TEMPO.CO, Jakarta -Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi hari ini memasuki babak baru. Lima anggota Dewan Pengawas lembaga tersebut resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
“Bahwa saya dalam menjalankan tugas jabatan akan menjunjung tinggi etika jabatan, bekerja dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab,” demikian petikan sumpah ulang dibacakan mereka di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 27 Januari 2021.
Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6/P Tahun 2021 tentang Pengangkatan Keanggotaan Dewas LPI, lima orang tersebut antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai ketua merangkap anggota; Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir sebagai anggota; Darwin Cyril Noerhadi sebagai anggota untuk masa jabatan tahun 2021-2026; Yozua Makes sebagai anggota untuk masa jabatan tahun 2021-2025; dan Haryanto Sahari sebagai anggota untuk masa jabatan tahun 2021-2026.
Pasca pelantikan tersebut, sejumlah pekerjaan rumah telah menanti Dewan Pengawas LPI. Misalnya saja, mereka mesti melakukan seleksi dan pengangkatan Dewan Direktur yang bertanggung jawab dalam melaksanakan operasionalisasi lembaga tersebut.
Dewan Pengawas juga bertugas untuk menyusun pengaturan dasar-dasar pengelolaan LPI, sebagai landasan bagi kegiatan operasional lembaga pengelola dana abadi tersebut. “Diharapkan seluruh organ kelengkapan LPI dapat segera terbentuk dan dapat mulai beroperasi pada Triwulan I Tahun 2021,” ujar anggota tim operasionalisasi Lembaga Pengelola Investasi Masyita Crystallin dalam keterangan tertulis, Rabu, 27 Januari 2021.
Menteri Keuangan sekaligus Ketua Dewan Pengawas LPI Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan proses seleksi Dewan Direktur sedang berjalan. “Ditargetkan segera selesai karena Presiden ingin melihat LPI bisa segera berjalan,” katanya.
Jokowi memimpikan LPI bisa meraup dana jumbo untuk pembangunan investasi. Dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat, 15 Januari 2021, Jokowi mengatakan telah memperoleh informasi dari Sri Mulyani soal target investasi via Lembaga Pengelola Investasi dalam satu hingga dua bulan ini, yaitu mencapai USD 20 miliar atau Rp 281,1 triliun.
“Saya bisik-bisik ke Menkeu (Menteri Keuangan) awal-awal ini, 1-2 bulan target yang masuk ke SWF berapa, dijawab Bu Menkeu kira-kira USD 20 miliar USD. Duit yang gede banget,” ujar Jokowi. SWF Indonesia akan mulai beroperasi pada awal tahun ini.
SWF digadang-gadang menjadi salah satu kerangka untuk pemulihan ekonomi Indonesia pasca-pandemi Covid-19. Kehadiran LPI juga diharapkan pemerintah bisa menjadi alternatif instrumen untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan. Mengingat, total kebutuhan investasi untuk infrastruktur berdasarkan estimasi RPJMN bisa mencapai Rp 6.445 triliun.
Sri Mulyani mengatakan karakteristik pembiayaan, khususnya infrastruktur adalah padat modal. Di samping itu, cost of fundnya sangat tinggi dan tenornya panjang. Di sisi lain, investasi asing langsung ke Indonesia tidak naik signifikan saat kebutuhan meningkat.
“Kalau ingin terus meningkatkan dengan hanya bersandar kepada instrumen utang, kita akan mengalami kondisi leverage yang semakin tinggi,” ujar Sri Mulyani. “Kapasitas pembiayaan APBN maupun BUMN saat ini terlihat dalam neraca, terutama BUMN, adalah sudah cukup tinggi exposure dari leveragenya.”
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan akan ada dua jenis pendanaan atau fund dalam Sovereign Wealth Fund yang dibentuk pemerintah atau dikenal dengan Lembaga Pengelola Investasi.
Dua jenis fund itu antara lain master fund dan thematic fund yang dibagi sesuai bidang. “Harapannya bisa menarik SWF-SWF dari negara lain,” ujar Airlangga dalam webinar, Selasa, 26 Januari 2021.
Berdasarkan bahan paparannya, sejak pertengahan tahun pemerintah telah bertemu dengan lebih dari 50 investor global. Beberapa telah mengirimkan surat ketertarikan atau letter of interest dan komitmen.
Dari bahan paparan tersebut termaktub bahwa sejumlah lembaga SWF yang berminat masuk ke program master fund LPI antara lain United States International Development Finance Corporation (DFC) yang telah mengirim LoI hingga USD 2 miliar. Selain itu, ada Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation yang berpotensi berinvestasi hingga USD 4 miliar, serta Abu Dhabi Investment Authorithy.
Adapun lembaga SWF yang berminat masuk di program thematic fund proyek jalan tol, LPI telah mendapat letter of interest dari CDPQ Kanada dengan komitmen informal hingga USD 2 miliar, APG Belanda dengan potensi investasi hingga USD1,5 miliar, dan GIC Singapura. Selain itu ada pula Macquarie yang menawarkan sebagai pengelola dana dengan potensi kontribusi USD 300 juta.
