Kasus Covid-19 Meningkat, Peneliti Minta Pemerintah dan KPU Tunda Pilkada 2020

AKURAT.CO, Peneliti bidang hukum The Indonesian Institute (TII) Aulia Guzasiah meminta Pemerintah dan KPU RI menunda penyelenggaraan Pilkada Serentak yang dijadwalkan pada Desember 2020 mendatang. Penundaan itu dilakukan mengingat jumlah kasus positif Covid-19 yang terus meningkat bahkan kini sudah mencapai 47.896 orang.

“Benar, sungguh sangat riskan jika tetap dilanjutkan. Meski telah diwacanakan dengan penambahan TPS dan protokol kesehatan yang ketat, namun tentu masih mengkhawatirkan. Bayangkan saja, ada sekitar 105 juta pemilih di 270 daerah yang nantinya tetap harus bergerak dan berkumpul bersama-sama di suatu tempat pada hari pelaksanaannya” kata Aulia kepada AKURAT.CO, Jakarta, Rabu (24/6/2020).

Belum lagi, kata Aulia, jika dikaitkan dengan dinamika politik sektoral dan intrik-intrik konflik yang niscaya akan terjadi selepas pemilihan. Tambahnya, hal ini tentu akan semakin memperkeruh situasi, dan sama saja membuat usaha pembatasan sosial yang telah dilakukan tidak berarti apa-apa.

“Paling tidak, tunggu dulu sampai angka kasus ini memperlihat kan tanda-tanda mereda. Ini kan sejak Perppu Nomor 2 Tahun 2020 terkait Pilkada yang dikeluarkan di awal bulan Mei kemarin, jumlah kasusnya belum juga kunjung mengalami penurunan. Bahkan cenderung semakin meruncing,” imbuhnya.

Terkait dengan kepastian kapan persisnya pandemi ini berakhir, memang belum ada seorangpun yang dapat memperoyeksikannya secara pasti. Namun tentu akan sangat tidak etis dan empatis jika tetap harus bertaruh nyawa, demi hanya untuk memuaskan hasrat dan agenda politik semata.

“Bukannya diawal-awal penyebaran pandemi ini, presiden sendiri selalu menggaungkan keselamatan  rakyat adalah hukum tertinggi? Inilah saatnya menguji pernyataan tersebut. Apalagi Perppu Pilkada yang dikeluarkan kemarin itu, juga tidak kaku-kaku amat menetapkan ketentuan pelaksanaannya. Dalam Pasal 210A ayat (3) masih menyediakan opsi lanjutan terkait penundaannya. Sekiranya dengan melihat perkembangan kasus positif saat ini, tidak ada alasan lagi untuk tetap melanjutkannya,” tukasnya.

Meski begitu, Aulia menyatakan sebenarnya masih terdapat solusi alternatif yang sedari kemarin kurang begitu mendapat perhatian, yakni pemilihan yang dilakukan secara elektronik dan melalui pemanfaatan jaringan internet. Menurutnya, cara ini paling tidak dapat menjadi penengah dan solusi penyelenggaraan pilkada aman tanpa perlu mengenyampingkan faktor keselematan warga.

“Ya, setidaknya hal ini dapat dipertimbangkan. Wacana penyelenggaraannya memang dapat dikatakan masih tumbuh-tenggelam dan dipermasalahkan di beberapa negara. Terutama soal jaminan keamanannya yang masih rentan terhadap retasan. Namun teknologi sekiranya telah jauh berkembang dan lebih mutakhir,” ujarnya.

Lanjutnya, sebut saja teknologi blockchain yang mulai dibicarakan pemanfaatannya dalam pemilu. Aulia menyatakan, hari ini sekiranya akan sangat sulit menemukan seseorang yang paham kriptografi dan masih meragukan pola kerjanya dalam mengamankan data secara teoritikal.

“Tetapi itu kembali lagi kepada political will Pemerintah. Apakah akan mengedepankan keselamatan masyarakat diatas segalanya, memilih mengenyampingkannya, ataukah memilih jalan tengah tanpa perlu menegasikan keduanya,” pungkasnya.[]

Komentar