Aturan Pemblokiran Mempersempit Kebebasan Pers di Ruang Digital

Pers memilki peran yang sangat penting di dalam sebuah negara. Di negara demokrasi, pers menjadi tolak ukur kebebasan bersuara demi kemajuan negara. Hal ini karena pers berperan penting dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat. Oleh karena itu, menjamin kebebasan pers sebagai salah satu elemen penting demokrasi adalah sebuah keniscayaan, termasuk Indonesia.

Bagi Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa kebebasan pers sudah diatur dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 melalui amandemen kedua dan ditambah lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Hal ini adalah bentuk dan wujud kebebasan pers juga yang menjadi komitmen reformasi demi memberikan ruang besar bagi hak setiap orang untuk berkomunikasi dan mendapat informasi.

Namun, masalah kebebasan pers hingga saat ini masih menjadi persoalan di negeri ini. Pers yang seyogyanya diberikan otoritas untuk mengakses dan memberikan informasi seluas-luasnya bagi masyarakat, kini masih mengalami beberapa kendala, seperti pembungkaman media, intimidasi pekerja pers, dan juga laporan-laporan hukum yang bertujuan untuk membungkam mulut pers.

Dalam laporannya, AJI mencatat adanya 61 kasus serangan terhadap jurnalis sepanjang 2022, dengan 97 korban dari jurnalis, pekerja media, dan 14 organisasi media. Jumlah kasus serangan terhadap jurnalis tersebut meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 43 kasus. Serangan tersebut sebagian besar berupa kekerasan fisik dan perusakan alat kerja (20 kasus), serangan digital (15 kasus), dan kekerasan verbal (10 kasus). Kemudian penyensoran (8 kasus), penangkapan dan pelaporan pidana (5 kasus), dan kekerasan berbasis gender (3 kasus) (Kompas, 17/1/2023).

Padahal, secara normatif sudah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur secara tegas mengenai ketentuan pidana dengan memberikan sanksi terhadap barang siapa yang dengan sengaja melawan hukum menghambat fungsi, tugas dan peran wartawan sesuai dengan hak dan kewajiban yang diatur oleh ketentuan perundangan. Hal ini menunjukkan bahwa secara normatif, perlindungan hukum atas jurnalis dalam menjalankan profesi sebagai bagian dari kemerdekaan pers adalah suatu keniscayaan. Namun, seperti laporan AJI diatas, hingga saat ini nyatanya masih banyak kasus-kasus di lapangan yang bertujuan untuk membungkam pers.

Lebih jauh lagi, dalam konteks ruang digital, tantangan kebebasan pers mengalami banyak perubahan dengan adanya tantangan media dalam bentuk baru, seperti doxing, flayer, peretasan situs berita, dan penyebaran data pribadi. Namun, yang juga mendapatkan perhatian secara luas adalah terkait dengan sensor/take down/ pemblokiran yang dilakukan kepada media digital.

Pembatasan akses informasi terhadap pemberitaan di Indonesia memungkinkan dilakukan oleh Kementerian Kominfo RI dengan  mengoperasikan mesin sensor konten negatif di internet. Hal ini tidak lain dan tidak bukan merupakan atribusi yang lahir dari Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), meskipun hal ini masih menyisakan perdebatan mengingat pro dan kontra terkait dengan pengaturan di dalamnya dengan rujukan terlalu luas dan tidak spesifik mengatur tentang sensor/takedown/blokir.

Oleh karena itu, ada beberapa rekomendasi hukum yang secara sepesifik dapat dilakukan, yaitu, pertama, perlunya revis UU ITE untuk memberikan ruang dan batasan yang lebih tegas terhadap definisi pemblokrian dan melindungi kebebasan mengakses internet.  Kedua, mengeliminir ruang-ruang aturan di  level aturan turunan yang berpotensi terhadap pelanggaran HAM, seperti Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Peraturan Menteri Kominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.

 

Galang Taufani

Peneliti Bidang Hukum

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

galang@theindonesianinstitute.com

Komentar