Kata “buron” menjadi topik yang akhir-akhir ini paling banyak menghiasi halaman-halaman utama pemberitaan nasional. Entah itu yang terkait dengan dagelan dua buron koruptor, yakni Harun Masiku dan Djoko Tjandra yang sukses mengobok-obok tatanan dan kehormatan pejabat hukum di negeri ini. Ataukah terkait prestasi pemulangan seorang buron tanpa perjanjian ekstradisi, Maria Pauline Lumowa, yang belakangan baru terlihat dimunculkan setelah melalui dua rentetan peristiwa memalukan berturut-turut.
Pemberitaan lainnya, ialah terkait rencana Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) untuk mengaktifkan kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK). Sebuah tim yang dahulunya ditujukan untuk mengejar para koruptor yang kabur ke luar negeri, dan berisikan sejumlah instansi terkait, seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kejaksaan Agung (Kejagung), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Wacana ini praktis menuai polemik. Pasalnya, sejak dibentuk pada tahun 2004 tim ini diwartakan hanya berhasil menangkap empat dari 16 target yang telah ditetapkan. Belum lagi soal evaluasi kinerjanya, yang menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) belum pernah terlihat sama sekali dipublikasikan (kompas.id, 12/07).
Tidak mengherankan apabila di pertengahan tahun 2009, Gayus Lumbun yang merupakan Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di waktu itu, sempat mengusulkan pembubarannya. Selain dianggap tidak memiliki kejelasan kinerja dan tumpang tindih dengan bidang lembaga lain, tim ini juga dinilai memiliki biaya operasional yang tidak seimbang dengan nilai jumlah aset negara yang dikembalikan (Harian Kompas, 12/08/2009).
Untuk itu, tidak sedikit yang kemudian mempertanyakan maksud serta urgensi pengaktifannya hari ini. Terlebih di tengah kabar Presiden Joko Widodo yang hendak memangkas atau membubarkan beberapa komisi dan lembaga pemerintahan, demi menghemat anggaran negara (nasional.kompas.com, 15/07). Penulis sendiri, dapat dikatakan termasuk satu dari sekian yang menyatakan TPK ini tidak diperlukan kehadirannya.
Dari sisi urgensi, pengaktifannya kembali tentu tidak memiliki kemendesakan yang genting, begitu juga dari sisi efisiensi. Sebab sejauh ini, Indonesia telah memiliki sejumlah institusi yang dapat dikatakan jauh lebih dari sekadar cukup untuk diberdayakan melakukan fungsi tersebut. Munculnya instrumen-instrumen baru ditengah deretan institusi-insitusi tersebut, tidak hanya bersifat kontra produktif dan nir efisiensi. Namun juga akan mengacaukan tatanan kerja, fungsi institusi serta sistem penegakan hukum yang telah ada.
Selain itu, bukankah “pemburuan koruptor” termasuk bagian dari aksi “pemberantasan korupsi”? Penghidupan kembali TPK juga secara tidak langsung tentunya akan mendelegitimasi peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sendiri. Apalagi, bukannya Pemerintah dan DPR juga sebelumnya telah berkilah akan memperkuat peran dan fungsinya melalui perevisian Undang-Undang KPK? Kini Undang-Undang tersebut telah disahkan, dan untuk itu kerja-kerja pemburuan dan penangkapan ini seharusnya cukup diserahkan dan dikoordinasikan oleh KPK. Jika memang apa yang dijanjikan oleh Pemerintah dan DPR di awal perevisian itu demikian adanya.
Dengan begitu, fokus permasalahan yang seharusnya lebih diperhatikan oleh Pemerintah ketimbang mengaktifkan kembali TPK atau tim-tim dengan nomenklatur semacamnya, ialah memperkuat kredibilitas aparat penegak hukum, memperkuat koordinasi antar kementerian/lembaga, dan gencar melakukan diplomasi-diplomasi untuk menjalin perjanjian ekstradisi yang lebih luas.
Muhammad Aulia Y Guzasiah
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute
auliaan@theindonesianinstitute.com