Foto TII.

The Indonesian Forum Seri 35 “Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Isu Ketenagakerjaan”

Fokus Diskusi  : 

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah berlangsung sejak akhir tahun ini bermaksud untuk mentransformasi kawasan ASEAN menjadi satu pasar dan basis produksi. Dengan karakteristik utama terdapat kemudahan berpindah bagi tenaga kerja terdidik (ASEAN, 2008 dalam Sugiyarto dan Agunias 2014). Buat pekerja terdidik pasar bersama ini menjadi peluang yang menarik. Namun, bagaimana bagi pekerja yang tidak terdidik?

Mengacu pada data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) terdapat sejumlah 144 juta angkatan kerja di Republik ini, dimana sekitar 90 persen dari angkatan kerja tersebut tidak sampai pendidikan tinggi. Dari 90 persen hanya 20 persen lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan sebagian besar hanya mengenyam Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Pertama. Data ini konsisten dengan permasalahan kualitas pekerja kita.

Perdana (2014) mempermasalahkan kesenjangan keterampilan bukan saja soal lamanya seorang pekerja menempuh pendidikan formal. Banyak pekerja yang masih terkendala kurangnya soft skill maupun keterampilan adaptasi mengoperasikan teknologi baru. Sementara itu, Sugiyarto dan Aguinas (2014) memaparkan visi pendiri ASEAN tentang pergerakan tenaga kerja memang berbeda dari praktek kawasan lain, seperti Eropa maupun Caribbean Community (CARICOM).

Uni Eropa lebih mengedepankan pada kebebasan bergerak (free flow) yang artinya membuka kesempatan seluas-luasnya bagi warga Eropa untuk bergerak, tinggal hingga mencari pekerjaan tanpa melihat keahlian yang dimiliki. Juga berbeda dari kawasan lain di Karibia, dimana otoritas lima belas negara di kawasan tersebut memberikan kebebasan visa bagi kalangan terdidik. ASEAN lebih mengutamakan fasilitasi pergerakan yang lebih bebas (“freer” flow) melalui implementasi 2 kebijakan: pertama, Mutual Recognition Agreement (MRAs) di masing-masing negara dan kedua kerangka kerja kualifikasi ASEAN (ASEAN Qualification Framework).

Dengan demikian, ASEAN lebih realitis ketimbang Uni Eropa namun kurang ambisius dibandingkan CARICOM. Hal ini dapat dipahami perkembangan ASEAN dari perjanjian politik kawasan yang mendorong stabilitas kawasan, kemudian berkembang menuju satu pasar bersama berbeda dari Uni Eropa yang bergerak dari Masyarakat Ekonomi Eropa menjadi Kesatuan politik dalam bentuk Federasi Eropa.

Tantangan bagi kawasan juga Indonesia diantaranya: pertama, dari sisi migrasi intra-ASEAN didominasi oleh pekerja-pekerja tidak terdidik sekitar 87 persen dari total migrasi orang sekawasan. Selain pekerja yang tidak terdidik tadi, terkonsentrasi hanya pada beberapa koridor diantaranya 5 koridor utama: Myanmar ke Thailand, Indonesia ke Malaysia, Malaysia ke Singapura, Laos ke Thailand, dan Kamboja ke Thailand (MPI, 2014).

Kedua, perkembangan yang mendorong mobilitas pekerja terdidik lambat dan tidak seimbang karena sulitnya mengadaptasi kebijakan domestik, serta aturan-aturan bagi provisi MRAs, termasuk didalamnya kurangnya dukungan politik dan juga dukungan publik terhadap MRAs maupun kerangka kerja kualifikasi ASEAN.

Kemenaker berupaya mempersiapkan kompetensi pekerja melalui Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) maupun Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Selain itu, Kemenaker juga mempersiapkan balai latihan kerja guna mempersiapkan pekerja Indonesia terutama mereka yang memiliki kesulitan akses terhadap pengembangan diri.

Selain dua tantangan diatas, kita masih menemui keengganan pengusaha memperluas bisnis mereka, utamanya mengembangkan merek lokalmenuju regional brand. Yang artinya pengusaha berekspansi bisnis ke negara-negara di kawasan ASEAN. Hal ini diutarakan oleh Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani seperti dikutip Jakarta Post (Kamis, 14 Januari 2016).

Di sisi publik, survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan hanya 25 persen yang mengetahui dan memahami MEA dengan kurang dari 18 persen yang memahami MEA artinya peluang bagi mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan di kawasan.

Berkaca dari persoalan-persoalan diatas, The Indonesia Institute dan SuaraKebebasan.org mengadakan The Indonesian Forum pertama di tahun 2016 mengangkat tema “Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Isu Ketenagakerjaan”.

 

Pengantar diskusi oleh

  1. Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan RI)
  1. Ninasapti Triaswati (Board The Indonesian Institute dan Ekonom Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia)
  1. Muhamad Ikhsan (Redaktur Pelaksana SuaraKebebasan.org)

 

Moderator: Arfianto Purbolaksono (Peneliti The Indonesian Institute)

Salam,

Raja Juli Antoni, Ph.D   

Direktur Eksekutif

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

THE INDONESIAN FORUM_Rangkuman Diskusi_Seri 35_MEA dan Isu Ketenaga kerjaan

TOR The Indonesian Forum Seri 35_The Indonesian Institute

Komentar