Bagi gerakan buruh, May Day yang jatuh pada setiap tanggal 1 Mei bukanlah sekedar seremonial. May Day adalah momentum untuk terus memperjuangkan hak-hak buruh. Sampai saat ini masih banyak persoalan yang melilit buruh. Salah satu persoalan yang selama ini menjadi pembicaraan dan perdebatan antara perusahaan dengan pekerja, atau pun dengan pemerintah adalah yang menyangkut sistem jaminan sosial buruh.
Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 28 H Ayat 3 yang secara jelas menyatakan, “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Ini diperkuat Pasal 34 Ayat 2, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Dua pasal itu menyiratkan, pertama ada prinsip hak asasi manusia (HAM) pada jaminan sosial karena seluruh rakyat adalah pemegang hak (rights holders). Di sisi lain, negara sebagai pengemban kewajiban untuk memenuhi hak itu (duty bearer). Kedua, jaminan sosial tersebut untuk seluruh rakyat, tanpa membedakan suku, agama, latar belakang pendidikan, ekonomi, dan di mana pun mereka berada (di dalam ataupun di luar negeri selama berstatus WNI). Buruh formal atau informal, di dalam maupun di luar negeri, berhak atas jaminan sosial dari negara.
Terkait jaminan sosial untuk buruh, ada harapan dengan kehadiran Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) No. 24 Tahun 2011. UU BPJS merupakan mandat UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang secara eksplisit mengharuskan BPJS sudah terbentuk paling lambat 19 Oktober 2009, lima tahun setelah UU tersebut disahkan.
Ada dua jenis BPJS yaitu kesehatan dan ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 2014. BPJS Ketenagakerjaan yang meliputi jaminan keselamatan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun akan beroperasi 2015.
Kehadiran BPJS ini diharapkan juga bisa memberikan proteksi maksimal yang tidak bisa diberikan oleh penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan selama ini, Jamsostek. Berdasar UU No 3 Tahun 1992, peserta Jamsostek hanyalah pekerja formal. Jumlahnya “hanya” 8,5 juta atau 27,6 persen dari total pekerja yang mencapai 30,7 juta (Thabrany, 2011).
Kemudian, bentuk badan penyelenggara Jamsostek selama ini adalah Badan Usaha Milik Negara berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang profit oriented. Tahun 2010 kekayaan Jamsostek Rp. 92 triliun lebih, sementara tambahan anggota aktif berjalan lambat. Dengan demikian, terlihat bahwa, orientasi Jamsostek masih mengembangkan dana, belum sampai pada meluaskan kepesertaan.
Selain itu, pengembangan dana Jamsostek belum optimal untuk kesejahteraan buruh. Indikatornya, jumlah yang dikembalikan ke buruh pada 2007 hanya 55 persen (Iqbal, 2011) Padahal, cadangan perseroan atau alokasi lainnya dari kekayaan ini bisa dimaksimalkan untuk kesejahteraan buruh dan keluarganya, misalnya, dengan membangun perumahan bernilai kredit yang murah atau pemberian beasiswa anak-anak buruh dan kegiatan lain yang berhubungan dengan kebutuhan hak dasar.
Melihat hal di atas, maka tuntutan agar pemerintah segera melaksanakan Jaminan Sosial untuk buruh menjadi relevan. Jaminan sosial yang dimaksudkan di sini adalah Jaminan Kesehatan atau yang disebut BPJS Kesehatan yang disepakati akan berjalan per 1 Januari 2014 dan Jaminan Pensiun Pekerja yang yang disebut BPJS Ketenagakeraan yang disepakati akan berjalan per 1 Juli 2015.
Namun, agar jaminan sosial tersebut bisa dinikmati oleh buruh secara keseluruhan-formal atau informal, maka perlu ada revisi terhadap peraturan yang ada. Pertama, revisi PP No. 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) sehingga buruh informal juga bisa mendapatkan jaminan sosial. Kedua, revisi Perpres No. 12/201 tentang Jaminan Kesehatan, dimana status badan penyelenggara jaminan kesehatan yang BUMN harus diubah menjadi Badan Hukum Publik/Wali Amanah (trust fund).
Terkait persoalan jaminan sosial ini, untuk mengakhiri kontroversi yang pada akhirnya sering berujung pada perselisihan pengusaha dan buruh, peran pemerintah sebagai perantara dan juga pembuat regulator sangat penting. Pemerintah harus segera menyelesaiakan berbagai peraturan pelaksana sistem jaminan sosial untuk buruh seperti yang sudah diamanatkan UU SJSN 2004 dan UU BPJS 2011.
Selain itu, pemerintah harus mampu memfasilitasi dialog tripartit terhadap kekisruhan-kekisruhan yang terjadi antara pengusaha dan buruh sebagai akibat belum terimplementasinya sistem jaminan sosial bagi buruh, dengan selalu mendasarkan pada kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan yang sudah ada mulai dari UU Ketenagakerjaan hingga peraturan-peraturan pelaksanaan di bawahnya.
Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com