Beberapa waktu belakangan, istilah cancel culture ramai digunakan di media sosial. Cancel culture kerap digaungkan terhadap sejumlah tokoh publik tersandung skandal ataupun melanggar etika dan norma yang berlaku. Sebagai contoh, penulis JK Rowling pernah mengalami di-cancel oleh publik karena berkomentar terkait transphobia. Ataupun, publik figur Indonesia, Gofar Hilman yang mengaku mengalami cancel culture akibat dugaan kasus pelecehan seksual.
Pada dasarnya, tidak ada definisi yang baku untuk menjelaskan apa itu cancel culture. Namun, secara garis besar cancel culture dapat diartikan sebagai sebuah budaya di mana seseorang menarik dukungannya terhadap seorang tokoh atau perusahaan terkenal karena telah melakukan ataupun berbicara suatu hal yang dianggap kontroversial (Mills, 2022).
Meski sudah banyak contoh kasus di mana publik figur mengalami cancel culture, namun nampaknya hal ini tidak berlaku bagi para politisi ataupun partai politik di pemilu Indonesia. Sebagai contoh, pemilu tahun 1999 di mana menjadi pemilu pertama pasca reformasi, partai Golkar menjadi partai peringkat kedua pada pemilu tersebut. Walaupun tidak lagi menjadi partai pemenang, tetapi cancel culture dianggap tidak berlaku karena Golkar masih meraih 22,44 persen suara nasional atau 120 kursi di DPR RI.
Contoh lain, pada 2012 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus Aceng Hulik Munawar Fikri atau yang sering dikenal Aceng Fikri. Pada saat itu, Aceng Fikri yang merupakan Bupati Garut, menikah secara siri dengan seorang perempuan berusia 18 tahun. Ironisnya, perempuan ini diceraikan oleh Aceng Fikri setelah empat hari menikah hanya melalui pesan singkat karena dianggap sudah tidak perawan.
Akibat kasus ini, Aceng Fikri menjadi kepala daerah terpilih langsung pertama yang dimakzulkan secara paksa pada 1 Februari 2013. Mungkin pemakzulan terhadap Aceng Fikri dapat dikatakan sebagai sebuah cancel culture. Namun yang menarik perhatian adalah Aceng Fikri terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) di pemilu tahun 2014.
Cancel culture nampaknya juga tidak berlaku bagi partai politik ataupun politisi yang terkena kasus korupsi. Sebagai contoh, kasus korupsi proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, yang melibatkan petinggi partai Demokrat seperti Anas Urbaningrum dan Nazaruddin.
Dilansir dari CNN Indonesia (31/03/2016), kerugian negara akibat kasus korupsi ini mencapai Rp 706 Miliar. Meski Demikian, sampai saat ini partai Demokrat masih eksis di pemerintahan.
Selain itu, cancel culture juga nampaknya tidak berlaku pada pemilu di tingkat lokal. Penelitian dari Tri Sulistyani (2019) dengan judul “Faktor Kualitas dan Kinerja Kandidat Tersangka Korupsi Dalam Mempengaruhi Perilaku Memilih Masyarakat Pada Pilkada Kabupaten Tulungagung Tahun 2018” yang berangkat dari fakta bahwa tepat sembilan belas hari menuju hari pemungutan suara, Syahri Mulyo, calon bupati Tulungangung, dinyatakan sebagai tersangka korupsi. Namun, Syahri Mulyo tetap memenangkan pemilihan kepala daerah tersebut.
Mengapa Cancel Culture Tidak Berlaku di Pemilu Indonesia?
Penelitian dari Sulistyani (2019) menjelaskan mayoritas masyarakat Tulungagung mengetahui kasus Syahri Mulyo sebagai tersangka korupsi, yaitu sebanyak 86.50 persen. Faktanya, isu korupsi tersebut tidak mempengaruhi perilaku memilih masyarakat Tulungagung. Alasan masyarakat memilih calon kandidat dikarenakan suka dengan figur calon bupati.
Lebih lanjut, kesukaan masyarakat terhadap Syahri Mulyo disebabkan karena Ia merupakan petahana, dimana masyarakat lebih mengenal sosoknya dibandingkan dengan calon kandidat lainnya. Terpilihnya Syahri Mulyo sebagai kepala daerah Tulungagung sekali lagi membuktikan cancel culture tidak berpengaruh terhadap keterpilihan dalam pemilu.
