Hari, tanggal : Selasa, 17 Juli 2018
Waktu : 14.00 s/d 16.00 WIB
Tempat : Kantor The Indonesian Institute (TII) Jl. HOS Cokroaminoto No.92 Jakarta Pusat,
DKI Jakarta, 10310 (sebelah kiri Dunkin Donut Menteng)
Fokus Diskusi : Evaluasi Inklusi Politik dalam Pilkada 2018
27 Juni kemarin, kita telah menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018 secara damai dan kondusif. Namun, lancarnya proses jalannya Pilkada Serentak 2018 kemarin, bukan berarti tidak meninggalkan beberapa catatan. Guna memastikan penyelenggaraan Pilkada 2018 sesuai dengan arah jalannya demokratisasi yang kita inginkan, The Indonesian Institute (TII) melakukan kajian kebijakan terkait Pilkada 2018 kemarin.
Oleh karena itu, salah satu hal penting yang dikerjaan oleh TII ialah menilai seberapa jauh inklusi politik bekerja dalam Pilkada 2018. Inklusi politik yang dimaksud di sini ialah seberapa luas Pilkada 2018 dapat diakses oleh semua pihak. Mulai dari segi aspek, latar belakang pekerjaan, kelompok minoritas dan kelompok rentan lainnya dalam mencalonkan dirinya sebagai aktor yang akan dipilih. Selain memandang dari sisi kelompok rentan, inklusi politik juga akan melihat tren konfigurasi aktor yang berlaga di dalam Pilkada 2018. Dari hasil penelitian TII, inklusivitas politik masih belum bekerja secara maksimal dalam Pilkada 2018.
Bahan Diskusi:
- Apa saja yang telah diupayakan oleh KPU agar inklusivitas dapat bekerja secara optimal dalam penyelenggaraan Pilkada 2018?
- Apa yang menyebabkan perempuan tidak banyak berkiprah menjadi peserta Pilkada 2018?
- Bagaimana padangan dari KPU atas fenomena calon tunggal?
- Apa yang dilakukan oleh KPU untuk menjamin kelompok minoritas dan marginal mendapatkan hak pilik dan dipilih?
- Rencana strategis apa yang disusun oleh KPU untuk perbaikan pemilihan umum selanjutnya pasca Pilkada 2018?
Pengantar diskusi oleh:
- Heppy Sebayang, Ketua 1 PPUA Penca
- Djayadi Hanan, Ph.D., Direktur Eksekutif SMRC
- Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik TII
- Yossa Nainggolan, Manajer Riset dan Progam TII
Moderator :
Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D. , Direktur Eksekutif The Indonesian Institute
Demikian disampaikan. Sampai jumpa di Diskusi TIF.
Pada akhir acara, akan dibagikan rangkuman hasil diskusi.
Salam,
Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D.
Direktur Eksekutif TII
Rangkuman The Indonesian Forum Seri ke 46
TEMA : Inkulusi Politik: Evaluasi Pilkada 2018 dan Prospek Pemilu 2019
Pemateri :
- Heppy Sebayang, SH., Ketua I PPUA Penca
- Djayadi Hanan, Ph.D., Direktur Eksekutif SMRC
- Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik TII
- Yossa Nainggolan, Manajer Riset dan Program TII
Moderator : Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D., Direktur Eksekutif The Indonesian Institute
Partisipan : acara dihadiri oleh 53 peserta yang terdiri dari media, lembaga riset, asosiasi, dan akademisi
Pembukaan dari moderator tentang TIF dan beberapa kegiatan yang dilakukan TII seperti Update Indonesia, Kajian Kebijakan, dan Kajian Akhir tahun. Moderator juga menyampaikan beberapa aspek yang menjadi fokus Kajian Kebijakan TII, yaitu politik, ekonomi, dan sosial. Moderator kemudian mempersilahkan para pembicara dan penanggap dalam diskusi TIF 46 kali ini.
PEMBAHASAN
Fadel
Karena keterbatasan yang ada, dipilih 7 provinsi dai 17 provinsi sebagai sampel penelitian. Penelitian dilakukan dengan lit. review. Pilkada 2017 menunjukkan bahwa pengusaha mendominasi sebagai kandidat. Di pilkada 2018, persentase pengusaha nyatanya masih mendominasi. Tren petahana di pilkada 2018 meningkat sebagai tanggung jawab untuk memenangkan pilkada di daerah tersebut karena memiliki tingkat popularitas yang tinggi dan sumber daya yang lebih memadai.
