Ekonomi Indonesia dikagetkan dengan berita pembekuan sementara perdagangan (trading halt) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Berdasarkan Siaran Pers PT Bursa Efek Indonesia (BEI) (18 Maret 2025), pada hari Selasa, 18 Maret 2025, pukul 11:19:31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS) telah terjadi pembekuan sementara perdagangan (trading halt) yang dipicu penurunan IHSG mencapai 5%. Berita ini dikatakan mengejutkan lantaran trading halt IHSG terjadi di tengah kondisi pasar Asia-Pasifik yang menguat, di mana Indeks Hang Seng di Hong Kong naik 1,93% dan memimpin kenaikan indeks bursa saham di Asia (Kompas.com, 18 Maret 2025). Trading halt IHSG ini sontak memunculkan banyak spekulasi terhadap kondisi ekonomi Indonesia di tengah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru seumur jagung.
Pada waktu atau kejadian seperti apa trading halt tersebut dilakukan? Selama ini, berapa kali BEI melakukan trading halt? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui dasar dari kebijakan trading halt yang dilakukan BEI, yaitu Surat Keputusan Direksi (SKD) BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tentang Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat yang diberlakukan pada 11 Maret 2020 lalu, atau pada saat masa pandemi Covid-19. SKD BEI tersebut menjelaskan bahwa BEI dapat melakukan penghentian pelaksanaan perdagangan efek, seperti trading halt dan penghentian seluruh perdagangan (trading suspend), dalam kondisi darurat. Trading halt pun dapat menjadi trading suspend apabila BEI memutuskan pelaksanaan perdagangan tidak mungkin untuk dilanjutkan pada hari bursa yang sama.
Berdasarkan SKD BEI tadi, upaya trading halt dilakukan dalam beberapa klasifikasi kondisi darurat oleh BEI, yaitu: 1) bencana dan gangguan keamanan, sosial dan politik, 2) permasalahan teknis pada JATS atau sistem Remote Trading – kapasitas mesin perdagangan penuh, 3) permasalahan teknis pada JATS atau sistem Remote Trading – masalah pada perangkat server Remote Trading di Bursa (JONES) atau jaringan (link) Remote Trading, 4) permasalahan pada infrastruktur sosial, seperti jaringan listrik, telekomunikasi dan transportasi, 5) kepanikan pasar dalam melakukan transaksi jual dan/atau beli sehingga mengakibatkan IHSG mengalami penurunan yang sangat tajam dalam satu hari bursa yang sama. Trading halt di kondisi darurat nomor 5 dilakukan selama masing-masing 30 menit jika IHSG mengalami penurunan hingga lebih dari 5% dan IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 10%.
Jadi, sudah berapa kali BEI melakukan trading halt? Menghitung trading halt yang terjadi pada hari Selasa, 18 Maret 2025, sudah terjadi lima kali trading halt sejak SKD BEI tersebut diberlakukan, yaitu: 1) Kamis, 12 Maret 2020, pukul 15:33 JATS, 2) Jumat, 13 Maret 2020 pukul 09:15 JATS, 3) Selasa, 17 Maret 2020, pukul 15:02 JATS, 4) Kamis, 19 Maret 2020, pukul 09:37 JATS, dan 5) Selasa, 18 Maret 2025, pukul 11:19 JATS (Kompas.com, 18 Maret 2025). Trading halt pada hari Selasa, 18 Maret 2025 pun dilakukan selama 30 menit mengingat penurunan IHSG mencapai 5% merujuk pada kondisi darurat kepanikan pasar dalam melakukan transaksi jual dan/atau beli.
Faktor yang Memengaruhi Trading Halt
Bisa dikatakan bahwa trading halt adalah ‘pil pahit’ yang harus ditelan Indonesia di pemerintahan saat ini. Trading halt IHSG pun terjadi bukan tanpa alasan, seperti pepatah “tidak ada asap kalau tidak ada api”. Jika alasan diberlakukannya trading halt karena didorong kepanikan pasar, hal ini adalah lumrah jika kita merujuk pada teori ekspektasi rasional. Teori ekspektasi rasional menyatakan bahwa individu membuat suatu keputusan berdasarkan ketersediaan informasi terbaik dan belajar dari tren pengalaman masa lalu, yang mana kejadian saat ini bergantung pada ekspektasi kondisi masa depan dan juga sebaliknya, apa yang terjadi di masa depan tergantung dari kondisi saat ini (corporatefinanceinstitute.com, akses 21 Maret 2025).
