, dan (4) diberhentikan karena terjadinya pelanggaran-pelanggaran kode etik tertentu.

Dengan suburnya fenomena PAW yang mungkin terjadi di masa depan, hal ini tentu mengindikasikan bahwa hak pilih yang sudah digunakan oleh masyarakat terbuang sia-sia begitu saja. Selain itu, mekanisme PAW yang sering kali dilakukan cenderung berdasarkan kepentingan partai politik, bukan berdasarkan kepentingan rakyat.

Kemungkinan kedua yang bisa terjadi karena adanya perbedaan waktu pelaksanaan Pemilu nasional dan Pilkada adalah adanya kekosongan kekuasaan kepala daerah yang akan banyak terjadi di seluruh penjuru Indonesia. Setidaknya, akan terdapat 101 kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir di 2022, dan ada 170 kepala daerah yang masa jabatannya akan habis di 2023 ditambah dengan beberapa yang akan habis di tahun 2024. Hal ini berdampak pada daerah-daerah yang akan mengalami kekosongan kekuasaan kepala daerah setidaknya sampai ada kepala daerah baru terpilih.

Berdasarkan Pasal 201 Ayat (9) Undang-undang No. 10 Tahun 2016, untuk mengisi kekosongan kepala daerah yang habis masa jabatannya tahun 2022 dan 2023, maka akan ditunjuk pejabat kepala daerah. Berikutnya pada ayat 10 di Pasal yang sama disebutkan bahwa pejabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dan untuk pejabat bupati/wali kota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Plt. Gubernur nantinya bakal diajukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), kemudian dipilih oleh Presiden. Sementara Plt. Bupati/Walikota diajukan Gubernur dan dipilih oleh Menteri Dalam Negeri.

Hal yang menjadi kekhawatiran akan adanya fenomena penunjukan Pejabat Kepala Daerah ini adalah seperti yang misalnya sudah dijelaskan oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melalui laman resminya. Hal-hal tersebut di antaranya seperti preseden yang tidak patuh administratif, tidak adanya fit and proper test, kekhawatiran akan adanya konflik kepentingan dan ketidakpatuhan akan peraturan perundang-undangan.

 

Rekomendasi

Dalam hal menanggapi kemungkinan adanya pencalonan berulang yang dilakukan oleh peserta Pemilu, KPU perlu didesak untuk membuat peraturan khusus yang melarang adanya pencalonan dua kali yakni pencalonan dalam ranah Pemilu nasional dan Pemilu daerah. Hal lain dalam menanggapi kemungkinan pelantikan Pejabat Kepala Daerah yang bersifat masif dengan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi adalah, Kemendagri memperbaiki mekanisme dan tata kelola penunjukkan Pejabat Daerah yang lebih transparan, akuntabel dan profesional. Hal ini misalnya bisa dilakukan dengan membuka informasi peraturan teknis sebagai turunan dari Pasal 201 UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan seluruh dokumen mengenai proses pengangkatan pejabat Gubernur yang telah dilantik.

Felia Primaresti – Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute

felia@theindonesianinstitute.com  

Komentar