Dampak Peningkatan Indeks Korupsi terhadap Perekonomian Indonesia

Indeks korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) tahun 2022 Indonesia telah dirilis oleh Transparency International (TI). Dengan menggunakan scoring 0-100, Indonesia mendapatkan skor 34. Skor tersebut 4 poin lebih kecil dibandingkan CPI tahun 2021 (detik.com, 1/2/2023). Perolehan skor indeks persepsi korupsi tersebut harus menjadi perhatian bagi pembuat kebijakan karena akan berdampak pada iklim investasi yang ada di Indonesia.

Meskipun hal ini erat kaitannya dengan dunia politik, namun perihal korupsi merupakan musuh bersama yang perlu diberantas hingga ke akar. Tingginya kasus korupsi yang tidak dapat dikendalikan, akan berbuntut pada berkurangnya investasi di Indonesia dan bahkan akan menyebabkan perginya modal asing.

Apabila disandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia mendapatkan nominasi negara terkorup ke-5. Transparency International melakukan survei indeks korupsi di 180 negara. Skor 0 menunjukkan negara yang sangat korup, dan skor 100 artinya sangat bersih dari korupsi.

Menurut laporan Trasparency International, rata-rata IPK global pada 2022 sebesar 43. Dengan demikian, indeks korupsi Indonesia lebih buruk dari rata-rata dunia. Adapun negara terkorup nomor satu di Asia Tenggara adalah Myanmar, diikuti Kamboja, Laos, dan Filipina.

Sementara Singapura menjadi negara paling minim korupsi di Asia Tenggara, dengan skor IPK 83. Skor ini juga menempatkan Singapura di peringkat ke-5 terbaik global pada 2022.

Lutfi et. al. (2020) melalui penelitiannya yang berjudul “Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Studi Kasus 4 Negara di ASEAN” menyebutkan bahwa variable korupsi mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi meskipun tidak signifikan. Memang dampak negatif dari korupsi tidak secara langsung memengaruhi pertumbuhan ekonomi, tapi lebih mengarah kepada inefisiensi proses produksi dan misalokasi sumberdana.

Selanjutnya, indeks persepsi korupsi berpengaruh positif terhadap Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi dalam negeri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnama (2022) yang berjudul “Pengaruh Indeks Persepsi Korupsi, Inflasi dan Nilai Tukar terhadap Investasi Asing Langsung di ASEAN-5”. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa indeks   persepsi   korupsi   memiliki   pengaruh signifikan terhadap FDI. Hal ini juga sejalan dengan teori bahwa semakin tinggi nilai indeks persepsi korupsi suatu negara, maka akan  meningkatkan  aliran  FDI  yang  masuk  ke  negara tersebut.Negara Singapura  yang memiliki nilai indeks persepsi korupsi  yang tinggi dan FDI yang tinggi pula. Selain itu para investor asing juga akan lebih tertarik berinvestasi di negara dengan tingkat korupsi rendah, karena akan memberikan peluang keuntungan yang besar.

Begitu pula dengan temuan Wilantari et al., (2020), Abdul et al., (2019) dan Afni (2016) yang menyatakan bahwa indeks persepsi korupsi atau CPI memiliki pengaruh positif dan signifikan  terhadap FDI. Meskipun demikian, penelitian ini bertolak belakang dengan temuan Fazira dan Cahyadin (2018) yang menyatakan bahwa CPI berpengaruh negatif terhadap FDI, dan juga penelitian Santoso (2018) bahwa CPI tidak berpengaruh terhadap masuknya FDI.

Hasil perhitungan CPI tahun 2022, perlu menjadi perhatian semua pihak untuk meningkatkan skor agar Indonesia tidak terjerembab dalam negara terkorup. Hal ini penting untuk menjaga investasi dalam negeri yang juga secara langsung berkaitan dengan ketenagakerjaan hingga produktivitas dalam negeri yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan aspek lainnya.

Presiden Joko Widodo perlu memaksimalkan kinerjanya di penghujung masa kepemimpinannya dengan berupaya menguatkan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi harus tegas dan tidak pandang bulu. Tentunya ini juga perlu menjadi perhatian khusus terutama bagi masyarakat dalam pemilihan calon pemimpin baru di pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada Februari 2024.

Kemudian, dari segi makroekonomi, Bank Indonesia perlu menjaga stabilitas neraca keuangan Indonesia berdasarkan indicator ekonomi yang berkaitan dengan investasi langsung. Begitu pula Kementerian Keuangan yang perlu mengetatkan kembali pelaporan anggaran yang telah disalurkan kepada Kementerian/Lembaga.

 

Nuri Resti Chayyani

Peneliti Bidang Ekonomi

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

nurirestic@theindonesianinstitute.com

Komentar