Bantuan sosial (bansos) menjadi topik krusial pada masa pandemi saat ini. Sejak awal April lalu, Pemerintah Pusat dengan aktor-aktor lainnya telah mengemas skema perlindungan sosial ke dalam paket rencana respons penanganan Coronavirus Disease (COVID-19). Sebagian besar program yang telah ada semakin dioptimalkan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Di sisi lainnya, program-program baru diluncurkan untuk melengkapi celah yang belum tertutup, di antaranya Bantuan Sosial Tunai (BST) dan Program Sosial Sembako bagi keluarga yang tidak tercakup penerima manfaat PKH maupun BPNT.
Tak tanggung-tanggung pula, Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020 pun memuat perlindungan sosial sebagai sebuah mandat penting dalam penanganan pandemi. Anggaran Rp203,9 triliun diluncurkan untuk memitigasi risiko atau dampak-dampak sosio-ekonomi dari krisis dalam bermacam bentuk bansos. Mekanisme yang dikembangkan pada waktu krisis ini pun menekankan pada perluasan cakupan, peningkatan besaran bantuan maupun penambahan frekuensi pencairan program.
Terkait hal di atas, kita bisa menengok beberapa penyesuaian program bansos yang amat familiar. Misalnya, terdapat perluasan cakupan PKH, yang semula hanya 9,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM), kemudian ditingkatkan menjadi 10 juta KPM. Kemudian, jumlah KPM Program Sembako yang sebelumnya berkisar pada angka 15,2 juta KPM, ditingkatkan menjadi 20 juta KPM. Selain itu, terdapat program bantuan sosial non-regular yang muncul pada masa pandemi, yakni BST untuk 9 juta KPM di Indonesia yang tak tercakup pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Juga, ada program Bantuan Sosial Sembako (BSS) untuk wilayah Jabodetabek yang cukup masif diluncurkan di awal-awal pandemi.
Namun, dari sekian bansos yang ada, terdapat persoalan kronik yang sulit diselesaikan. Hal tersebut menyoal bagaimana memastikan program memang tepat sasaran kepada penerima yang berhak mendapatkan. Sebabnya, pada masa krisis, potret kerentanan dari individu maupun rumah tangga bergerak dinamis dan beberapa dari program bansos yang ada masih belum menyentuh kerentanan tersebut, terutama kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak tergolong miskin kemudian terjerat dalam risiko tersebut.
Misalnya, studi dari The Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) (2020) menunjukkan beberapa aspek kerentanan yang dialami oleh pekerja akibat krisis pandemi, terutama terkait dengan penurunan pendapatan dan kehilangan pekerjaan. Sebanyak 57 persen perempuan dan 56 persen laki-laki yang sebelumnya memiliki pekerjaan, harus kehilangan pekerjaan mereka akibat krisis. Studi lain yang dipaparkan oleh World Bank (2020) menunjukkan 30 sampai 50 persen rumah tangga mengalami perubahan pendapatan dan sulitnya akses terhadap bahan pangan.
Kemudian, catatan temuan dari J-PAL (2020) juga memotret realitas bahwa bansos tidak sepenuhnya telah diterima oleh penerima manfaat yang mengalami kerentanan. Sejak awal pandemi, hanya 59 persen perempuan dan 65 persen laki-laki yang setidak-tidaknya mendapatkan satu program bansos dari pemerintah. Catatan lain dari temuan lapangan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K (2020), baru sebanyak 54 persen rumah tangga pada kelompok 40 persen terbawah yang menerima setidaknya program bansos dari pemerintah. Dari sekian angka tersebut, masih ada sekitar sepertiga dari rumah tangga yang terganggu pendapatannya, tetapi belum tercakup ke dalam bansos dari pemerintah.
Hal menarik dari studi TNP2K di atas juga menyoroti kecukupan dari bansos di masa pandemi. Problema yang terjadi memang menyentil besaran bantuan yang belum mencukupi, cakupan yang kurang luas dan proses penyaluran yang belum tepat sasaran. Studi di atas membeberkan fakta bahwa bansos yang disalurkan pemerintah rata-rata hanya mampu menutup kebutuhan rumah tangga kisaran 1 sampai 21 persen dari total pengeluaran dengan pertimbangan perbedaan komposisi jenis bantuan yang diperoleh. Belum lagi, banyak bantuan memang disalurkan di daerah perdesaan dengan persentase 4,9 persen, dibandingkan perkotaan dengan persentase 3,11 persen (TNP2K, 2020).
Selain, isu genting lainnya adalah akurasi data penerima manfaat. Keterbatasan yang perlu diakui oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah saat ini, terutama Kementerian Sosial dan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait lainnya, adalah penentuan data penerima manfaat agar tepat sasaran. Sayangnya, masih banyak keluarga yang miskin dan rentan miskin tidak mendapatkan bansos disebabkan oleh ketidakakuratan (exclusion error) dalam sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Nahasnya, hal ini berdampak terhadap terhambatnya penyaluran bansos kepada sasaran.
Pada situasi bencana kesehatan seperti ini, tiga persoalan di atas perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah. Pertama, dengan memastikan beberapa alternatif kebijakan bantuan sosial sesuai dikembangkan untuk saling melengkapi dalam jangka pendek (responsif) dan jangka menengah (preventif dan transformatif ekonomi). Analisis besaran nilai manfaat dan total pengeluaran rumah tangga yang dapat diakses melalui Ringkasan Kebijakan: Kecukupan dan Cakupan Manfaat Bantuan Sosial pada Masa Pandemi COVID-19 oleh TNP2K (2020), bisa menjadi pijakan bahwa pemerintah harus mengoptimalkan beberapa opsi kebijakan yang ada. Bukan hanya bantuan sosial yang sifatnya responsif melalui Program Sembako dan BST/BSS, tetapi juga mencakup program padat karya yang mendorong kesempatan lebih luas untuk memulihkan ekonomi. Selain itu, program terkait lain yang dapat membantu kerentanan keluarga, terutama sektor informal yang menjalankan usaha mikro dan kecil, ialah akselerasi penyaluran Bantuan Produktif bagi UMKM.
Kemudian, poin penting yang harus didorong dalam proses penyaluran bantuan juga menyentuh akurasi penerima manfaat bansos. Pada situasi saat ini, perlu mendorong berbagai mekanisme yang memudahkan target penerima manfaat untuk mendaftarkan diri, baik melalui pendaftaran mandiri secara daring (self-demand) maupun pendekatan berbasis komunitas (community-based targeting) di tingkat RT/RW. Hal ini akan memudahkan sasaran yang mengalami kerentanan menjadi lebih terpapar dengan akses terhadap bantuan, baik informasi maupun kemudahan dalam memperoleh program tersebut. Dengan demikian, diharapkan banyak individu dan rumah tangga dapat bertahan di masa pandemi dan transisi menuju pasca-krisis yang akan datang.
Nopitri Wahyuni
Peneliti Bidang Sosial
nopitri@theindonesianinstitute.com
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)