Pada 13 Mei 2020 lalu, dilaksanakan konferensi pers secara daring melalui kanal resmi BNPB Indonesia di platform YouTube dengan tajuk Dua Bulan Gugus Tugas. Konferensi pers dihadiri Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Widodo Muktiyo, yang memberikan sejumlah pernyataan. Mulai dari kondisi masyarakat yang dikatakan sudah tenang dan paham dalam merespon pandemi, isu mudik, hingga media sosial yang kesemuanya dibungkus dalam peran Kemkominfo di soal komunikasi publik.
Namun, beberapa pernyatan dan klaim yang keluar tersebut menggerakan penulis untuk mencari kesesuaiannya. Sebab, rasa-rasanya kondisi masa pandemi saat ini sedikit banyak berbeda dengan apa yang ditangkap dan diproyeksikan oleh Pemerintah Pusat.
Berikut terhimpun sejumlah poin pernyataan dari Widodo, selaku representasi institusi Kemkominfo dalam konferensi pers, yang penting untuk dicermati dan dipertanyakan.
COVID-19: Masyarakat Mulai Paham dan Tenang
Kita akan mulai satu persatu dari dua klaim yang terlontar ini. Dimulai dari diksi paham. Hasil survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengenai wabah COVID-19 pada 9 sampai 12 April lalu menunjukkan sebagian masyarakat masih tidak yakin bahwa berada di luar rumah membahayakan. Walaupun di satu sisi, masih dari hasil survei yang sama, masyarakat memahami bahwa langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pilihan yang mampu menekan angka penyebaran virus. Akan tetapi, kebijakan imbauan tersebut cenderung dilanggar oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah karena faktor kebutuhan harian yang harus terpenuhi.
Hasil survei tersebut juga masih relevan dengan kondisi yang ada sekarang ini. Di bulan Mei, aktivitas berpergian yang terpilin dalam konsep mudik atau pulang kampung masih menjadi sesuatu yang berada di zona abu-abu. Bukan hanya disebabkan masyarakat tidak memahami secara utuh pentingnya menghentikan pergerakan manusia antar daerah, tetapi Pemerintah Pusat juga tidak pernah menegaskan posisi kebijakannya terhadap aktivitas mudik secara terang. Seperti relaksasi kebijakan social distancing pada sektor privat melalui Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 4 Tahun 2020 terkait Kriteria Pembatasan Orang dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19, yang akhirnya malah berekses pada adanya penumpukan massa di bandara (kompas.com, 14/5).
Kemudian, klaim kedua terkait ketenangan juga bukan tanpa soal. Sebabnya, ketenangan harus bisa diturunkan ke dalam tindakan aktif yang bisa menghadirkan esensi dari ketenangan itu sendiri. Ditambah lagi, hasil survei nasional SMRC yang sama juga memperlihatkan sebanyak 77 persen warga merasa terancam penghasilannya karena COVID-19.
Akan tetapi, upaya pemerintah untuk menghadirkan ketenangan atau jaminan ke masyarakat agar bisa bertahan hidup masih dihadapkan oleh banyak tantangan. Bantuan sosial (Bansos) dapat menjadi ilustrasi yang tepat dari kondisi penuh tantangan itu, dengan ragam permasalahan implementasinya. Pada diskusi daring The Indonesian Forum yang diadakan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, 14 Mei lalu, Menteri Sosial Juliari Batubara bahkan menjelaskan persimpangan jalan yang dihadapinya saat ini, yaitu diantara ketepatan atau kecepatan pemberian bantuan. Syahdan, dirinya mengatakan kecepatanlah yang dipilih oleh Kementerian Sosial dalam mendistribusikan bantuan. Tak ayal, bantuan yang tidak merata justru memunculan ketidaktenangan, dan laman Kemkominfo yang seharusnya menyuguhkan penjelasan berhenti pada peran klarifikasi pemberitaan dan amplifikasi pernyataan pemerintah saja.
COVID-19: Informasi dan Media Sosial
Widodo sempat menggarisbawahi pentingnya memanfaatkan beragam medium untuk menyebarluaskan pesan atau informasi, karena dalam konteks wabah COVID-19 Kemkominfo menjadi pihak yang menembakkan informasi dasar dari BNPB. Ada dua hal menarik yang disampaikan, pertama, bahwa akurasi menjadi poin penting untuk memunculkan kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang disiarkan. Kedua, terlepas dari pemanfaatan beragam medium, Widodo juga menunjukkan kekhawatiran pada fenomena yang ia sebut sebagai ‘tsunami informasi’: kondisi yang menghadirkan kebingungan validasi informasi bagi masyarakat.
Pertama, terkait akurasi informasi. Sudah mahfum dipahami bahwa kondisi pandemi yang terjadi hanya menyisakan ketidakpastian sebagai kepastian yang tunggal. Di antara lapisan asumsi itulah Pemerintah Pusat sewajarnya mengambil setiap opsi yang paling mungkin menghadirkan dampak terbaik bagi keselamatan warganya. Konsekuensi logisnya, transparansi dan akuntabilitas haruslah melekat pada setiap informasi yang diarahkan ke publik. Noble lie kemudian bukanlah pilihan relevan untuk memenuhi raison d’é·tat pemerintah, semisalnya dengan mengedepankan argumen ‘stabilitas nasional’ daripada memperlihatkan realita berupa ancaman infeksi virus secara gamblang kepada masyarakat.
Kondisi tersebut penting agar akurasi informasi tetap berada pada pendefinisiannya yang tepat. Jangan sampai pemaknaan akurasi disalahartikan pada taraf penyampaiannya saja, tidak pada kandungan informasi yang ada di dalamnya.
Berkelindan dengan akurasi, soal ‘tsunami informasi’ yang turut disinggung Widodo juga memiliki persoalan. Pertama, sebagai ekses dari perkembangan teknologi, derasnya informasi menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Untuk itu, peran lembaga otoritatif seperti negara menjadi vital. Namun, mendapatkan kepercayaan warga adalah pondasi dasar yang akan sulit didapatkan jika sedari awal transparansi memang tidak diterapkan pemerintah.
Kedua, pilihan informasi yang nyaris tak terbatas lalu menimbulkan banyak versi kebenaran. Di sinilah masyarakat sangat riskan untuk terjebak dan gagal mengidentifikasi mana informasi yang mengandung kebenaran. Lagi-lagi, keberadaan lembaga otoritatif yang dipercayai menjadi penting.
Namun, jika ditelusuri ke beberapa waktu di belakang, otoritas Pemerintah Indonesia sebagai rujukan informasi masih harus dipertanyakan. Sebab ia lebih sibuk meluruskan apa yang dipandang tidak benar dan mengganggu, dibandingkan dengan menyampaikan yang benar.
Rifqi Rachman,
Peneliti Bidang Politik
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research