Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah dilaksanakan sejak tahun 2007 menjadi bentuk kebijakan pemerintah pusat dalam mengentaskan kemiskinan. Secara filosofis, kebijakan nasional ini menyasar kepada perempuan sebagai korban dari kemiskinan. Perempuan dengan situasi kemiskinan akan sulit memberikan kualitas kehidupan terbaik. Meskipun PKH diberikan kepada rumah tangga sangat miskin (RTSM), namun sebenarnya program ini juga merupakan salah satu bentuk perhatian negara dalam meningkatkan taraf derajat hidup perempuan.
Pada perkembangannya hingga tahun 2023, PKH telah memberikan dampak yang cukup signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan tingkat kemiskinan melanjutkan tren penurunan menjadi 9,36 persen per bulan Maret 2023, dari sebelumnya 9,57 persen pada bulan September 2022 (BPS.go.id, 17/7/2023). Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, mengatakan angka ini telah lebih rendah dibanding angka pra pandemi per bulan Maret 2019 yang sebesar 9,41 persen, meskipun masih sedikit di atas titik terendah pra pandemi per bulan September 2019 yang sebesar 9,22 persen. Jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2023 adalah sebesar 25,90 juta orang, turun 0,46 juta orang dari bulan September 2022. Secara akumulatif, sejak bulan Maret 2021 hingga bulan Maret 2023, tercatat 1,6 juta orang yang berhasil keluar dari garis kemiskinan (Kemenkeu. go.id,18/7/2023).
Meskipun PKH memiliki dampak langsung terhadap penurunan angka kemiskinan namun hal ini bersifat sementara. Hal ini disebabkan karena penurunan angka kemiskinan pada program PKH dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti misalnya meningkatnya angka konsumsi rumah tangga. Meningkatnya konsumsi rumah tangga dapat menjadi tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Artinya, dengan peningkatan pendapatan yang diperoleh dalam rumah tangga, maka kemampuan rumah tangga untuk menggunakan barang produksi semakin tinggi.
Untuk meningkatkan kesejahteraan dan mempertahankan kestabilan ekonomi rumah tangga penerima manfaat, pemerintah dalam melaksanakan kebijakan perlu mempersiapkan skema graduasi terencana. Skema kebijakan ini dirancang sebagai bentuk modal penguatan kapasitas penerima manfaat yang diharapkan mampu mengembangkan ekonominya secara mandiri. Modal penguatan keterampilan dan kapasitas yang diperoleh melalui aktivitas padat karya perlu dilakukan bersama dengan melibatkan kolaborasi banyak pihak, termasuk dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Melalui skema graduasi terencana diharapkan agar penerima manfaat PKH tidak saja secara sukarela akan melepaskan statusnya tersebut, namun dapat memberdayakan, meningkatkan, dan mempertahankan tingkat kesejahteraannya dari peningkatan keterampilan yang diperolehnya dari PKH.
Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
dewi@theindonesianinstitute.com