Hal lain yang coba diungkapkan adalah terkait calon tunggal. Tren adanya calon tunggal meningkat, yaitu sebesar 9.36 persen di tahun 2018. Meningkatnya calon tunggal di Pilkada 2018 menandai adaya peraturan yang menghambat muculnya calon independen.
Partisipasi perempuan secara umum mengalami peningkatan. Namun, di level provinsi, partisipasi perempuan cenderung mengalami penurunan. Hasil medmon 5 media online nasional, menunjukkan bahwa isu ekonomi merupakan isu yang paling sering dibahas oleh para kandidat. Setelah itu, ada pendidikan yang menempati urutan kedua. Namun, isu seperti disabilitas dan perempuan masih menjadi isu minor dalam pilkada 2018.
Yossa
Terkait kelompok disabilitas dan marginal yang akan disoroti adalah dalam hal patisipasi di pemilu. Sebanyak 400 penyandang disabilitas di Bekasi tidak dapat memilih karena ketiadaan e-KTP dan tidak ada kecakapan hukum. Alasan ini tidak dapat diterima karena penyandang disabilitas memiliki beberapa tahap/level. Level ini harusnya bisa menjadi pertimbangan dalam memutuskan apakah seseorang bisa memilih/tidak. Penyandang disabilitas juga dinilai tidak dapat dipilih sebagai kandidat.
Masalah lain adalah terkait pemahaman klasifikasi penyandang disabilitas. Masalah ini juga diperparah denga jumlah penyandang disabilitas yang dapat memilih dibandingkan dengan jumlah total penyandang disabilitas.
Kelompok minoritas lain adalah masyarakat adat, minoritas agama dan keyakinan. Aturan adat menyatakan bahwa penduduk di sana tidak diperbolehkan membuka penutup kepala. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi persyaratan foto e-KTP dan berujung pada mereka tidak dapat berpartisipas dalam pemilu. Terkait masalah agama juga menjadi masalah, karena dalam kolom e-KTP ada informasi mengenai agama.
Beberapa kesimpulan dari sesi ini: Inklusi politik belum bekerja secara optimal, masih ada kelompok penyandang disabilitas yang gagal menjadi peserta pemilu, demokrasi masih berbiaya tinggi dengan dominasi pengusaha sebagai kandidat, semakin mapan rezim calon tunggal, semakin tidak sehat demokrasi di Indonesia.
Djayadi
Masukan dalam PolAss: apa itu inklusi politik yang dimaksud dalam PolAss dengan indikator-indikator yang jelas. Mengapa faktor seperti petahana dan jenis kandidat seperti pengusaha harus dijelaskan mengapa masuk dalam inklusi politik. Terkait metodologi, harus ditegaskan dengan regulasi, administrasi termasuk penyelenggara, termasuk pelaksanaan di lapangan.
Terkait dominannya pengusaha, satu hal yang mengakibatkan hal ini karena yang paling mudah untuk mencalonkan diri adalah pengusaha (tidak terikat aturan harus mundur dari jabatan tertentu ketika mencalonkan diri). Harusnya, calon anggota dari DPR tidak harus mudur ketika mencalonkan sebagai kandidat di pemilukada (karena tidak pindah jalur). Harus ada perbaikan peraturan terkait hal ini.
Petahana banyak maju tidak ada hubungannya dengan inklusi politik. Inklusi politik terjadi ketika dominan petahana berdampak pada pencalonan non-petahana. Terkait calon tunggal, tidak selalu melawan kotak kosong. Selain itu, adanya calon tunggal disinyalir juga adanya pengetatan aturan dan permainan parpol untuk mengusung calon tunggal. Selain masalah aturan, adanya kalkulasi parpol juga menjadikan munculnya calon tunggal. Hal yang belum jalan adalah pemikiran bahwa pilkada hanya persoalan menang kalah. Pilkada 2017 tidak begitu jelas mengapa memasukkan Pilkada DKI Jakarta 2017.
