Ancaman Kemerdekaan Berpendapat di Ruang Digital

Kemerdekaan Republik Indonesia yang telah menginjak usia 77 Tahun pada tahun ini ternyata masih belum mampu untuk mengatasi pelbagai persoalan hukum di negara ini. Meskipun kita telah mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka dan terbebas dari imperialisme sejak tahun 1945, namun ternyata masih terdapat bentuk penindasan lain seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Keamanan masyarakat di ruang digital masih terancam oleh pelbagai bentuk serangan siber ketika menyampaikan pendapatnya, hingga ancaman pemenjaraan melalui pasal multitafsir yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Kasus intimidasi melalui serangan siber baru-baru ini dialami para penolak kebijakan pemblokiran penyelenggara sistem elektronik (PSE) oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Terdapat sepuluh orang yang mengalami serangan siber seperti doxing dan robo-call karena secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap kebijakan Kominfo yang dinilai dapat mempersempit ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang digital (bandungbergerak.id, 3/8/2022). Masih terjadinya serangan siber terhadap warga negara merupakan bukti bahwa keberadaan beberapa produk hukum digital saat ini belum mampu untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi para penggunanya.

Selain terancam menjadi korban serangan siber, masyarakat juga dibayangi menjadi korban kriminalisasi akibat pendapat yang disampaikannya di ruang digital dengan menggunakan pasal-pasal multitafsir di UU ITE. Undang-undang a quo merupakan salah satu produk hukum dilematis yang pada tahap implementasi seringkali menjauh dari tujuan awal pembentukannya. Seharusnya, UU ITE dapat menjadi payung hukum utama untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat yang melakukan pelbagai aktivitas—seperti bersosialisasi dan transaksi ekonomi—di ruang digital.

Merujuk pada laporan terbaru The Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sepanjang tahun 2021, terdapat 38 orang yang menjadi korban kriminalisasi UU ITE. Angka tersebut jauh berkurang dibanding tahun 2020, di mana jumlah korbannya mencapai 84 orang sekaligus menjadi yang terbanyak dalam lima tahun terakhir. Kendati korbannya berkurang, SAFEnet menemukan bahwa warga yang dituntut dengan UU ITE pada tahun 2021 paling banyak berasal dari kalangan aktivis yang menyuarakan isu hak asasi manusia (HAM), yakni mencapai 10 orang atau 26,3% dari total korban (katadata.co.id, 29/3/2022).

Agar dapat menciptakan ruang digital yang mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi penggunanya, maka terdapat beberapa hal yang perlu untuk dilakukan. Pertama, Kepolisian sebagai aparat penegak hukum perlu untuk melakukan penindakan terhadap serangan siber terhadap masyarakat yang bersikap kritis terhadap pelbagai kebijakan pemerintah. Mekanisme perlindungan di ruang digital seharusnya tidak menggunakan virtual police dengan memberikan peringatan secara langsung kepada pengguna yang dianggap melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, pihak Kepolisian seharusnya melakukan upaya penindakan terhadap pelaku yang terbukti melakukan serangan siber.

Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama dengan Presiden selaku pembentuk undang-undang harus segera melakukan perubahan kedua terhadap UU ITE. Pasal-pasal multitafsir dalam undang-undang a quo harus dihapus untuk memastikan tidak ada lagi individu yang dipidana karena pendapat yang disampaikannya di ruang digital.

 

Hemi Lavour Febrinandez

Peneliti Bidang Hukum

hemi@theindonesianinstitute.com

Komentar