“Presiden menargetkan bisa dihimpun dana awal sebesar USD 20 miliar,” ujar Airlangga. Ia mengatakan untuk modal awal LPI akan mengantongi Rp 75 triliun. Untuk saat ini pemerintah telah menyetor Rp 15 triliun, dan sisanya akan dipenuhi melalui inbreng saham BUMN.
Anggota Komisi Keuangan DPR Melchias Marcus Mekeng mengatakan LPI pada dasarnya adalah lembaga yang sangat berguna. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah bisa memastikan LPI tidak justru membebani keuangan negara. Pasalnya, salah satu modal LPI berasal dari dana pemerintah.
“Sementara APBN kita dalam keadaan tidak surplus,” ujar dia. Saat ini, kata dia, APBN Indonesia masih ditopang oleh pajak dan utang. Kondisi ini berbeda dengan lembaga dana abadi sejumlah negara yang sumber dananya berasal dari surplus anggaran pemerintah.
Di sisi lain, proyek yang akan dibiayai LPI nantinya adalah proyek infrastruktur yang memiliki jangka panjang. Sehingga keuntungan dari tersebut pun diprediksi butuh waktu lama. “Ini siapa yang bertanggung jawab? Karena BUMN kita kan sekarang sudah tidak bisa bernafas untuk membangun. Jangan sampai LPI mengalami yang sama,” kata Mekeng.
Adapun ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan SWF berpeluang dijadikan sebagai kendaraan untuk menerbitkan utang baru dengan jaminan aset negara plus aset BUMN. Hal tersebut tersurat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2020 bahwa lembaga tersebut dapat memberikan dan menerima pinjaman.
“Jika model yang dipilih lebih dominan debt vehicle maka akan ada skenario beban utang pemerintah dan BUMN pindah buku ke LPI ini. Hanya geser aja, investor beli SBN dengan adanya LPI jadi beli surat utangnya LPI,” tutur Bhima.
SWF pun, kata Bhima, kurang pas untuk menarik investasi langsung karena berhadapan dengan tantangan utama yang belum bisa diselesaikan, yaitu mengenai return of investment. Pasalnya proyek infrastruktur terkenal dengan keuntungan yang kecil dan risiko tinggi. Sehingga, skema penyertaan modal seperti joint venture dinilai sulit dari sisi daya tarik imbal hasil.
Tantangan lain yang perlu diantisipasi Bhima adalah perkara tata kelola dan risiko moral hazard. Ia mengatakan kasus korupsi dana abadi Malaysia, 1Malaysia Development Berhad mesti menjadi pelajaran penting dalam pengelolaan SWF ke depannya.
Untuk itu, ke depannya, ia meminta pemerintah memperjelas skema penyertaan modal dibanding model pembiayaan utang. Kalau perlu, tutur dia, ada porsi jelas berapa dominasi target equity joint venture dibanding utang.
Hambatan investasi utama seperti pembebasan lahan, birokrasi, insentif perpajakan tetap perlu dibenahi secara paralel. “Kemudian proyek mana yang mau dibiayai lewat joint venture dan ROI-nya juga perlu diperjelas ke publik,” tutur dia.
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute (TII), Aulia Guzasiah, mengatakan pemerintah perlu berhati-hati betul terhadap realisasi rencana pemberian modal yang dianggarkan untuk menyokong Lembaga Pengelola Investasi, yakni sebesar Rp 75 triliun. Khususnya terkait pemilihan kandidat yang nantinya dipilih untuk menjadi pimpinan lembaga tersebut, dan pengelolaan modal awalnya yang tentunya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
“Jangan dilupa, pejabat Indonesia selalu berada dalam situasi “de javu” saat mengelola anggaran negara yang begitu besar. Terkuaknya sejumlah kasus mega korupsi beberapa tahun belakangan, seperti kasus Bank Century, proyek Hambalang, e-KPT, Jiwasraya, dan terakhir dana bansos, sekiranya telah menjadi “trademark” tersendiri dalam membuktikan preseden buruk itu,” ungkapnya dalam siaran pers yang diterima Tempo, Rabu.
Apalagi jika memperhatikan praktik dari realisasi rencana serupa yang sebelumnya pernah diimplementasikan Malaysia, yakni skandal 1MDB atau 1Malaysia Development Berhad. Untuk itu, sekiranya perlu kalkulasi yang matang dan persiapan yang purna agar rencana ini tidak berbalik menjadi petaka bagi perekonomian dan iklim investasi di Indonesia.
Menurunya pengelolaan modal Lembaga Pengelola Investasi perlu dilakukan setransparan mungkin, dan pemilihan kandidasi direksinya harus seselektif mungkin dalam menghindari konflik kepentingan. “Larangan tidak boleh menjadi pengurus atau anggota partai politik, tentu tidak cukup. Namun, yang bersangkutan juga perlu dipastikan tidak terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan yang masuk atau dekat dengan relasi kekuasaan.”
https://fokus.tempo.co/read/1427176/agar-mimpi-dana-jumbo-lembaga-pengelola-investasi-tak-berubah-jadi-petaka?page_num=3