Pilkada 2018 harus memasukkan tingkat pengetahuan masyarakat. Harus dilakukan cek apakah tingkat pengetahuan pada kelompok rentan itu sudah baik.
Secara umum, ada penguatan oposisi di beberapa daerah, yaitu di Jawa Barat, sedikit di Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat, sampai April 2018 Prabowo kalah dari Jokowi. Juni 2018 Prabowo menang di Jawa Barat. Di Jawa Tengah juga terjadi hal yang sama dengan indikator jumlah suara Sudirman Said. Namun, kandidat yang berafiliasi dengan Jokowi cenderung mengalami kemenangan.
Terkait politik identitas di 2018 tidak akan terlalu menonjol. Identitas merupakan suatu yang laten di Indonesia. Laten akan muncul jika ada di suasana yang kompetitif (umumnya jika tidak ada petahana) dan polarisasi yang tajam. Polarisasi terjadi jika ada 2 identitas yang saling berhadapan (ex: muslim-non muslim), polarisasi pendukung/parpl pengusung. Factor-faktor ini lah yang menjadikan isu politik identitas tidak muncul.
3 faktor yang akan berjalan untuk pemenangan di Pemilu 2019, yaitu: factor mesin partai dan simbol partai, factor kekuatan kandidat di dapil, dan factor EEJ (siapa presiden dan wapres yang dicalonkan akan berpengaruh terhadap suara di dapil).
Heppy
Beberapa catatan terkait pilkada 2018 terkait regulasi kepemiluan. Persyaratan tentang berumur 17 tahunn, menikah, dan tidak boleh terganggu jiwa sudah dihapuskan. Namun, ada beberapa hal yang masih ditafsirkan salah oleh beberapa petugas.
Pilkada 2018 untuk disabilitas berat akan difasilitasi dengan mendatangi rumah pemilih. Hal ini berlaku untuk disabilitas berat dan bagi mereka yang sakit dan tidak dapat pergi ke TPS. Dari segi peraturan tentang petugas dan fasilitas pendukung di TPS sudah sangat luar biasa di atur dalam Pilkada 2018.
Terkait syarat surat sehat jasmani dan rohani, sangat merugikan penyandang disabilitas karena ketiadaan fungsi salah satu anggota tubuh sangat mempengaruhi apakah seseorang memiliki kapasitas untuk dipilih sebagai kandidat. Saat ini, sudah dilakukan loby ke KPU dan akan segera dilakukan revisi peraturan. Ada 10 caleg disabilitas yang saat ini masih dilihat apakah kandidat ini akan gugur karena kondisi disabilitas mereka.
FORUM DISKUSI
- Rahardjo (medsos)
- Apakah ada kaitan lembaga parpol (kaderisasi) dengan hasil pemilihan legislatif kedepan? Apakah hasil pileg ada kaitannya dengan pilpres?
- Bony
- Representasi Pilkada saat ini beda dengan era orde baru cukup dinamik, perlu studi khusus untuk mengkaji dinamika politik saat ini
- Dibutuhkan orang yang sepemahaman untuk memperjuangkan hak-hak disabilitas mental
- Damayanti
Penyandang disabilitas (dari panti-panti) sangat sedikit yang memilih. Hampir semua penyandang dis. mental di panti-panti tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu. Di Jakarta hanya ada 1 panti yang mendaftarkan anggotanya untuk berpartisipasi dalam pemilu. Hal yang harus ditambahkan oleh TII adalah mengapa penyandang dis. tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu. Kasus psikiater yang mengkebiri hak-hak penyandang disabilitas juga marak terjadi. Hal-hal seperti ini yang harus menjadi perhatian untuk diajukan sebagai salah satu rekomendasi ke organisasi profesi psikitri.
Pada pemilu 2018 tidak ada kandidat yang berasal dari identitas minoritas. TII harus fokus kepada aspek ini. Ketiadaan kandidat dari identitas minoritas, jangan-jangan disinyalir karena kasus Pilkada DKI 2017 lalu sehingga tidak ada parpol yang berani mengusung kandidat dari latar belakang berbeda.
THE INDONESIAN FORUM_Rangkuman Diskusi_Seri 46_17 Juli 2018
Download Rangkuman TIF 46