Pemilihan Umum Kepala Daerah 2018 telah selesai dilaksanakan. Salah satu agenda yang sudah dilaksanakan adalah terkait pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Lalu, seberapa jauh perempuan sebagai salah satu kandidat calon gubernur maupun calon wakil gubernur menyuarakan aspirasi dalam mengangkat isu perempuan?
Hasil penelusuran nama-nama kandidat di Pilgub 2018 didapatkan informasi bahwa ada empat kandidat berjenis kelamin perempuan. Kandidat perempuan ini tersebar di empat provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat.
Jumlah kandidat perempuan dalam Pilgub 2018 belum dapat dikatakan banyak, karena hanya ada di empat provinsi dari tujuh belas provinsi. Keterwakilan perempuan dalam Pilgub perlu didorong untuk mewujudkan keadilan bagi perempuan melalui program kerja yang dapat mengakomodir kepentingan perempuan.
Tabel 1. Kandidat Perempuan di Pilgub 2018 dan Program Kerja Pro-Perempuan
Tabel 1 setidaknya sudah menjawab keraguan terkait korelasi kandidat perempuan dengan program kerja yang pro-perempuan, walaupun fakta ini terbatas pada level Pilgub 2018. Namun, fakta ini setidaknya memberikan kita angin segar bahwa kandidat perempuan nyatanya memiliki program kerja yang peduli perempuan. Bahkan, salah satu kandidat sudah secara spesifik menyebutkan program yang akan direalisasikan untuk mengurangi angka kematian ibu, yaitu dengan menempatkan bidan terlatih di setiap desa.
Fakta yang tercermin dalam tabel 1 seharusnya menjadi salah satu faktor pendorong bagi pemerintah untuk menyusun peraturan terkait minimal partisipasi perempuan dalam pilkada. Aturan partisipasi perempuan dalam pilkada baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota belum ada, sehingga keterwakilan perempuan bisa dikatakan masih rendah.
Padahal, partisipasi perempuan pada pemilihan legislatif sudah memiliki payung hukum melalui UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. UU tersebut menyebutkan bahwa “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”
Walaupun dengan hadirnya payung hukum tidak pula menjamin luasnya akses perempuan di dunia politik, namun adanya payung hukum yang jelas setidaknya akan memberikan kejelasan nasib perempuan dalam kontestasi pilkada. Hal ini sedikit banyak memberikan harapan kepentingan-kepentingan perempuan dapat terakomodasi dengan lebih baik. Oleh karena itu, mendorong adanya payung hukum yang mengatur partisipasi perempuan dalam pilkada sangat penting untuk segera direalisasikan.
Umi Lutfiah, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, umi@theindonesianinstitute.com