Kepanikan pasar yang terjadi juga merupakan kombinasi dari banyak faktor, termasuk faktor ekonomi domestik dan faktor ekonomi global. Jika kita melihat faktor ekonomi domestik didasari teori ekspektasi rasional, kepanikan investor untuk menjual saham-saham mereka mungkin didorong oleh kebijakan ekonomi ‘kontroversial’ yang tidak transparan, terburu-buru seperti anekdot Roro Jonggrang, dan tidak didasari data yang mendukung. Cap ‘kontroversial’ sendiri merupakan sebuah hasil dari proses pengambilan keputusan berdasarkan ketersediaan informasi dan tren masa lalu.
Belum lagi dalam proses pengimplementasiannya yang masih memperlihatkan ketidakprofesionalan, ketidakjujuran, ditambah buruknya komunikasi, yang sekali lagi, tidak didasari fakta data. Misalnya, dilansir dari antaranews.com (18 Maret 2025), Presiden Prabowo menyebut saham sebagai bentuk perjudian yang akhirnya memicu reaksi negatif dari pasar saham. Pernyataan pemimpin negara tadi adalah ketersediaan informasi yang mendorong investor memilih keputusan rasional, yaitu mengeluarkan dana mereka dari pasar saham Indonesia. Padahal, komunikasi yang efektif, transparan, bertanggung jawab, dan kebijakan yang konsisten sangat penting untuk menjaga kepercayaan dan optimisme ekspektasi baik antara dunia usaha, konsumen, maupun investor, yang mana informasi dan spekulasi yang tidak benar berpotensi mendistorsi ekspektasi perekonomian, sehingga menyebabkan volatilitas pasar (Adijaya, Februari 2025).
Lalu bagaimana jika faktor ekonomi global yang mendasari kepanikan pasar? Jika iya, berdasarkan ekspektasi rasional, terjadinya trading halt akibat capital outflow dari pasar saham Indonesia ke pasar saham luar negeri didorong oleh ketersediaan informasi bahwa kondisi fundamental dan tren-tren pasar luar negeri lebih atraktif dan memberikan keuntungan lebih besar bagi para investor. Mengapa pasar saham di luar negeri lebih menarik? Hal ini sekali lagi didukung oleh banyak faktor, seperti kondisi ekonomi dan politik yang lebih stabil, diversifikasi produk yang lebih unik dan beragam dengan imbal hasil yang tinggi, dan juga peringkat investasi yang baik dan rendah risiko.
Apa Yang Kita Bisa Pelajari dari Trading Halt IHSG dan Bagaimana Upaya Pemerintah ke Depan?
Pertama, trading halt IHSG mengajarkan kita bahwa investor, dari kacamata ekspektasi rasional, adalah individu yang memiliki proses pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang ada dan tren masa lalu. Mengelola ekspektasi yang optimis atau “terang” adalah hal yang sangat sulit terutama dalam struktur perekonomian Indonesia yang beragam, dinamis, dengan fundamental ekonomi yang masih berkembang. Oleh karena itu, seluruh elemen pemerintah/kementerian/lembaga harus dapat mengomunikasikan informasi kepada seluruh pihak, termasuk investor dan calon investor, secara efektif, transparan, bertanggung jawab, serta berdasarkan data dan fakta karena hal tersebut dapat memengaruhi keputusan rakyat, yang merupakan pemegang kedaulatan tertinggi di suatu negara, untuk memercayai atau tidak memercayai pemerintahan yang ada.
Kedua, otoritas/lembaga dari semua lini ekonomi, seperti Otoritas Jasa Keuangan untuk sektor intermediasi, Bursa Efek Indonesia untuk sektor pasar modal, Bank Indonesia untuk sektor kebijakan moneter, Kementerian Keuangan untuk sektor kebijakan fiskal, dan lain-lain harus terus memperbaiki kualitas institusi dan bekerja sama dalam mendorong struktur ekonomi dan keuangan yang lebih kuat, stabil, dan atraktif guna meningkatkan investor domestik sebagai penopang ekonomi Indonesia. Hal ini penting agar pondasi ekonomi Indonesia menjadi lebih kukuh dan lebih resilient ketika menghadapi “shock” atau peristiwa yang tidak terduga seperti peristiwa yang dipaparkan sebelumnya.
Putu Rusta Adijaya
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
putu@theindonesianinstitute.com