Beberapa Catatan Kritis Lembaga TII terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang kini Dibahas Panja DPR

SURYA.co.id | – JAKARTA – Panja DPR untuk Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kini membahasnya dengan berbagai elemen masyarakat.

RUU ini sejak awal, proses pembuatannya sudah mengundang polemik, dari prosesnya yang dinilai tidak inklusif, tidak transparan, terburu-buru, hingga banyak ketentuan yang diatur di dalamnya dinilai mengabaikan aspek perlindungan HAM, demokrasi, penegakan hukum, dan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup.

Terkait hal ini, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (23/4/2020), menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja memiliki potensi positif untuk ekonomi, namun juga banyaknya catatan kritis yang harus dibahas sebelum RUU ini diloloskan.

RUU Cipta Kerja sendiri upaya untuk memenuhi target Pemerintah dalam meningkatkan investasi dan mendukung kemudahan berusaha di Indonesia.

Salah satu permasalahan yang menghambat investasi adalah regulasi yang gemuk dan tumpang tindih, sehingga menambah beban biaya dan mempersulit upaya pembukaan kesempatan lapangan kerja lebih luas.

Selain itu, pasar tenaga kerja yang dipersepsikan tidak terlalu fleksibel juga ikut menghambat investasi di Indonesia dan mempengaruhi daya saing Indonesia.

Dalam studi kualitatif awal TII mengenai Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini, TII mencatat data pertumbuhan ekonomi Indonesia lima tahun terakhir  5 persen per tahun.

Besaran ini memang sudah cukup untuk menempatkan Indonesia di posisi kedua kelompok negara-negara G20.

Namun, tetap ada aspirasi agar Indonesia tumbuh lebih cepat untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.

Perhitungan kasar menunjukkan bahwa untuk tumbuh dalam kisaran 5,3 sampai 5,5 persen saja diperlukan pertumbuhan investasi antara 8 sampai 9 persen.

Sementara, untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dari itu diperlukan pertumbuhan investasi di atas 10 persen (double digit).

Namun, faktanya saat ini pertumbuhan investasi dalam kurun waktu 2015-2019 tidak pernah lebih dari 7,94 persen per tahun.

Salah satu penyebab tersendatnya pertumbuhan investasi tidak bisa bergerak naik adalah indikator daya saing Indonesia.

Global Competitiveness Report/GCR 2019) besutan World Economic Forum (WEF) mencatat bahwa peringkat daya saing Indonesia menurun dari posisi 45 ke-50. Prosedur perizinan di Indonesia dinilai berbelit-belit.

Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah terobosan yang mampu mengkonfigurasi ulang hambatan-hambatan tersebut. Salah satunya melalui Undang-undang sapu jagat Omnibus Law.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja, bukan hanya mengatur tentang ketentuan investasi dan kemudahan berusaha.

Salah satu RUU Omnibus Law ini juga mengatur hal-hal lain, termasuk ketenagerjaan, lingkungan, industri pertambangan, pengelolaan wilayah pesisir dan kepulauan, Badan Usaha Milik Desa, serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

Terkait hal ini, TII menganggap bahwa RUU Cipta Kerja juga didorong untuk menciptakan perluasan kesempatan kerja dan pemberdayaan ekonomi, melalui kemudahan berusaha dan proses perijinan yang mudah, serta difasilitasi pemerintah.

Catatan TII ini sejalan dengan Pasal 2 Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang menyebutkan tentang asas penyelenggaraan jika RUU ini diloloskan nantinya, yaitu asas pemerataan hak, kepastian hukum, kemudahan berusaha, kebersamaan, serta kemandirian.

Terkait tata bangunan dan logika hukum, RUU Cipta Kerja berpotensi menghidupkan kembali pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Yakni, ketentuan presiden bisa membatalkan peraturan daerah melalui peraturan presiden.

Jelas hal ini bertentangan dengan hierarki tata peraturan perundang-undangan. Belum lagi, potensi anomali dengan prinsip Omnibus Law, karena RUU Cipta Kerja nantinya mengamanatkan ratusan peraturan teknis untuk pelaksanaanya.

Hal ini pulalah yang membuat pembahasan RUU ini masih harus dikritisi banyaknya ketentuan yang bermasalah, mengingat potensi dampak negatif yang akan ditimbulkannya.

TII menegaskan pentingya mengkritisi RUU ini mengingat aspek ekonomi juga berdampak terhadap aspek lainnya.

Selain itu, pembangunan yang berkelanjutan dan kebebasan ekonomi tidak akan dapat berjalan baik, jika tidak memperhatikan pemangku kepentingan, konteks, serta dampak di aspek lainnya.

Termasuk aspek perlindungan HAM dan hukum, demokrasi, sosial, maupun lingkungan hidup.

Harus diakui bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih memuat banyak ketentuan kontroversial dan justru ikut menghambat tujuannya.

Pasal 93 RUU Cipta Kerja, misamlnya, tidak memberi penjelasan rinci mengenai kata “berhalangan” terkait ketentuan tentang pemberian upah bagi buruh yang tidak masuk kerja karena berhalangan.

Hal ini juga berpotensi merugikan hak-hak buruh perempuan seperti yang disuarakan serikat buruh.

Di sektor lingkungan dan industri pertambangan misalnya, banyak ketentuan yang dihapus atau tidak mengatur dengan ketat mengenai aspek pemberdayaan lingkungan dan sanksi.

Hal ini  berpotensi mengabaikan AMDAL dan merusak lingkungan, serta memberi ruang luas untuk perpanjangan masa ijin pertambangan dan membiarkan pengrusakan lingkungan.

TII mendesak agar semua catatan kritis tersebut harus dipertimbangkan dan dijadikan masukan dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja kedepan.

Di tengah krisis pandemi COVID-19 dan kritik publik terhadap DPR RI yang bersikukuh untuk melanjutkan pembahasan RUU ini, para pembuat kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja tetap diproses sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Sehingga proses kebijakan yang inklusif, partisipatif, transparan, dan akuntabel, serta masukan dari berbagai pihak, menjadi hal penting untuk memastikan agar RUU Cipta Kerja dapat memenuhi kepentingan dan kebutuhan beragam pihak, bukan hanya aspek ekonomi.

https://surabaya.tribunnews.com/2020/04/23/beberapa-catatan-kritis-lembaga-tii-terkait-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-yang-kini-dibahas-panja-dpr

Komentar