Kejar Tayang Otsus Papua

Tak terasa sudah 20 tahun pemerintah memberikan otonomi khusus (otsus) kepada Papua. Selanjutnya, maka pemerintah bersama dengan DPR wajib untuk merevisi otsus tersebut. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua Pasal 34 (6) yang menjelaskan bahwa otonomi khusus yang diberikan kepada Papua berlaku selama 20 tahun. Oleh karena itu, DPR memasukkan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021 dan menargetkan revisi undang-undang tersebut rampung bulan Juli ini.

Pemberian hak khusus kepada Papua merupakan lanjutan dari semangat demokratisasi di Indonesia. Selain itu, otonomi khusus juga merupakan bagian dari desentralisasi pasca reformasi. Desentralisasi merupakan pelimpahan kekuasaan dari pusat kepada daerah sehingga daerah dapat mengembangkan potensinya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Chema & Rondinelli (1983), bahwa dengan adanya desentralisasi dapat meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat di daerah untuk menangani urusan-urusan yang biasanya tidak ditangani secara baik oleh pemerintah pusat.

Yang menjadi sorotan adalah apakah otsus yang sudah ditetapkan selama 20 tahun ini berjalan seperti yang diharapkan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otsus Papua memberi harapan kepada masyarakat Papua untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua dan mempersempit kesenjangan antara masyarakat Papua dengan daerah- daerah lain di Indonesia. Namun data BPS tahun 2020 menunjukan bahwa Papua dan Papua Barat menjadi provinsi termiskin di Indonesia (BPS, 2020). Berdasarkan data ini, sudah sewajarnya jika pemerintah bersama DPR mengkaji ulang otsus Papua untuk mencari akar permasalahan mengapa Papua masih tertinggal.

Merevisi Otonomi Khusus Papua

Dalam revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, terdapat dua pasal yang menjadi sorotan. Pertama adalah Pasal 34 ayat 3 huruf E yang menjelaskan bahwa “Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2,25 persen dari plafon dana alokasi umum nasional”. Angka 2,25% merupakan angka perubahan yang semula 2 persen. Namun, titik permasalahan bukan hanya pada peningkatan jumlah anggaran, tetapi pada proses distribusi anggaran tersebut. Seperti yang dikatakan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murip di Kompas TV pada 17 Juni 2021, alur distribusi anggaran saat ini cukup panjang, yaitu pemerintah pusat ke provinsi lalu dilanjutkan ke daerah-daerah. Untuk itu, mekanisme yang panjang ini sebaiknya dipangkas agar lebih efisien, seperti dari pemerintah pusat langsung kepada daerah tanpa harus melewati provinsi (Kompas tv, 17/6/2021)

Selain itu, dilansir dari Bisnis.com, dana yang telah disalurkan untuk otsus Papua dari tahun 2002 hingga 2021 mencapai Rp138,65 triliun. Tidak hanya itu, pemerintah pusat juga menggelontorkan anggaran Rp953 triliun untuk pembangunan Papua dan Papua Barat dengan perincian, dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp702,3 triliun dari 2005-2021 dan belanja kementerian/lembaga periode yang sama Rp251,29 triliun. Dari dana-dana tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa 51,7 persen kabupaten/kota di Papua mendapatkan opini disclaimer dan adverse (Bisnis.com, 31/05/2021). Data ini menunjukan bahwa terdapat permasalahan dalam proses penggunaan dana tersebut.

Mungkin saja titik permasalahan ada pada indikasi korupsi dana otsus Papua. Dilansir dari CNNIndonesia.com, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, mengatakan dugaan korupsi dana otonomi khusus Papua sudah masuk dalam tahap penyelidikan. Hal ini berdasarkan hasil penelusuran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa terdapat pemborosan dan ketidakefektifan dalam penggunaan anggaran. Selain itu, terdapat penggelembungan harga dalam pengadaan sejumlah fasilitas-fasilitas umum di wilayah Papua (CNNIndonesia.com, 16/03/2021).

Bukan hanya soal anggaran, pasal lain yang menjadi sorotan adalah Pasal 76 yang menjelaskan bahwa “pemerintah dapat melakukan pemekaran daerah provinsi menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”. Pasal ini menjadi sorotan karena pada pasal sebelumnya memberikan kewenangan kepada MRP dan Dewan Pertimbangan Rakyat Papua (DPRP) terkait pemekaraan provinsi di Papua. Sejauh ini sudah ada beberapa wilayah yang dimekarkan. Pada tahun 2002, terdapat tiga kabupaten baru yaitu Kabupaten Tolikara dengan ibu kota Karubaga, Kabupaten Pegunungan Bintang dengan ibu kota Oksibil dan Kabupaten Yahukimo dengan ibu kota Dekai. Pada tahun 2008, dimekarkan empat kabupaten baru yaitu Kabupaten Mamberamo Tengah dengan ibu kota Kobakma, pemekaran Kabupaten Yalimo dengan ibu kota Elelim, pemekaran Kabupaten Lanny Jaya dengan ibu kota Tiom, dan Kabupaten Nduga dengan ibu kota Kenyam

Berdasarkan revisi Pasal 76 ini, disinyalir pemerintah pusat bersama dengan DPR berusaha untuk mereduksi kewenangan dari MRP dan DPRP. Padahal, sejatinya pemekaran wilayah haruslah berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, yang dalam kasus Papua, aspirasi direpresentasikan oleh MRP dan DPRP. Bahkan menurut Ketua MRP Timotius Murip, revisi Undang-Undang Otsus Papua tidak melibatkan masyarakat Papua, dalam hal ini MRP. Oleh karena itu, MRP menggugat Presiden Joko Widodo dan DPR kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada bulan April 2021.

Jangan Asal Kejar Tayang

Memang sudah sewajarnya pemerintah bersama dengan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Selain karena memang sudah jatuh tempo, Undang- Undang ini dinilai masih belum efektif dan menyisakan banyak masalah. Namun, yang menjadi perhatian adalah revisi Undang-Undang tersebut jangan terkesan hanya “kejar tayang” karena memang sudah waktunya. Seharusnya ada evaluasi secara mendalam dan menyeluruh sehingga dapat ditemukan akar permasalahan dan dapat mencari solusinya.

Selain itu, perlu adanya pengawasan ekstra terhadap dana otsus Papua. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa dana yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk Papua bukanlah dana yang sedikit. Bahkan, dalam revisi Undang-Undang terjadi peningkatan alokasi anggaran. Agar dana tersebut dapat diimplementasikan dengan baik serta tepat sasaran, maka pengawasan ekstra menjadi solusi terbaik.

Proses hukum terkait adanya indikasi korupsi dana otsus Papua perlu untuk terus dilakukan, dikawal, dan diawasi. Jika terdapat oknum yang terbukti melakukan tindak korupsi dana otsus Papua, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhak untuk menjatuhkan hukuman maksimal. Hal ini dapat memberi efek jera bagi oknum-oknum lainnya yang hendak menyelewengkan dana otsus.

Hal terpenting lainnya adalah membuka dialog antara pemerintah pusat dengan MRP serta DPRP. Salah satu fungsi dari MRP dan DPRD adalah menjembatani kepentingan pemerintah pusat dengan kepentingan masyarakat Papua. Bbagaimana pun juga, adanya otsus Papua adalah sebagai bentuk semangat desentralisasi di mana pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada daerah. Jangan sampai, revisi Undang-Undang otsus Papua hanya menggunakan logika “Jakarta” tanpa mengindahkan aspirasi masyarakat Papua.

 

Ahmad Hidayah – Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute ahmad@theindonesianinstitute.com

Komentar