Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan orang miskin di Indonesia pada tahun 2013 semakin bertambah. Tercatat ada 28,55 juta orang miskin atau 11,47 persen dari jumlah penduduk pada September 2013, naik dari Maret yang sebesar 11,37 persen atau sebanyak 28,07 juta orang.
Hal penting lain yang perlu dicatat dari angka kemiskinan yang meningkat dari trimester awal 2013 ke trimester terakhir 2013 adalah bahwa jumlah orang miskin banyak meningkat di wilayah perkotaan. Maret 2013 orang miskin di perkotaan hanya sebesar 10,33 juta jiwa (8,39 persen) dari jumlah penduduk, sementara September 10,63 juta jiwa (8,52 persen).
Sementara, untuk wilayah perdesaan, secara jumlah memang lebih banyak orang miskin, yaitu 17,92 juta jiwa atau (14,42 persen) dari jumlah penduduk. Akan tetapi, untuk peningkatannya dari bulan Maret tipis hanya sebesar 17,74 juta (14,32 persen) dari penduduk,
Penyebab makin besarnya pertambahan jumlah orang miskin di perkotaan tidak lepas dari kebijakan pemerintah menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kemudian menyebabkan harga berbagai komoditas juga naik. BPS mencatat peningkatan jumlah orang miskin akibat inflasi tinggi hingga 5,02 persen akibat kenaikan harga BBM pada bulan Juni 2013.
Komoditas penting lain yang harganya ikut naik secara nasional juga turut menyumbang kenaikan jumlah orang miskin. Selain kenaikan harga BBM, dan beras, kenaikan harga eceran sejumlah komoditas juga menyumbang kenaikan jumlah orang miskin. Sepanjang Maret-September 2013, harga daging ayam ras naik 21,8 persen, harga telur ayam ras naik 8,2 persen, dan harga cabai merah naik 15,1 persen.
Semuanya itu kemudian menjadi faktor peningkatan jumlah orang miskin. BPS juga mencatat selama periode Maret-September 2013, garis kemiskinan naik sebesar 7,85 persen, yaitu dari Rp 271.626 per kapita per bulan pada Maret 2013 menjadi Rp 292.951 per kapita per bulan pada September 2013.
Meningkatkan jumlah orang miskin ini tidak ayal adalah potret kegagalan berbagai program pemerintahan SBY-Boediono secara umum maupun yang khusus tentang penanggulangan kemiskinan.
Beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan cenderung mengalami kegagalan. Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, pendekatan yang digunakan kurang tepat dan sering salah sasaran. Sering kita menemukan fakta bahwa orang-orang yang mampu mengakses berbagai layanan gratis yang seyogyanya untuk orang miskin, misalnya penggunaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin), Program Keluarga Harapan (PKH), Rumah Susun Sederhana Hak Milik (Rusunami), Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa), dan lain sebagainya.
Kedua, sebagai persoalan multikompleks, seharusnya pendekatan yang digunakan juga perlu memperhatikan beragam aspek secara terpadu, konsisten, dan berkesinambungan. Salah satunya, pelibatan warga miskin agar mampu menemukan akar persoalan kemiskinan yang dihadapi dan bersama-sama mencari solusinya.
Hal ini juga terlihat pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang di dalam dokumen resminya mencantumkan prinsip partisipasi masyarakat. Namun, berdasarkan berbagai hasil penelitian, termasuk juga yang sempat dilakukan oleh The Indonesian Institute (2012), menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam merumuskan program-program penanggulangan kemiskinan dalam kerangka PNPM ini masih rendah tidak sampai 15 persen, apalagi untuk partisipasi perempuan.
Selain partisipasi, aspek lain yang juga patut diperhatikan adalah akuntabilitas dan transparansi penggunaan anggaran PNPM. Misalnya, pada kegiatan simpan pinjam perempuan (SPP), karena ketidaktransparanan dan tidak akuntabelnya para bendahara kegiatan, sering terjadi pinjaman yang macet. Sayangnya lagi, hal ini tidak menjadi catatan bagi pelaksana PNPM di tingkat pusat, sehingga kelompok-kelompok dengan pinjaman yang macet tetap mendapatkan pembiayaan untuk program ini (Ecosoc, 2009).
Hal lain yang bisa kita catat selain bertambahnya masyarakat miskin adalah bagaimana suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah, misalnya dalam hal ini menaikkan harga BBM menimbulkan efek domino yang cukup panjang. Ujungnya kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang menjadi tujuan setiap program pembangunan tidak tercapai, namun sebaliknya jumlah masyarakat miskin yang betambah.
Sedikit melihat peta sejarah konflik sosial sebagai perwujudan konkrit dari sikap intoleransi sebagian kelompok masyarakat di Indonesia, kemiskinan dan pengangguran yang menyulitkan hidup masyarakat juga turut memicu konflik sosial. Hal ini sebagaimana pernah terjadi di Ambon (1999) dan Poso (1998). Bahkan aksi terorisme juga dalam beberapa kajian disebutkan salah satu pemicunya adalah kemiskinan. Untuk itu, salah satu cara untuk mencegah potensi konflik adalah dengan membangun kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan.
Dalam konteks kekinian kehidupan berbangsa kita, menjelang perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 berbagai isu sosial terkait ras/etnis/agama/golongan/jenis kelamin rentan dipergunakan berbagai pihak. Para peserta pemilu akan memanfaatkan isu sosial untuk mendulang suara dengan memanfaatkan kondisi masyarakat yang miskin, yang secara psikologis lebih mudah diprovokasi.
Dari paparan di atas jelas terlihat bagaimana kemiskinan dapat memberikan efek panjang bagi kehidupan masyarakat secara horizontal maupun dalam kehidupan bernegara. Penanganannya sudah tidak bisa lagi hanya dalam kerangka proyek yang berjangka waktu, namun harus berupa penanganan berkelanjutan oleh pemerintah dalam berbagai program-program pembangunan dan dianggarkan dengan eksplisit di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Akhirnya perlu meletakkan kembali paradigma pengentasan kemiskinan pada tujuan awal, bahwa ini merupakan kewajiban pemerintah guna mencapai tujuan bangsa, mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia seperti yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi negara kita.
Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com