Menurut Anduiza dan Gallego (2016) alasan mengapa masyarakat tetap memilih calon kandidat yang sudah dinyatakan sebagai tersangka korupsi adalah karena kinerja kandidat sebelumnya dinilai baik oleh masyarakat dan isu korupsi akan lebih terabaikan. Jika dikaitkan dengan kasus Syahri Mulyo di Tulungagung, penelitian dari Sulistyani (2019) menggambarkan tidak semua masyarakat kecewa dengan kasus korupsi Syahri Mulyo, yaitu hanya sebanyak 45,3 persen masyarakat yang merasa tidak kecewa atau biasa saja.
Alasan publik tidak merasa kecewa pun beragaman, yaitu sudah banyak politisi yang korupsi (43,6 persen), merupakan taktik dalam dunia politik (25,4 persen), tidak percaya Syahri Mulyo terlibat kasus korupsi (15,5 persen), kinerja sebelumnya baik (6,1 persen), dan Margiono yang merupakan kandidat lain, tidak lebih baik dari Syahri Mulyo (1,7 persen).
Penjelasan ini diperkuat oleh penelitian dari Welch & Hibbing (1997) yang berjudul The Effects of Charges of Corruption on Voting Behavior in Congressional Elections. Terdapat sejumlah alasan mengapa masyarakat tetap memilih kandidat yang sudah dinyatakan sebagai tersangka korupsi.
Pertama, pemilih menimbang dari tingkat keseriusan tuduhan korupsi tersebut, apakah memang sangat merugikan masyarakat atau tidak; kedua, pemilih melihat bagaimana kemampuan kandidat pejawat memberikan ekonomi untuk daerahnya. Jika ekonomi bagus maka kasus korupsi tidak menjadi masalah; ketiga, karena kurangnya informasi akan isu korupsi oleh pemilih; dan keempat karena pemilih percaya bahwa semua politisi melakukan korupsi.
Jelang Pemilu Tahun 2024
Melihat tidak berlakunya cancel culture di pemilu Indonesia membuat tidak adanya jaminan bahwa politisi yang terpilih di pemilu 2024 mendatang bebas dari pelanggaran, baik pelanggaran moral dan etika, korupsi, ataupun tindak pidana lainnya. Untuk itu, terdapat beberapa rekomendasi bagi beberapa pihak. Pertama, penyelenggara pemilu. Berdasarkan, Pasal 4 ayat H Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019, dijelaskan bahwa “Bukan Mantan Terpidana bandar narkoba dan bukan Mantan Terpidana kejahatan seksual terhadap anak”.
Selain itu, pada Pasal 3A ayat 3 dan 4 PKPU Nomor 18 Tahun 2019 tidak melarang eks narapidana korupsi maju di pemilihan kepala daerah (Pilkada) melainkan hanya menganjurkan agar eks narapidana korupsi tak diutamakan untuk dicalonkan. Artinya, perlu adanya perubahan terhadap PKPU terkait eks narapidana korupsi.
Kedua, untuk DPR. Jika berbicara terkait regulasi, maka perlu bagi DPR untuk merevisi pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan, “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Selain itu, DPR RI juga perlu merevisi Pasal 7 ayat 2 huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang menyatakan “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Kedua aturan ini harus direvisi dengan mengatakan bahwa setiap orang yang pernah melakukan tindak pidana dan dipenjara berdasarkan putusan pengadilan tidak boleh mencalonkan diri.
Ketiga, partai politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemilu erat kaitannya dengan partai politik. Untuk itu, partai politik perlu secara ketat melakukan proses rekrutmen, kaderasasi, dan seleksi kandidat untuk ikut serta dalam pemilu. Sehingga, kandidat yang dimajukan oleh partai politik benar-benar berkualitas, tidak cacat secara moral dan tidak pernah melakukan tindak pidana. Jangan sampai, hanya karena ingin menang dalam pemilu, maka proses ini tidak dilakukan dengan benar.
Keempat, publik. Penting bagi publik untuk mengetahui rekam jejak kandidat yang akan dipilih di pemilu. Jika publik mendapati kandidat yang tidak baik, seperti mantan narapidana korupsi, pernah melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku, pernah melakukan tindak pidana, ataupun melakukan tindakan yang melanggar aturan pemilu, maka publik dapat meng-cancel kandidat tersebut dengan cara tidak memilihnya.
Publik juga harus melihat seluruh kandidat dan bukan hanya satu kandidat saja, misalnya petahana. Sebab, mungkin saja kandidat lain sebenarnya memiliki program yang lebih baik dari petahana. Dari sini, secara garis besar publik dituntut untuk pintar dalam memilih. Sebab, masa depan daerah ataupun negara berada ditangan mereka yang memenangi pemilu.
https://www.republika.co.id/berita/r9m10q282/cancel-culture-yang-tidak-berlaku-di-pemilu-indonesia