El Nino mengancam ketahanan pangan Indonesia. Bagaimana tidak, fenomena menghangatnya suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur di sekitar garis khatulistiwa ini, di Indonesia memicu kekeringan panjang yang kemudian menyebabkan musim hujan terlambat dan sebagian besar sawah Indonesia yang masih tadah hujan akan memasuki masa tanam yang terlambat juga.
Indonesia sudah mengalami fenomena ini sejak tahun 1980an. Seharusnya pemerintah sudah punya seperangkat kebijakan antisipatif menghadapi fenomena ini.
Fenomena ini secara garis besar menyebabkan gagal panen dan juga telat masa tanam padi. Khususnya terkait proses tanam padi yang menjadi mundur, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa awal musim hujan 2015/2016 mulai November 2015 di 139 zona musim atau 40,6 persen, dan mulai Desember 2015 sebanyak 103 zona musim (30,1). Dibandingkan rata-rata 30 tahun (1981-2010), awal musim hujan 2015/2016 sebagian besar (74,9 persen) mundur.
Mundurnya masa tanam ini menunjukkan (kembali) pemerintah gagal mengantisipasi fenomena rutin tahunan ini. Dalam skala bencana makin buruk dan kebijakan antisipatifnya pun belum terlihat. Dari segi dampak, dampak langsung tentu kepada penghasilan petani, dan krisis ketersediaan beras juga mengancam. Kelangkaan beras juga akan mengakibatkan inflasi tinggi. Harga beras tinggi karena stok terbatas namun permintaan masih tinggi.
Badan Pusat Statistik mencatat selama 2015, beras menyumbang inflasi 0,31 persen. Inflasi di desa juga lebih tinggi ketimbang inflasi di kota. Inflasi di desa sekitar 4,28 persen dan di kota sekitar 3,35 persen.
Pada titik ini kemudian kerawanan bertambahnya kelompok miskin meningkat. Hal ini adalah karena harga beras yang masih tinggi menyebabkan porsi pengeluaran kelompok rentan miskin dan miskin meningkat.
Jika biasanya sekitar 60-65 persen pendapatan adalah untuk konsumsi pangan, maka saat ini meningkat ke angka 70-75 persen dari pendapatan. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka kemungkinan bergesernya kelompok rentan miskin ke kelompok miskin semakin tinggi.
Pemerintah tak bisa tinggal diam harus membantu petani yang masih tergantung pada curah hujan ini. Namun hal pertama yang menurut penulis harus dilakukan pemerintah adalah melakukan pemetaan daerah rawan kekeringan ini. Peta yang komprehensif dengan kondisi lokalitas yang terlihat jelas akan memudahkan segala intervensi pemerintah untuk mengatasi dampak kekeringan ini.
Hal lain yang perlu dipastikan pemerintah adalah bahwa petani mendapat perlindungan dari pelbagai permasalahan yang mereka hadapi. Hal ini adalah mandat dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pasal 37 ayat (1).
Hanya dengan memberikan asuransi pertanian ke para petani yang gagal panen atau tertunda proses bercocok tanamnya, petani bisa tidak masuk ke kelompok miskin. Artinya petani tidak merugi secara finansial atau memiliki stabilitas pendapatan.
Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, lola@theindonesianinstitute.com